18

2407 Kata
Berjam-jam sudah kupelolotin untaian kalung plus anting-anting di atas meja riasku. Namun gak ada yang berubah bentuknya. Hadiah ulang tahunku dari kak Revan. Sebuah kalung bertahtakan berlian dengan motif membentuk inisial huruf V disertai huruf yang sama dibagian belakangnya. “Apa kalung ini buat orang lain ya?” pikirku sedih. “Atau jangan-jangan tertukar lagi?” “Gak mungkin kak Revan salah kasih hadiah! Kan yang ultah cuma gue. Tapi belum tau juga sih! Siapa tau tanggal ultah kita samaan.” “Setau gue, Kak Revan kan gak punya temen! Gue yakin banget, kalung ini pasti buat gue.” Pusing tujuh keliling rasanya mikirin tuh kalung berinisial huruf V. “Pulangin gak yah? Kayaknya mahal banget harganya.” Aku membuang napas gusar. “Apa gue tanyain aja nanti?” “Bisa iya, bisa tidak, bisa jadi kan ke tuker ama pesenan orang!” positif thinking. Aku saat ini bengong dengan keadaan yang galau. Ku simpan kalung pemberian dari kak Revan di laci meja rias. Bukannya aku gak suka dengan kalungnya, tapi takut hilang saja. Aku berdiri dari meja rias dan melangkah ke tempat tidur. Merebahkan diriku di kasur, sambil melempar guling-guling yang ada dan kutendang sekalian selimutnya hingga jatuh ke lantai. Aku teringat kembali kecupan pertama yang diberikan oleh Kak Revan. Malu banget rasanya. Sebagai seorang perempuan muda yang begitu gampangnya nyosor laki-laki duluan. Aku sangat takut kalau dituduh kelebihan testoteron. Tapi kalau gak gerak duluan bakalan gak ada kemajuan sampai aku tua. Begini-begini terus juga gak ada hasilnya. Bingung, bimbang, jenuh gak tahu lagi harus pakai kode apa biar kak Revan mengerti. Segala jurus, taktik, tipu muslihat sudah aku kerahkan tepat ke sasaran. Hampir saja patah semangat, kalau gak dapet dukungan penuh dari mamih Marta. Tapi semua itu akan jadi hambar jika gak ada respon dari yang bersangkutan. Hatiku gelisah tak karuan. Takut kak Revan berpikir aneh-aneh tentang diriku. Aku meraba bibirku pelan. Teringat kembali halusnya pipi kak Revan. Wajahku memanas, kukepak-kepakan kedua tanganku ke kedua belah pipiku secara pelan. Dan bibirku tersenyum lebar. Agak menyesal sebenarnya kenapa gak kepikiran untuk mencium bibirnya saja secara langsung, waktu itu. Toh sama saja kan malunya. Padahal baru sehari ditinggal, tapi malarindu ini sudah menyerang dan semakin menyiksaku. Sampai aku gak sabar nunggu sang pangeran balik dari tugas. “Siapa tau abis balik nanti ia langsung ngelamar gue. So. . Gue gak boleh patah semangat.” ucapku optimis. Gak mungkin kan kalau kak Revan gak cinta tapi ngasih hadiah mahal begitu? Bisa saja ia malu ngungkapkan perasaanya. Mikirin sikap kak Revan bikin gegana. Namun tetap bahagia karena perhatian dan sikap manisnya. Di sekolah kuperlihatkan deretan gigi-gigiku yang berjejer rapih dan putih. Lihat guru langsung nyengir, lihat temen nyengir, lihat kecoa nyengir, lihat Vita kok malah benjut sih? Ternyata Vita memukul jidatku yang mulus dengan gulungan buku MTK yang tebelnya bisa bikin rambut rontok. Vita menuduh aku sudah kesambet lelembut. Aku tak akan pernah marah ataupun membalas perlakuan Vita. Karena bahagiaku hari ini tak boleh tercampur dengan hal-hal gak penting. Kedua sahabatku ngoceh gak ada habisnya kepadaku sambil geleng-geleng kepala. Aku hanya bisa tersenyum dengan pipi merah merona. Aku selipkan helaian rambutku yang berantakan ke belakang telinga. Duduk manis dengan anggun dan ayu sedangkan kakiku aku rapatkan. Punggungku tegap mirip dengan putri-putri kedaton. Andra yang sedari tadi memperhatikanku ikut mesam-mesem terpaku menatapku, kedua tangannya menyangga dagunya. Sedangkan Vita mengacak-acak rambutnya frustasi. Kubiarkan saja kedua sahabatku yang aneh itu. Aku sedikit prihatin kepada mereka berdua. Akupun akhirnya mengajak mereka makan diluar karena ingin mentraktirnya. Membagi sedikit kebahagiaan pada sesama tiada salahnya kan? Sebelum memasuki jam pelajaran terakhir Andra membolos seperti biasa. Kusuruh ia untuk menukar motornya dengan mobil. Andra sangat patuh kalau aku yang berbicara, cocok banget jadi sopir. Bel pelajaran terakhir berbunyi. Aku dan Vita berjalan keluar bergandengan tangan. “Eii . . Ada crazy woman lewat.” celetuk Fera kapten cheerleader. Ketika kami lewat di depannya.Fera, Sandra, dan Jenni tiba-tiba menghadang kami. Mereka tertawa serempak. “Siapa yang lo maksud tadi?” marah Vita. “Siapa lagi yang dari tadi pagi senyam-senyum sendiri? Temen lo ini, dia sudah gila ya?” cibir Fera. “Kurang ajar lo yah.” geram Vita yang ingin menggampar Fera. Kutahan lengan Vita sebelum menyentuh wajah Fera. Aku menggeleng pelan menatap Vita. “Lo ngomong ama siapa sih, Vit?” tanyaku polos. Menatap Vita. Kulepaskan tangan Vita pelan. “Lo kenapa sih Ren? Gue mau kasih pelajaran buat dia. Mulutnya gak pernah disekolahin kayaknya.” tukas Vita. “Mana? Kok gue gak lihat ada orang yah? Lo bisa lihat mahluk astral ya Vit?” jawabku celingak-celinguk. Aku tahu Fera, Sandra dan Jenni akhir-akhir ini memang sering cari gara-gara denganku. Tapi gak pernah aku ladeni. Aku hanya ingin tahu apa sebabnya mereka membenci kami. Juga ingin tahu sejauh mana mereka berulah. Vita terkekeh geli. “Oiya yah . . Mahluk dimensi dari dunia lain gak usah ditanggepin benernya.” Vita tergelak kencang. Aku hanya terkekeh pelan, tersenyum meremehkan. “Sialan lo bedua.” geram Fera ingin menampar balik Vita. Dengan tangkas. Kutangkap tangan Fera yang ingin memukul Vita, ku pelintir tangannya tak searah jarum jam agar kekuatan pergerakan tangan Fera melemah lalu ku kapit tangannya mengarah ke punggungnya hingga Fera tidak bisa berkutik. “Gak sia-sia gue berguru sama Kakek Ujang di kampung.” pikirku bangga. Aku terkekeh sinis. “Hai Fera-hu karam! Kalo cari lawan liat-liat dulu. Jangan maen asal serang! Gue gak sama kayak ade-ade kelas, yang sering lo bully.” bisikku pelan ditelinga Fera. Vita tertawa semakin kencang, sedang aku menampilkan senyum picik. “Siren lepasin Fera! Ato gue laporin ke guru.” ancam Jenni siaga. “Berani lo maju, gue buat lo masuk rumah sakit.” sengit Vita mengancam balik. Memasang kuda-kuda. Jenni terkejut dan mundur selangkah. Fera memberontak ingin melepaskan diri. Namun ku kapit semakin kencang sampai d**a Fera membusung, dahinya sampai mengernyit menahan sakit. “Lo, Mau juga San?” tantangku pada Sandra yang gemeteran. Sandra menggeleng-gelengkan kepalanya takut. Sebenernya Sandra itu orang yang baik, hanya saja gara-gara orang tuanya bekerja pada Jenni. Sandra jadi selalu mengekor pada Jenni. “Haiss. Lo betiga kenapa sih nyari gara-gara terus ke gue? Gue gak ada urusan sama sekali ama kalian betiga. Kalian telah mengotori hari bahagia gue saat. Jadi kalian harus dihukum.” paparku. Aku terkekeh kencang. Mereka belum tahu kalau aku dan Vita pernah mengikuti pencak silat yang di adakan di kampung halamanku. “Lo masih mau lagi, Fer? Gue bisa lo bikin kaki dan tangan lo patah sekalian.” kutakut-takuti Fera. “Lepas, Ren. Lo bakal nyesel telah ngelakuin ini sama gue.” Fera mengancam balik. Kupelintir sedikit pergelangan tangannya hingga Fera teriak. “Stop . . stop . . Ren, sakit . . Please lepasin gue.” jerit Fera menahan sakit. “Aneh banget sih lo! Tadi nantangin, sekarang nyerah gitu aja. Siren bukanlah anak kemaren sore yang takut ama lo betiga. Alah palingan lo Pipis aja masih jongkok! Pake gaya-gayaan pengen bully gue.” Iseng-iseng kupelintir lagi tangan Fera, hingga ia memekik kencang. Ngeselin banget. Setiap hari selalu ada aja ulah mereka. “AUWW . . . Please, Ren lepasin . .” mohon Fera. “Yaa . . . Cuma segini doang. Gak seru ahh . .” aku menarik nafas kasar. Kulepaskan kapitku dan mendorong Fera ke arah Jenni dan Sandra. Jenni dan Sandra menangkap tubuh Fera yang kudorong dengan sigap. “Awas yah, lihat aja kalian berdua bakalan nyesel nanti.” ucap Fera menggebu-gebu. Mereka berlari meninggalkan aku dan Vita yang tertawa geli. Ada-ada saja kelakuan centil-gengz. Aku menggelengkan kepalaku. Kacau kan hari kebahagiaanku sekarang. Mereka selalu saja membuat ulah. Aku mengajak Vita berjalan ke parkiran, karena Andra sudah menunggu. Andra membawa kami ke sebuah cafe. Tempat makan yang dipenuhi anak-anak remaja seusia kami. Kami duduk di dekat jendela. Kursi ini sudah dipesan Andra terlebih dahulu. Ternyata pemilik cafe ini adalah temannya Andra, berbeda sekolah dengan kami. Vita menyentuh keningku. “Saraf nih Anak! Senyam-senyum sendiri.” “Kayaknya gue harus bawa Siren ke RSJ deh ‘Ndra!” kata Vita kepada Andra yang lagi pesen makanan. “Lo lagi sakit, Ren?” tanya Andra panik menggemgam dan menarik tanganku.Aku tersentak dari lamunan. “Iihh apaan sih!” kuhempaskan tangan Andra. Pletakk . . “Auw…” Vita meringis. Aku menyentil kening Vita. “Gue sehat walafiat, gue masih waras.” “Aishh… Sakit juga sentilan lo. Gue pikir lo cuma bisa gesrek aja.” Vita mengusap-usap dahinya. “Lagian bukannya pesen makan, malah senyam-senyum sendiri dari tadi. Huhh . . . .” tambah Vita kesal. “Lo lagi jatuh cinta yah?” lagi-lagi Vita curiga menatap tajam ke arahku. Menantikan jawabanku. “Jatuh cinta sama siapa lo, Ren?” tambah Andra penasaran. “Ini anak bedua kebanyakan micin kayaknya. Lo juga ‘Ndra kumat oonnya. Belom mimi cucu yah?” candaku. Andra terkekeh geli, sedang Vita mendengus dingin. “Vital sayang, sahabatmu ini lagi ultah lo sekarang jadi ya mau seneng-seneng lah sama kalian. Jangan jutek gitu dong.” rayuku. “Vita Vita nama gue Vita bukan Vital iihhh . . . .” tekan Vita. Andra tertawa menggelegar. “Duh kok ngambek lagi sih. Vital mau mimi cucu juga?” ucapku polos. “Sini . . sini . . Sama Bunda.” “Ngeselin lo . .” Vita memalingkan muka kesal.Aku hanya cekikikan. “Eh . . Tapi beneran nih Ren, hari ini ultah lo?” tanya Andra. “Beneranlah masa gue boong. Makanya gue traktir lo bedua. Jarang-jarang kan gue ajak lo bedua makan di luar.” jelasku. “Kenapa gak bilang-bilang sih Ren? Gue kan bisa kali beli kado dulu tadi untuk lo.” jawab Andra. “Ah . . Andra jangan deh tar ngerepotin lo. Tapi kalo lo maksa sih, kasih aja pasti gue terima dengan senang hati.” kataku tersenyum manis. “Itu sih kemauan lo aja Ren.” sarkas Vita. Aku terkekeh. “Oke lah, tar gue siapin yang spesial buat lo, Ren.” tambah Andra. “Tapi gue heran deh, kenapa sih lo nyembunyiin hari ultah lo? Sekarang sih gue udah tau tanggal ultah lo. Tahun besok gue kerjain ah. Hahaha . . . . Happp . . . . Anjrittt . . . Siren jorok banget sih lo, puehhh puehh . . .” Vita meludah jijik.Sengaja kumasukan tissu ke dalam mulutnya sewaktu ia tertawa lebar. “Bwahahahaha…..” tawaku dan Andra serempak. Tossss.. Aku dan Andra ber-tos ria. Menertawakan Vita. Aku memang menyembunyikan hari ultahku kepada sahabatku di SMA. Gara-gara shock dikerjain sewaktu SMP di kota sebelah. Ditimpuk telur campur wantex warna-warni, mereka berpikir sedang festival Holi seperti di film-film India. Pulang ngafe kami bertiga berjalan-jalan ke mall dan nonton di bioskop. Hingga pulang malam hari. Keesokan harinya . . . Kak Rissa memberikanku kado spesial yaitu sepeda motor roda dua. Tapi gak pernah aku pakai, karena aku gak bisa ngendarainya. Aku sudah punya rencana pengen minta ajarin kak Revan nanti, biar dia yang meluk aku dari belakang. Kak Deni membelikanku bibit tanaman hias. Katanya biar aku jadi istri yang solehah. Padahal aku tahu maksud terselubung dari kak Deni. Biar aku gak resein dia pas lagi ‘bereproduksi’ dengan istrinya di dalam rumah. Karena dulu ia pernah ke tangkep basah lagi mau mulai main bilyar di meja makan. Akhirnya seminggu penuh aku makan di kamar gara-gara gak mau lihat lagi penampakan yang ada di dapur. Mulai dari situlah otakku mulai tercemar. “Kamu udah gede sekarang. Harus belajar jadi istri solehah untuk suamimu kelak. Caranya ya dengan banyak-banyak berada di kebun.” nasehat kak Deni. Aku hanya manyun, malas nanggepin.Andra memberikanku hadiah Parfum dari luar negeri. Kayaknya sih mahal. Aku mengendus ketiakku sendiri. “Perasaan gue gak pernah burket deh! Kok bisa dikadoin parfum yah?” batinku. “Nih, Ren. Kado dari gue, kayaknya lo paling cocok pake ini daripada gue. Coz aura lo bisa lebih terpancar kalo pake ini.” kata Vita mesem-mesem. “Wah . . Makasih banget yah Vital sayang.” jawabku kegirangan. Aku yang gak tahu apa isi dalam kadonya berjingkrak senang. Vita memberikanku dress warna hitam yang sangat sexy tapi dressnya yang di kasih bagus banget dari luar negeri juga kelihatannya. Kata Vita itu namanya lingeri. Vita dapetin lingeri waktu ultah dia ke 18. Beberapa bulan sebelum ultahku. Karena Vita jijik memakainya jadi dia memberikannya kepadaku. Gak tahu kalau Vita mengerjaiku. Sepertinya 2 tahun lebih berteman sama aku, kita sama-sama gak waras. Sudah beberapa hari ini kak Revan pergi. Kerinduanku semakin menjadi-jadi. “Kak Revan belum sms juga. Seminggu kok kayak lama banget sih!” lirihku. Sore sampai malam hari kusibukkan dengan mengerjakan pekerjaan rumah. Apapun ku kulakukan agar waktu berjalan dengan cepat. Kalau gak ada pekerjaan, aku bermain ke rumah Vita. Bergosip dan hang out menghabiskan waktu luang. Selama seminggu aku uring-uringan. Setiap hari aku selalu menjahili kak Deni. Dan juga bermanja-manja kepadanya. “Kak, Denden. Beliin hape baru dong!” pintaku memelas. “Kayaknya hape aku rusak deh.” aku membolak-balikan ponsel. “Coba Kakak liat.” jawab kak Deni mngambil ponsel dari tanganku. Kak Deni memperhatikan dengan seksama ponsel di tangannya. “Masih bagus lo ini, fiturnya masih berfungsi.” jawabnya. “Masa sih? Rusak ah . . . Soalnya udah 2 hari gak ada pesan atau telpon yang masuk.” “Ya udah, besok Kakak beliin yang baru. Kamu dateng aja ke toko sepulang sekolah.” Kupeluk kak Deni. “Yeyy . . . Gak salah emang, kalau sayangnya Siren cuma buat Kak Denden.” “Kalo ada maunya aja peluk-peluk.” sindirnya. “Kak Denden, aku perhatiin makin ganteng aja. Pantes aja akunya cantik banget. Yawong Kakaknya ganteng gini. Muach . .” aku mencium kak Deni. “Udah . . udah . . . Udah gede juga masih aja manja.” kak Deni mencubit hidungku. Kak Deni memang sangat baik.Walaupun sikapnya yang kadang seperti tak memperdulikanku. Tapi sayangnya kepadaku tak bisa diragukan lagi. Apapun yang aku minta pasti ia turuti. Sore ini aku menerima paket dari seorang pria berbaju setelan serba hitam. Pria itu hanya menunduk tanpa berani menatap wajahku. Tampangnya menyeramkan. Beberapa hari ini aneh banget, kayak ada stalker. Bulu kudukku berdiri semua. Seperti ada yang mengintai tapi aku mencarinya gak ketemu sama sekali jejaknya. Berasa ngaker. Paket yang katanya dikirim dari Mr. Revan Apriliano. Aneh banget deh! Kak Revan kan udah kasih kado, tapi kok ngasih kado lagi ya. Isinya jam tangan branded Aigner pula. Dengan menyertakan sebuah note bahwa aku harus selalu memakainya. So sweet kan kak Revan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN