Chapter 5

1034 Kata
BAB – 5 “Via, lihat ini!” Sumi menunjukkan isi dompet itu pada Suvia. Jiwa kerdilnya meronta, tangannya pun sampai gemetar. “Astagaa, Sum! Ayo kita lapor ke kedi master!” tukas Suvia yang tak kalah gemetar. Keduanya saling melempar pandang, lalu setengah berlari bersamaan menuju kantor kedi master untuk melaporkan penemuan mereka. Sementara itu, seorang lelaki bertubuh sedang berjalan cepat menyusuri jalanan yang tadi dilewatinya. Mata sipitnya mengedarkan pandang ke seluruh laluan, akan tetapi benda yang dicarinya tak ditemukan. “Yamada san, cari apa?” kedi yang mengikutinya bertanya sambil terengah-engah. Orang Jepang itu meskipun tak tinggi, tetapi langkahnya mengayun cepat sehingga dirinya yang mendorong bag yang berisi stick golf milik lelaki itu cukup kewalahan mengikutinya. “Pocket kecil saya hilang!” tukasnya. Mata sipitnya tetap mengedarkan pandang. Namun sepanjang jalan yang dilewatinya memang tak ada lagi ditemukan benda yang dicarinya. Setelah memastikan tak ditemukan, lelaki berbadan sedang itu kembali berjalan cepat menuju timnya yang sedang beristirahat di sebuah teehouse. Ada tiga rekan bisnisnya yang lain yang tengah menunggu sambil mengantri untuk teeoff di hole berikutnya. *** “Kamu gak ngambil isinya ‘kan?” Kedi master bernama Stevani itu menatap penuh intimidasi. “Enggak, Mbak! Kalau kami mau ambil, mending gak usah dikasih ke sini!” tukas Suvia. Dia menatap sebal pada perempuan dengan warna bibir merah menyala itu. Dia menyambar dompet itu dari tangan Suvia, lalu melengos pergi. Sumiati dan Suvia saling melempar pandang lalu bergegas meninggalkan tempat itu. Di area lapang golf mereka berapapasan dengan Hiraka Yamada yang tengah berjalan menuju ruang kedi master. Namun hanya anggukan dan senyuman samar sebagai tanda sapaan pada lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu. Meskipun sudah tiga puluh lima tahun, tetapi wajah Hiraka Yamada tak terlihat tua, masih seperti kisaran usia dua puluh lima tahunan. Sumiati dan Suvia langsung kembali ke kelas. Setelah ini, mereka akan belajar lagi tentang green dan teknik-tekniknya, termasuk membaca arah rumput, arah angina dan kemiringan lapangan yang nantinya akan berfungsi ketika mereka memandu pemain, jika lolos training. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore usai pelatihan dan mencoba sendiri memukul bola golf di green. Sekali lagi mereka di test tentang warna bendera juga. Karena dalam permainan golf di lapangan yang rumputnya halus seperti karpet itu ada lubang untuk masuknya bola yang ditandai oleh bendera. Nah hari ini, mereka diajarkan detail dan langsung praktek juga. Lapangan yang awalnya ramai beranjak sepi, meskipun masih ada sisa pemain yang tampak di beberapa hole atau lapangan karena mereka teeoff atau mulai bermain siang, jadi belum selesai menyelesaikan sisanya. Karena memang Sumi tak memiliki kendaraan, dia akan ikut dengan jemputan hingga ke jalan raya. Lalu nanti di sana akan naik angkutan sampai perempatan dan sisanya mencari ojek hingga bisa sampai ke rumahnya. Namun baru saja dia hendak naik ke jemputan, sebuah sepeda motor melaju cepat dan menghalanginya. Senyum tengil itu terlempar padanya. Kedua alis tebal Zaki digerak-gerakkan ke atas seraya senyuman yang dimanis-maniskan terlempar padanya. “Ayo, pulang!” tukas Zaki. “Hah? Kok kamu di sini, Zak? Ngapain?” Sumiati menatap heran pada Zaki. “Habis main golf lah, masa main kelereng!” jawabnya asal. “Serius!” Kedua bola mata Sumi membulat. “Duh lagi-lagi dah pengen diseriusin! Sudah kubilang belum siap akad!” tukasnya sambil terkekeh. Dia menyodorkan satu helm pada Sumi yang masih mematung di dekat sepeda motornya. “Astaghfirulloh!” Sumi mengusap wajah. “Aku jemput kamu, Sum! Gak ngerti banget, sih! Kode ini, tuh! Kode!” tukas Zaki. Sumi belum sempat lagi menjawab ketika dari arah potter atau tempat keluarnya para pemain, Stevani---kedi master yang tadi ditemuinya di ruangan memanggilnya. Sumi menoleh dan mendekat, sedangkan Zaki menunggu di tempat jemputan. Setengah berlari Sumi mendekat menghampiri Stevani yang memandangnya sebal, di sampingnya ada seorang lelaki berwajah manis---Hiraka Yamada tengah berdiri juga. “Sumi! Kamu ‘kan yang tadi siang nemuin dompet Yamada san!” bentak Stevani dengan wajah judesnya. “Iy—iya, Mbak! Kan sudah saya kembalikan!” tukas Sumiati sambil menatap sekilas pada kedua mata yang tampak berwarna merah itu. “Kamu ambil berapa lembar uangnya Yamada san, hah? Dia bilang totalnya semua uang itu ada dua tiga juta, tapi tadi tinggal dua juta! Pasti kamu sama temen kamu ‘kan yang ngambil?” tuduhnya. Wajah Sumiati mendadak pucat. Dia menelan saliva karena takut dan gugupnya. Bagaimana bisa, uang itu hilang? Bahkan dia dan Suvia langsung mengantarnya ke dalam ruangan kedi master. “Enggak, Mbak! Saya gak ada ngambil! Tadi Suvia dan juga lihat sendiri, kok! Kita langsung kasihin ke ruangan kedi master.” Sumi berucap dengan gugup. Tak terbayang olehnya mendapat uang sebanyak itu dari mana kalau harus mengganti. “Yamada san, mohon maaf. Dia kedi training dan masih baru, saya akan segera pecat dia! Di golf club kami mengutamakan asas kejujuran, kalau baru masuk sudah gak jujur pastinya kami akan tindak!” Stevani langsung menyimpulkan sendiri. Dia abaikan pembelaan Sumi yang menatapnya dengan gemetar. Zaki yang berdiri agak jauh, berjalan mendekat. Meskipun tak mendengar apa yang dibicarakan mereka, tetapi melihat ekspresi Sumi, sepertinya dia sedang ada masalah. “Ada apa, Sum? Ada masalah?” Zaki menepuk bahu Sumi yang masih menunduk. Namun yang menjawab adalah Stevani. “Pacar kamu itu menemukan dompet Yamada-san, tetapi uangnya dia ambil sebagian! Karena itu, pacar kamu saya pecat! Besok gak usah lagi masuk kerja!” tukas Stevani penuh penekanan. “Maaf, Mbak! Apa ada bukti kalau Sumi mengambil uangnya?” Zaki menatap Stevani. Tak ada rasa takut sedikitpun karena Zaki hapal siapa Sumi, tak mungkin mengambil uang yang bukan haknya. Kalau bukan dia siapa lagi, kamu orang luar gak usah ikut campur! Didik saja pacar kamu ini, cepetan bawa pulang!” tukasnya judes. Dia lalu menoleh pada orang Jepang yang sejak tadi memperhatikan mimic wajah Sumi yang tampak sedih. “Mr, saya sarankan, Anda silakan check dulu CCTV, apa benar pacar saya yang ambil uangnya atau bukan? Saya kenal dia belasan tahun, tak mungkin dia melakukannya! Mbak yang terhormat, setahu saya pemecatan itu ada prosedurnya dan ada pengetahuan dari HRD! Apa bisa saya ketemu dengan HRD nya dulu sebelum pacar saya dinyatakan dipecat!” Zaki yang biasanya selengehan tampak serius dan dewasa. “Ah, arrigato, ne! Saya pun ada pikir minta check CCTV! Tapi tadi Stevani san bicara mau check dulu dengan Sumi-san! Tak apa, saya tanya-tanya saja, oke oke! Permisi, saya check CCTV dulu!” tukasnya sambil tersenyum lalu menepuk pundak Stevani dua kali dan mengangguk sopan pada Sumi dan Zaki. Yamada beranjak menuju ruangan kantor hendak meminta dicheck pada CCTV. Stevani yang mendengar pernyataan itu memucat seketika. Dia bergegas lari mengejar Yamada san dan melupakan pemecatannya pada Sumi. “Makasih, ya, Zak!” Sumi menoleh pada Zaki. “Ma-kasih doang?” Zaki kembali memainkan alisnya. “Lalu?” Sumi mengerutkan dahi. “Engga ma-cinta sekalian?” kekehnya yang spontan mendapat pukulan pelan pada bahunya dari Sumi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN