9 – PENCULIKAN

2134 Kata
DUA pria berbeda generasi itu duduk bersebelahan menghadap pemandangan kota dari balik jendela besar yang ada di ruang keluarga. Eremias Alejandro atau yang masyarakat kenal sebagai pendiri Alejandro Group, menyesap kopi panasnya dengan tenang sembari mendengarkan putranya berbicara. “Jadi, daddy akan menyetujuinya kan?” Felip mengakhiri ceritanya dan bertanya. Mias meletakkan cangkir kopinya ke meja kemudian melirik putranya dengan wajah datar. Sementara Felip menanti jawaban sang ayah dengan jantung berdebar. Namun bukannya menjawab, Mias justru balas bertanya, “Apakah kamu tahu alasan kenapa aku memilihmu sebagai pemegang jabatan tertinggi di perusahaan daripada kakakmu David?” “Karena aku lebih kompeten daripada kakak.” Mias tersenyum miring sembari mengangguk. “Benar, tapi ada lagi alasan lain.” Kening Felip mengerut. “Apa itu Dad?” “Kamu jauh dari rumor buruk, ketampanan, pesona dan popularitas yang kamu miliki membuatku percaya bahwa level perusahaan akan naik bila kau yang memegang kendali. Dan strategiku dalam memilihmu terbukti dengan banyaknya pencapaian yang sudah kamu dapat untuk perusahaan.” Felip termangu mendengar penjelasan Mias. Selama ini Felip pikir alasannya dipilih karena potensi, tapi ternyata ada faktor-faktor lain seperti yang disebutkan ayahnya barusan. “Lalu sekarang, kamu meminta izin mengadopsi seorang anak dari panti asuhan dan berharap aku menyetujuinya?” Mias tertawa sinis di akhir pertanyaan. Perlahan ekspresinya berubah garang, isyarat bahwa pria itu keberatan dengan rencana Felip. “Kau ingin menghancurkan reputasi perusahaan hah?!” bentaknya. “Mengadopsi seorang anak sama sekali tidak ada hubungannya dengan perusahaan, Dad!” sangkal Felip. Mias menyipitkan mata, belum pernah Felip menentang keputusannya dan hal baru ini membuat Mias penasaran. “Untuk apa kamu adopsi sedangkan kamu bisa mendapatkannya dengan cara menikah?” Felip mengusap wajah frustasi. “Anak ini berbeda, aku merasakan ikatan dengannya sejak awal bertemu. Ada perasaan sayang sehingga aku ingin melindungi dan merawatnya,” ujar Felip, berharap sang ayah mengerti dan mengizinkannya mengadopsi Mou. “Aku tetap tidak akan mengizinkanmu mengadopsi anak. Publik bisa saja salah paham dan membuat berbagai rumor tidak benar yang dapat menjatuhkan perusahaan!” tentang Mias. Felip berdiri dari kursinya, lalu menjawab tegas, “Jika itu yang daddy takutkan, maka jangan khawatir. Aku akan membuat konferensi pers untuk menjelaskan status Mou yang sebenarnya agar publik tidak berspekulasi sembarangan.” Mias ikut berdiri dengan geram, “Kau—” Felip menyela, “Apapun yang daddy katakan, aku akan tetap mengadopsi Mou.” Usai berkata demikian Felip langsung pamit dan melangkah meninggalkan Mias sendiri di ruangan. Mias mengepalkan kedua tangan menahan amarahnya. Sebelum Felip berhasil mengadopsi Mou, sebaiknya Mias lebih dulu bertindak untuk menghentikan rencananya. Bergegas Mias menghubungi seseorang melalui ponselnya. “Halo Will.” “Yes sir.” “Aku punya tugas baru untukmu.” *** Viola melompat ke sofa empuk di rumah Tiffa, merebahkan tubuhnya di sana. “Ya Tuhan! Aku lelah sekali padahal hanya mencoba tiga baju pernikahan super ketat!” dengus Viola sambil menatap nanar langit-langit rumah. Tiffa bergabung ke sofa setelah meletakkan tasnya ke meja, lalu membalas, “Tapi kamu bahagia kan?” Viola bangkit terduduk dan mengangguk dengan senyuman girang di bibirnya. “Tentu, aku sangat bahagia karena sebentar lagi menikah dengan pria yang kucintai.” Tiffa tersenyum, turut bahagia untuk sahabatnya. “Terima kasih ya Tiffa. Andai saja calon suamiku tidak sibuk bekerja dan bisa menemaniku fitting baju, aku mungkin tidak akan merepotkanmu hari ini,” sungut Viola. Tiffa menggenggam telapak tangan Viola. “Aku sama sekali tidak merasa direpotkan. Kamu adalah sahabat terbaikku, kapan saja kamu butuh bantuan, aku akan dengan senang hati membantumu.” “Bagaimana denganmu?” tanya Viola. “Maksudmu?” Viola mengembuskan napas panjang sebelum berbicara, “Maksudku apakah kamu juga akan menikah sepertiku? Aku ingin kamu bahagia dengan orang yang kamu cintai Tiffa.” Ucapan Viola membuat Tiffa terdiam untuk beberapa saat. “Entahlah, aku tidak pernah memikirkannya.” “Jika kamu memutuskan tidak menikah, cobalah menerima Mou. Aku yakin dia pasti masih menunggumu di panti asuhan. Aku tidak ingin kamu menghabiskan sepanjang hidupmu sendirian,” saran Viola. Mereka tidak pernah membahas tentang Mou lagi sejak pulang dari panti asuhan Chioke lima tahun lalu. Dan Tiffa benci karena Viola kembali mengungkitnya. “Aku tidak membutuhkan siapapun lagi.” Tiffa menyahut dingin, lalu berdalih akan membuatkan Viola minuman. “Kau mau minum apa? Biar aku buatkan.” Viola menggeleng, ia tahu sahabatnya berusaha menghindar. “Aku tidak haus. Jangan coba-coba mengalihkan topik pembicaraan, meskipun tidak suka membahas Mou tapi kau harus memikirkannya lagi!” “Aku bisa saja mengusirmu jika terus menerus membicarakan Mou,” ancam Tiffa sambil bersedekap tangan marah. Viola mencebik mendengar pengusiran halus Tiffa. “Baiklah, untuk yang terakhir kalinya saja aku ingin bertanya tentang Mou dan kau harus menjawabnya!” Tiffa mengangguk demi yang terakhir kalinya. “Kamu ingin bertanya apa?” “Apa yang akan kamu lakukan jika suatu saat kalian di pertemukan kembali?” Viola bertanya dengan mimik wajah dan intonasi serius. Tiffa sampai terkekeh melihatnya. “Kau bercanda? Mana mungkin aku dan Mou bisa bertemu, panti asuhannya sangat jauh dari sini. Sekarang pun dia masih berusia lima tahun, mustahil anak sekecil dia bisa sampai ke sini.” Viola memutar bola mata kesal. “Kamu tidak tahu yang namanya takdir ya? Pertemuan itu bisa saja terjadi jika Tuhan menginginkannya,” ujar Viola. “Tidak! Aku berharap takdir tidak kembali berulah, hidupku sudah cukup tenang tanpa Mou sekarang,” tukas Tiffa. “Astaga… dasar ibu yang jahat!” ejek Viola dengan suara pelan. Tetapi Tiffa masih bisa mendengar suaranya. “Apa kau bilang?” sahutnya dengan nada tinggi. Viola tersenyum nyengir, tidak ingin membuat sahabatnya marah. “Tidak ada, lupakan saja.” *** Pukul dua belas malam di panti asuhan Chioke, seluruh anak dan pengurus panti asuhan sudah tertidur di kamarnya masing-masing. Mou terbangun karena suara ketukan di jendela kamar tidurnya. Mou bangun terduduk, lalu mengucek-ucek matanya sebelum melihat ke arah jendela lagi. Dibalik jendela itu terdapat seorang pria yang tengah melambaikan tangan ke arahnya, menyuruh Mou mendekat. Mou sontak menghampirinya dan membuka jendela. “Namamu Moulyn Tiffanya kan?” William bertanya sambil tersenyum, semaksimal mungkin memberi kesan ramah agar Mou tidak takut. “Iya, uncle siapa?” tanya Mou, memerhatikan penampilan serba hitam William dari bawah sampai atas. “Aku adalah daddymu. Daddy sangat senang karena akhirnya menemukanmu di sini.” William menangis pura-pura sembari mengecup kening Mou berlagak seperti orang tua yang menyayanginya. Mou menatapnya ragu. “Uncle adalah daddyku?” William mengangguk, “Iya sayang. Daddy sudah mencarimu kemana-mana selama ini,” dustanya. Kening Mou mengernyit tidak percaya. “Tapi daddy tidak memiliki warna mata hijau sepertiku,” ucapnya, tak lepas memandangi warna mata cokelat milik William. William terkesiap diam, tidak menduga Mou akan sedetail itu mengoreksi kemiripan mereka. “Ekhm… itu karena warna matamu diturunkan oleh ibumu.” William bersyukur menemukan alasan yang tepat. Mou tampak memercayainya, matanya berbinar bangga saat William mengatakan warna matanya mirip dengan sang ibu. “Oh ya? Jadi aku dan mommy punya warna mata yang sama?” “Yes my little girl, you’re right. Do you want to meet your mom?” William berusaha membujuknya. Mou sangat bersemangat karena William mengajaknya bertemu dengan sang ibu. “Tentu, Mou ingin bertemu dengan mommy. Can you take me to her, Dad?” “Of course dear. C’mon! Let’s meet mommy at home.” William mencoba mengeluarkan Mou melalui jendela dengan menggendongnya. Mou senang sekali di gendong William yang ia kira ayah kandungnya, padahal tujuan utama William membawa Mou ialah menyingkirkannya dari panti asuhan sesuai perintah Mias supaya Felip gagal mengadopsi Mou. *** Keesokkan harinya Mou terbangun di kursi mobil William yang masih melanjutkan perjalanan menuju kota Toronto untuk menyerahkan Mou kepada Mias. Mias sendirilah yang bertugas melenyapkan Mou, pria itu berinisiatif menerbangkan Mou ke negara terjauh dari Canada. Mias melakukannya demi menjaga reputasi perusahaan sekaligus demi putra bungsunya agar tidak kembali terlena untuk mengadopsi Mou. “Daddy, aku lapar,” rengek Mou sambil menyentuh perutnya yang keroncongan. William melirik jam di atas dashboar mobilnya, pukul tujuh pagi—sudah waktunya untuk sarapan. “Okay my little girl, kalau begitu kita menepi ke restoran dulu untuk sarapan.” Wiliiam mengedipkan mata menghibur Mou yang tersenyum senang karena sebentar lagi akan makan. Beberapa saat kemudian, Mou dan William sudah sampai di restoran dan memesan menu sarapan pagi. Mou memakan bagelnya dengan lahap, sembari menunggu Mou selesai makan William meminta izin untuk pergi ke kamar mandi. Mou mengizinkannya pergi, sementara yang William lakukan sebenarnya adalah menelepon Mias untuk melaporkan posisi mereka saat ini. Sepuluh menit berlalu, Mou masih lapar sementara menu sarapannya sudah habis tak tersisa. Gadis kecil itu menatap ke piring Tourtiere yang dipesan meja di sampingnya, Mou menjilat bibirnya menginginkan Tourtiere tersebut. Iapun bergegas turun dari bangkunya dan mencari William untuk memintanya memesan Tourtiere. Bukannya menemukan William di kamar mandi, Mou justru menemukannya sedang bertelepon di ruang merokok. Mou menghampiri William tanpa sepengetahuan pria itu. Mou kemudian mendengar percakapan William dengan Mias di telepon, percakapan yang membuatnya terkejut sekaligus membeku di tempat. “Anda jangan khawatir Sir, setelah dari restoran ini aku akan langsung membawa Mou kepada Anda. Dia tidak akan kabur dariku karena Mou percaya bahwa aku adalah ayahnya. Tidak sulit membohongi gadis kecil seperti dia,” kata William. Mou mengambil tiga langkah mundur, sepelan mungkin supaya William tidak menyadari keberadaannya di sana. Akan tetapi nasib buruk tak membiarkannya lolos dengan mudah, salah satu kaki Mou tidak sengaja menendang pot bunga hingga menimbulkan suara berisik yang menyita perhatian William ke arahnya. Saat itulah William sadar bahwa Mou telah mendengar obrolannya bersama Mias. Mou langsung lari sementara William dengan cepat menyusulnya. Mou berlari keluar restoran, tak peduli kemana ia pergi asalkan menjauh dari William yang ternyata bukan daddy-nya melainkan orang jahat. *** Langit malam menyambut Tiffa yang baru selesai bekerja di kelab. Wanita itu berjalan menuju halte menunggu bus umum lewat untuk pulang. Ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Pikirannya tergiang pertanyaan Viola kemarin. Tiffa mencoba mendapatkan jawaban dari hatinya, namun berapa kalipun ia berpikir—ia tak kunjung menemukan jawaban. Angin malam tiba-tiba berembus kencang, menyentak lamunan Tiffa hingga mendongak menatap lurus ke depan seberang jalan. Dan di detik itu juga, matanya terbelalak lebar. Tuhan seakan ingin menunjukkan kekuasaanya tatkala Tiffa melihat seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun bernetra hijau mirip dirinya berdiri di seberang jalan depan halte. Mereka bersitatap satu sama lain, saling mengenali wajah masing-masing. Tidak ada yang bisa membohongi ikatan antara anak dan ibunya. Walau belum pernah melihat wajah ibunya secara langsung, tapi Mou bisa langsung tahu bahwa Tiffa adalah ibunya—wanita yang telah melahirkannya. “Mommy!” Mou berteriak dari jauh. Tiffa tercekat mendengar panggilan Mou. Tubuhnya berangsur gemetar dan jantungnya berpacu cepat. “Ti-tidak mungkin.” Tiffa menggelengkan kepala, tidak percaya apa yang tengah ia lihat sekarang. “Bagaimana bisa anak itu—” Lidahnya mendadak kelu untuk meneruskan. Tiffa menolak akal sehatnya yang mengatakan bahwa anak itu adalah Mou. Mou berlari menyebrangi jalan menghampiri Tiffa yang duduk di halte. Sesampainya di hadapan Tiffa, Mou memberanikan diri bertanya, “Aunty, kau mommyku kan?” Tiffa berusaha mengembalikan kesadarannya, ia duduk tegap dan membalas cuek, “Bukan.” Mou merengut kecewa, tapi ia tidak menyerah begitu saja. “Tapi seragam kerja Aunty tertulis nama Tiffany. Nama terakhirku juga Tiffanya. Kata suster Anya, nama terakhirku adalah penggalan nama ibuku,” ujar Mou, berusaha mengumpulkan bukti. Sialan! Tiffa tidak menyangka harapannya memberi nama Moulyn Tiffanya untuk putrinya benar-benar terkabul. Mou tumbuh menjadi gadis pemberani dan cerdas sesuai dengan arti namanya, selain itu poin utamanya ialah Mou benar-benar tidak melupakan siapa ibunya. “Kenapa kamu bisa ada di sini?” Tiffa memilih bertanya hal lain karena ia penasaran bagaimana caranya Mou sampai di kotanya. Padahal jarak Toronto dengan panti asuhan Chioke cukup jauh, butuh waktu kurang lebih 5 jam untuk sampai di sini. “Orang jahat menculikku,” cicit Mou. Tiffa melotot kaget. “Seseorang menculikmu?!” pekiknya, keceplosan. “Iya Mom.” Mou mengangguk, tapi Tiffa tidak langsung memercayainya. Lagi pula, mana mungkin ada seseorang yang bisa menculiknya dari panti asuhan. “Dengarkan aku!” Tiffa mencondongkan tubuhnya mendekat, kemudian menjelaskan, “Tidak mungkin ada orang yang mau menculikmu. Selain itu, aku bukan ibumu jadi berhenti memanggilku mom!” Mou tertegun mendengar kata-kata menyakitkan yang dilontarkan Tiffa. Di saat yang sama pula, bus yang sedang Tiffa tunggu sampai di halte. Sebelum naik ke dalam bus, Tiffa menunjuk ke arah utara untuk memberitahu Mou letak pos polisi. “Kau jalan lurus saja ke sana! Nanti kamu akan menemukan pos polisi di kiri jalan, mintalah bantuan polisi untuk bisa pulang. Selamat tinggal nak!” Usai berkata demikian, Tiffa langsung masuk ke dalam bus tanpa menoleh melihat Mou lagi. Saat bus yang ditumpangi Tiffa mulai berjalan, Mou tidak berusaha menghentikannya. Dia hanya bisa pasrah mengamati kepergian ibunya dengan pedih. Pasti ada alasan mengapa Tiffa tidak peduli dan dari sekian banyak alasan, Mou berharap bukan karena Tiffa membencinya. BERSAMBUNG...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN