Fabio menganggukkan kepalanya. Scarla sudah paham jika Fabio tak ada pilihan lain. Gadis itu tidak mau juga membuat masalah dalam keluarga Limantara. Tidak ingin juga menyulitkan Fabio meski ia merasa nyaman tinggal di apartment ini. Fabio, meski terkadang suka sekali jutek dan mengatainya, aslinya lelaki itu sangat baik. Selain wajah yang tampan tentunya membuat Scarla jatuh cinta setelah melepas ciuman pertamanya untuk pria itu lima tahun silam. Scarla juga tak paham kenapa Fabio belum menikah hingga sekarang. Mungkinkah Fabio masih belum move on akan cinta pertamanya. Scarla hanya menebak saja karena dalam kurun waktu lima tahun itu pula hampir mereka tidak pernah bersua. Namun, gadis itu pernah mendengar berita dari mami tirinya bahwa Fabio pernah patah bati sebab wanita.
"Uncle jangan khawatir. Malam ini terakhir aku menginap di sini karena besok aku akan pergi dari sini." Entah Scarla tak tahu setelah dari sini mau menginap ke mana lagi. Mungkin ia akan kembali berkeliling menginap dari satu rumah teman ke teman yang lainnya. Rasanya Scarla belum siapa saja pulang. Papinya masih berada di Amerika dan rencananya baru minggu depan kembali ke Indonesia. Herannya sudah dua minggu papinya pergi, tak satu kali pun orangtua kandungnya itu mengubungi. Entahlah. Apa papinya itu tidak pernah merindukannya. Namun setidaknya jika ada papi di rumah, Mami tirinya tak akan membuat ulah. Scarla benci ketika Mami Vero yang manja juga suka memerintah dengan dalih hamil muda sehingga Scarla tak ada alasan untuk membantahnya. Bisa-bisa papinya akan murka karena ia tak mau menurut pada mami barunya.
"Besok aku akan mengantarmu pulang."
"Tidak perlu, Uncle. Aku bisa pulang sendiri. Maaf jika selama berada di sini aku sudah merepotkan Uncle."
Setelah mengatakan itu, Scarla mematikan televisi dan segera merebahkan badannya. Menutup selimut hingga batas dagu. Mengabaikan Fabio yang masih tergugu di tempatnya. Sungguh Fabio jadi merasa bersalah pada gadis itu. Tapi apa boleh buat. Daripada ia membuat masalah lalu disidang papanya. Fabio kembali masuk ke dalam kamarnya.
Namun, karena Scarla pula yang membuatnya kesusahan untuk memejamkan mata. Dan entah di jam berapa ia baru bisa terlelap. Sampai suara dering ponsel yang memekakkan telinga, membangunkan pria itu dari tidur yang tidak senyeyak malam-malam sebelumnya.
Tangan besarnya meraba-raba nakas mencari keberadaan ponsel miliknya yang masih juga berdering nyaring minta diperhatikan. Masih dengan mata terpejam, pria itu mendapatkan juga benda pipih yang langsung ditempelkan di telinga.
"Hem ... halo." Suara Fabio terdengar serak. Mendengar lawan bicaranya yang rupanya adalah sang sekretaris.
"Memangnya ini jam berapa?" tanya Fabio lagi masih bermalas-malasan.
"Apa!" Pria itu terlonjak kaget mendengar jawaban yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin sekretarisnya mengatakan bahwa sekarang sudah pukul sepuluh pagi. Padahal ia baru saja tertidur tidak lama.
Sembari memijit pelipisnya yang terasa berdenyut sebab bangun mendadak, matanya mulai memicing menyesuaikan dengan cahaya dari luar yang masuk melalui celahh tirai jendela kamarnya. Benar. Di luar sudah terang.
Ponsel masih belum berpindah karena pria itu masih juga mendengarkan agenda kerja yang sekretarisnya bacakan.
"Baiklah. Aku akan segera ke kantor. Maaf karena aku kesiangan bangun. Dan terima kasih karena kamu sudah menelponku."
Klik. Panggilan telepon berakhir. Fabio menatap layar ponselnya yang memang di sana dapat ia lihat jika waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih sepuluh menit. Sial! Bisa-bisanya dia kesiangan bangun. Kenapa Scarla juga tak membangunkannya tadi. Ah, tak mau berpikir yang macam-macam. Pria itu menyeret kakinya menuju kamar mandi. Ia harus mengguyur tubuhnya untuk menghilangkan rasa kantuk serta pusing kepalanya.
Tidak sampai tiga puluh menit, Fabio sudah segar dengan rambutnya yang basah. Menuju almari pakaiannya, mengambil setelan kerja untuk ia kenakan hari ini. Sebenarnya dia ada jadwal meeting pagi ini. Namun, karena dia terlambat bangun, sang sektretaris me-reshedule-nya sampai nanti selepas istirahat makan siang.
Dirasa sudah rapi dan tampan seperti biasanya, Fabio melangkah keluar dari dalam kamar setelah sebelumnya menyambar ponsel serta tas kerja yang berisikan laptop berserta berkas-berkas yang semalam telah ia siapkan.
"Scarla!" panggilnya pada sosok gadis yang tumben pagi ini tidak dia jumpai menonton televisi. Biasanya setiap pagi Scarla akan berisik memberikannya ini dan itu. Namun, entah kenapa pagi ini suasana apartemen mendadak lengang. Perasaan Fabio jadi tidak enak. Panggilannya yang tadi juga tak ada sahutan.
"Scarla!" Kembali Fabio meneriakkan nama gadis itu setelah tubuh besarnya mendarat dengan sempurna di atas sofa. Sofa yang semalam dipakai tidur oleh Scarla. Sudah rapi dan wangi ditata sedemikian rupa. Kepala Fabio melongok ke arah dapur. Sepi tak ada tanda-tanda kemunculan gadis yang sedang ia cari.
Karena penasaran, Fabio beranjak berdiri. Dengan langkah lebar pria itu menuju dapur. Kosong. Tak ada Scarla di sana. Alat-alat memasak juga tersusun dengan rapi seperti sedia kala. Tak ada harum bau masakan yang meski Scarla memasak asal-asalan akan tetapi masih bisa dia rasakan. Tidak buruk juga asalkan lambungnya masih bisa mencerna.
"Scarla, kamu di mana?"
Tetap tak ada sahutan. Mendadak Fabio dilanda kepanikan. Ekor matanya menyisir sudut dapur yang tidak seberapa luas. Lalu menelisik seluruh penjuru apartemennya. Membuka kamar mandi belakang yang letaknya dekat dengan dapur. Tak juga ia temukan gadis itu. Hingga netra tajam Fabio tertuju pada meja mini bar. Ia melangkah mendekat dan membuka tudung saji. Di atas meja sudah ada menu sarapan berupa roti panggang serta segelas kopi hitam kesukaannya. Tak hanya ada makanan itu saja tapi juga selembar kertas yang Fabio yakin adalah hasil tulisan tangan Scarla. Dia meraihnya lalu dibaca dengan seksama.
Glek.
Fabio menelan ludah kesusahan. Scarla hanya mengatakan jika dia pergi dari apartemen ini. Ucapan terima kasih karena dia mau menampung gadis itu untuk beberapa hari. Lalu meminta padanya untuk menghangatkan menu sarapan yang gadis itu buat.
Fabio menatap nanar pada makanan yang tak lagi menggugah seleranya. Pikirannya kacau karena sibuk menerka, ke mana Scarla pergi. Apa iya gadis itu menurut untuk pulang ke rumah. Lalu, jika ternyata Scarla masih juga berkeliaran di mana-mana tanpa arah dan tujuan yang jelas bagaimana.
Fabio diserang kepanikan. Pria itu duduk lemas di atas kursi mini bar. Meraup wajahnya kasar seraya menyugar rambutnya yang tadi tertata rapi menjadi berantakan.
"Kenapa kamu tak mau menungguku, Scarla! Bukankah aku sudah katakan padamu akan mengantar pulang. Kenapa kamu malah menghindar Scarla!" Omelan itu terlontar dari bibir Fabio.
Kembali mata itu melirik makanan yang sudah dingin. Fabio tak peduli lagi dengan pesan Scarla yang meminta padanya untuk menghangatkan kembali makanannya. Fabio mencomot roti isi dan menggigitnya. Sedikit keras tapi tak apa. Setidaknya ia sudah menghargai jerih payah Scarla yang sudah capek-capek menyiapkan makanan sebelum pergi meninggalkannya.