bc

KKN Di desa Terpencil (side story cerita hei gadis indigo)

book_age12+
1.1K
IKUTI
6.9K
BACA
dark
drama
tragedy
comedy
twisted
sweet
humorous
kicking
mystery
scary
like
intro-logo
Uraian

Kali ini menceritakan pengalaman Khaerunissa yang mengikuti KKN disebuah desa terpencil. Berbekal latar belakangnya yang indigo, dan lokasi KKN yang ada didaerah terpencil,ternyata memberikan banyak pengalaman. Gangguan dari makhluk tak kasat mata benar benar mengganggu. Terlebih Indra tidak selalu ada di sampingnya setiap saat.

chap-preview
Pratinjau gratis
Part 1 Pemberangkatan
Pagi ini aku akan berangkat KKN bersama teman-teman kelompokku. Ini adalah salah satu kegiatan yang merupakan agenda wajib semua mahasiswa tingkat akhir jika ingin menyelesaikan studinya. Ada sekitar dua belas orang dalam satu kelompak kami. Ada Aku, Indah, Ferli, Nindi dan Feri yang memang satu fakultas. Sementara teman yang lain ada Lukman, Nadia, Yola, Agus, Faizal, Wicak dan Acong. Yang memang dari fakultas yang berbeda-beda. Kami sudah siap berkumpul di halaman kampus untuk menunggu kendaraan yang akna membawa kami KKN. Tidak hanya kami, tapi ada juga beberapa kelompok lain yang memang akan berangkat hari ini juga. Semua akomodasi disiapkan dari kampus. "Hati-hati, Nis. Di sana daerahnya masih terpencil banget," cetus Indra. Saat ini kami sedang berdiri di dekat taman kampus menunggu teman yang lain datang. Indra datang ke kos sejak subuh tadi. Dia bersikeras mengantarku pergi ke kampus. Karena kebetulan hari ini dia memang bebas tugas. "Iya. Doain aja, Ndra. Semoga lancar semua," jawabku santai. Indra hanya mengangguk. Dengan sorot mata yang tidak bisa kuartikan. Sejak kami sampai di kampus ia terus menatapku, terlebih saat aku tidak fokus padanya. Seolah-olah ia tengah mencuri pandang dan tidak ingin ketahuan. Kekhawatiran Indra memang beralasan. Perasaanku memang sudah tidak nyaman saat mendengar tempat itu dan membayangkan keadaan di sana dari cerita salah satu dosen pembimbing kami. Namun segera kutepis semua pikiran buruk dan berusaha tetap saja positif. Indra memang semakin protektif akhir-akhir ini. Bahkan sejak dia tau akan berangkat KKN dia sudah terlebih dahulu mencari tau bagaimana keadaan di sana. "Masih banyak hutan. Kamu harus hati-hati dan jangan pernah pergi sendirian." Begitulah kata Indra tempo hari. Dia tidak begitu cemas dengan manusia tapi ... dia cemas karena makhluk yang tidak terlihat. Sejak bersama Indra, aku mulai lebih tenang dan bisa mengendalikan ketakutanku. Itu karena dia selalu ada di dekatku. Dan kini ... kami harus terpisah bermil-mil jauhnya. Saat ini hubunganku dengan Indra masih tahap pendekatan. Tetapi memang sudah menjadi kebiasaan, dia sering mengantar dan menjemputku tiap dia ada waktu & kesempatan. Bahkan aku sempat berpikir, apakah pantas hubungan ini disebut hanya sebatas teman? Dengan segala perhatian yang dia berikan padaku? Ah,entahlah. "Eh ... itu mereka. Yuk ke sana!" ajakku langsung berjalan mendahului Indra. Ia terus mengikutiku dari belakang dengan satu koper berwarna pink ditangan kanannya. Yang tidak lain adalah milikku. "Wah, makin lengket aja nih," sindir Ferli, melirik padaku dan Indra yang baru saja sampai. Dengan gerakan cepat kujitak kepalanya karena kebiasaan dia yang selalu menggoda kami. "Ndra, libur ?"tanya Indah yang baru saja meneguk s**u kaleng bergambar beruang di tangan kanannya. "Iya, Ndah. Libur satu hari. Malah kalian mau pergi KKN." Wajah Indra berubah lesu dengan ekspresi tidak rela kami pergi, atau ... aku pergi. "Bentar! Aku translate dulu. 'Iya, Ndah. Libur sehari, eh malah Nisa berangkat KKN.' artinya itu Indah." Tawa Feri meledak bersamaan tawa yang lain. Feri dan Ferly memang pasangan kompak yang suka jahil di mana dan kapan pun kami berada. "Sialaan!!" Indra mengapit kepala Feri dengan lengannya karena malu oleh celotehan Feri. Aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah mereka. "Yang lain mana, Nin?"tanyaku ke Nindi yang sedang melihat papan pengumuman peserta KKN. "Tau nih, bentar lagi mungkin, Nis," jawabnya asal. Matanya masih fokus melihat deretan nama di depan."Eh Nis! Lihat! Fans berat kamu ngikut kelompok kita!"kata Nindi menunjuk sebuah nama yang terlihat familiar. "Siapa sih?"tanyaku sambil ikut mendekat. Aku merasa tidak memiliki penggemar, tapi kenapa Nindi mengatakan hal seperti itu. "Acong. Anak hukum itu," sahut Nindi sebelum aku membaca namanya. Dan memang benar, tertera nama Acong Dwi Nugroho. Ah! s**l sekali! Aku diam sambil menatap nama Acong dengan hati sedikit gelisah. Membayangkan beberapa waktu lalu saat dia terus membuntutiku bahkan selalu ada di mana pun aku berada. Dasar gila! "Uhuuk ... Uhuuk!" Indra tiba-tiba tersedak dan segera meneguk air mineral pemberian Indah. Sedangkan yang memberikan minum cengengesan, menepuk-nepuk punggung Indra. "Kenapa, Ndra? Cieee ... cemburu nih ...," ledek Ferli yang selalu mengapit lengan kekasihnya, Feri. "Apa sih? Tenggorokanku sakit tau!" Ujarnya sebagai alasan. Dan tentu saja tidak ada yang percaga kata-katanya barusan. "Tenggorokan apa hati?" Kembali tawa renyah Feri menggelegar. Ia segera berlari menjauhi Indra takut dicekik lagi mungkin. "Tenang, Ndra. Nisa nggak suka sama Acong kok. Nanti aku jagain di sana, biar Acong nggak deket-deket Nisa,"kata Nindi membela Indra. Tumben. Indra hanya diam saja sambil meneguk air minum hingga tandas. "Habis ini kamu mau kemana, Ndra? Kamu nggak pulang ke rumah mama papa kamu aja?"tanyaku. "Balik kos aja deh. Lagi males ke mana-mana," sahutnya dengan wajah masam. "Oh gitu. Ya udah. Jangan lupa makan. Tidur jangan kemaleman," nasehatku yang memang hafal bagaimana kebiasaan Indra. Sering lupa makan. Sekaligus begadang tiap malam hanya untuk menonton film kesukaannya. Dan biasanya hanya tayang saat tengah malam. Dia malah senyum-senyum. Luruh sudah ekspresi kecewa dan kesalnya yang sejak tadi ia perlihatkan. "Makasih, ya," ucapnya dengan senyum tertahan. "Oh iya! Hampir aja lupa. Kamu pakai ini, ya. Kemarin aku dapat dari Mekkah. Oleh-oleh dari mama," katanya lalu memberikan sebuah kalung perak berliontin asma Allah. "Loh kenapa dikasih ke aku?" Tanyaku heran, walau tetap saja kuterima kalung itu dengan terus menatapnya lekat-lekat. "Iya, kamu lebih butuh. Semoga bisa jagain kamu juga selama di sana. Karena aku nggak bisa ke sana tiap saat." Kalimat Indra mampu membuat degup jantung ini naik ritmenya. Terlebih kini dia membantuku memakainya. "Kamu itu selalu bikin jantungku fitnes!"gumamku lirih. "Hah? Jantungmu fitnes?" Pertanyaan Indra membuat kedua bola mataku melebar. Aduh! Malah denger dia! "Eh ... Bukan! Jadwal ku fitnes harusnya hari ini, malah nggak bisa ikut,"kataku bohong sambil garuk-garuk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Tak lama peserta KKN yang lain pun mulai berdatangan. "Udah komplit nih kayaknya. Yuk berangkat sekarang aja!" ajak Faizal memberi komando. "Ya udah. Aku berangkat, ya," kataku lalu berjalan hendak masuk ke mini bus yang akan membawa kami. "Nis! Hati-hati, ya, di sana. Kalau sempat, aku pasti ke sana,"katanya sambil menahan tanganku. Dan posisi kami ada di pintu bus. "Iya, Ndra. Ya udah. Sampai ketemu lagi. Bye." Aku melangkah masuk dan memilih duduk di dekat jendela yang otomatis dekat juga dengan posisi Indra sekarang. Belum pergi aja, aku udah kangen. eh ... kenapa aku ini? kok kangen. Feri mendekat ke Indra. "Itu tuh, yang namanya Acong. Saingan elu," kata Feri setengah berbisik sambil menunjuk Acong yang ada di depan bus. Sedang menenteng tasnya sendiri. Indra menatap Acong dengan tatapan tajam. Rupanya dia mudah terpengaruh oleh perkataan teman-temanku. Aku pun tersenyum geli melihatnya. "Titip Nisa, Fer!"pinta Indra saat Acong masuk ke bus. "Siap, komandan!"kata Feri sambil membusungkan d**a ke Indra. Berlagak seperti seorang polisi. "Daah Indra!" teriak teman-teman yang duduk satu deretan denganku. Indra melambaikan tangannya pada mereka dan tersenyum padaku. "Nis! Kabarin aku terus, ya," pintanya agak berteriak. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Akhirnya lama kelamaan Indra sudah tidak terlihat lagi karena kami semakin menjauh dari kampus. "Nis! kenapa kalian nggak jadian aja sih?"tanya Indah yang duduk di sebelahku. "Lah dia aja nggak nembak. Gimana mau jadian?" Bagi kami suatu hubungan memang harus didasari komitmen. Seperti mengungkapkan perasaan kepada seseorang, atau disebut nembak, masih menjadi tradisi jika seseorang dikatakan kekasih orang tersebut. "Padahal, kan, udah keliatan banget Indra suka sama kamu." "Tapi kan dia belum bilang apa-apa, Ndah. Masa harus aku yang nembak? Ogah amat!" Kuraih gawai dan memasang earphone, mendengarkan musik. Waktu tempuh perjalanan yang 3 jam itu dapat dengan mudah kami lewati. karena selama di bus. Kami sering berceloteh dan bernyanyi- nyanyi untuk menghilangkan suntuk dan bosan. ========= Kami sampai di desa itu. Jalannya belum diaspal, masih berupa bebatuan juga tanah, dan masih banyak pohon di sana sini. Bus kami berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar dan termasuk yang paling bagus di sini. Inilah rumah kepala desa nya. Kami lalu turun satu persatu dengan barang bawaan kami yang banyak. Pak kades sudah menunggu kami di depan terasnya bersama istri dan anaknya yang masih kecil. "Selamat datang, mas-mas dan mba-mba. Mari silakan masuk," kata pak kades ramah. "Terima kasih pak"jawab faizal. Kami lalu masuk meninggalkan bawaan kami diluar dan duduk diruang tamu pak kades yang cukup luas menampung kami. "Mungkin pihak kampus sudah meminta ijin agar kami dapat KKN di sini pak. Namun secara pribadi kami mau minta ijin lagi ke pak kades.m, kalau selama sebulan ini kami akan merepotkan pak kades," kata Acong mengawali obrolan. "Oh iya, tidak apa-apa kok, Mas. Saya serta warga desa malah senang, ada mahasiswa yang KKN di sini. Kampung jadi lebih ramai nantinya, dan akan terbantu oleh kalian," kata pak kades. "Ngomong-ngomong nanti kami tinggal di mana ya, pak?" tanya Faizal. "Saya sudah sediakan rumah, ada di tengah desa. Saya yakin cukup untuk semua. Karena rumah itu yang paling banyak kamarnya. Dan rumah itu kosong, ya untuk keperluan KKN seperti yang sudah-sudah," jelas pak kades. "Terima kasih ya, pak. Jadi merepotkan," kata Indah basa basi. Kami diantar oleh salah 1 warga suruhan pak kades menuju rumah posko kami. Karena memang jalannya yang tidak memungkin kan dilalui mobil bahkan bus, kami akhirnya jalan kaki. Luar biasa, untung aku hanya membawa 1 koper bawaan saja. Yang lain ada yang membawa gitar, bantal pribadi, boneka. Katanya dia tidak bisa tidur tanpa bonekanya. Dan itu adalah Ferli. "Hadeh ... berasa pindahan," gumamku. Aku berjalan berdampingan dengan Indah dan Nindi. "Duh... Ini signal pada ngumpet ke mana sih ya?" tanyaku kesal, sambil kugoyang-goyang kan ponselku menghadap atas.  Berharap mendapat signal walau 1 strip saja. "Jiaah! Yang kangen Aa. Oh iya, tadi kan suruh ngabarin ya. Mampus lu! Indra bakal uring-uringan nggak dapet kabar elu!!" ledek Feri yang berjalan di belakangku. "Ini hutan kali, Nis. Pedalaman. Ya nggak ada signal kali," cetus Nadia yang berjalan di depanku. "Iya, ya. Tanpa internet sebulan dong nanti?! argh!" teriakku frustasi. "Hm. Kayaknya kita kudu fokus KKN nih, nggak bisa main-main," Indah menambahi. "Nis, nggak nyangka kita 1 kelompok," Acong tiba-tiba sudah mensejajari langkahku. "Iya," jawabku singkat masih fokus dengan ponselku. "Udah, percuma. Nggak bakal dapet signal di sini," kata Acong yang menyadari aku tidak memperhatikannya. "Tau gini tadi aku pinjem walkie talkie nya Indra," gumamku sambil menatap ke sekitar, kesal. "Cowok tadi pacar kamu ya?" tanyanya. "Bukan. Temen." "Masa sih? Kayaknya aku sering liat dia nganter jemput kamu kalau kuliah." "Emang cuma pacar doang yang bisa anter jemput," timpalku kesal. "Cong, dia itu calonnya Nisa. Polisi. Kamu gak usah deket-deket Nisa lagi," kata Indah. "Selama bendera putih belum berkibar masih bisa nikung kali," sindir Acong sambil melirik padaku. Aku balas menatapnya tajam. Dasar gila! "Becanda kali, Nis." ====== Akhirnya setelah menempuh perjalanan 2 km, kami sampai di rumah itu. "Alhamdulilah. Nyampe juga," teriak Feri dan langsung merebahkan dirinya di teras depan. Lantainya masih lantai tehel jaman dulu. Bukan keramik seperti rumah- rumah modern pada umumnya. Namun tetap terlihat bersih jika pandai merawatnya. "Ini rumahnya. Kamarnya ada 8, lalu kamar mandinya ada 2 , letaknya di dapur, cuma wc nya ada di sumur belakang. Karena itu dibangun belum lama," terang Pak Ponidi. "Duh, kalau kebelet tengah malem gimana, pak. Horor gini lho. Pohon doang di sini," kata Lukman. "Kalau gitu usahakan jangan kebelet tengah malam, mas. Sebenernya desa ini sih aman daripada desa sebelah." "Desa sebelah kenapa, pak?"tanyaku penasaran. "Angker mba. Dulu semua warganya dibantai sama orang, terus katanya arwah mereka penasaran. Saya sarankan hati-hati. Jangan sampai kalian masuk ke desa sebelah. Karena jaraknya lumayan dekat dari sini," terang Pak Ponidi sambil bergidik ngeri. "Dibantai? Serem banget sih? Kapan itu kejadiannya?" tanya Nindi. "20 tahun yang lalu, mba. Sampai sekarang desa itu tidak berpenghuni. Jangan main-main kesana pokoknya," pinta Pak Ponidi. "Iya, Pak. Makasih infonya," sahutku mengakhiri obrolan ini. Pak Ponidi kembali ke rumahnya yang ada di ujung jalan searah dengan kami. "Oke. Kita bagi tugas mulai sekarang," saran Faizal. "Ketua Wicak. Gimana? Ada yang nggak setuju? Angkat tangan," kata Acong memberi ide. Tidak ada yang angkat tangan karena posisi ketua di sini mempunyai tanggung jawab yang besar. "Eh. Kok aku sih?" Wicak protes. "Kan kamu ketua DPMU. Udah dipercaya deh, bakal bisa jadi ketua selama kita di sini. Setuju kan semua?" tanya Acong. "Setuju!" teriak kami bersamaan. Wicak pasrah. Hahahaha. Dia ini memang pribadi yang dewasa, pendiam dan digandrungi cewek-cewek tingkat nya sendiri maupun adik tingkat. Dia juga menjabat sebagai ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPMU). Jadi eksistensinya tidak diragukan lagi. "Wakil siapa?" tanya Lukman. "Acong aja tuh. Mereka kan kayak kembar siam. Ke mana-mana bareng," jawab Agus. "Setuju!" teriak kami lagi Acong juga kena getahnya. Dia pun pasrah. "Bendahara siapa? Cewek nih harusnya," kata Wicak. "Ada yang mau nggak?" tanya Acong. "Kamu aja gimana, Nis? Sama Nadia," pinta Wicak . Aku dan Wicak memang sudah akrab, karena rumah kami berdekatan. Dia adalah teman kecilku dulu. "Hah? Aku? Na, gimana?" tanyaku ke Nadia. Dia hanya mengangkat bahunya ke atas. "Oke fix. Bendahara 1 Nisa, bendahara 2 Nadiya," kata Acong semangat. Lalu dibentuk juga jadwal untuk masak setiap harinya. Karena anggota ada 12 kami bagi 1 hari ada 2 orang yang memasak dan beres- beres. Seperti cuci piring, menyapu dll. Kecuali cuci baju. Cuci sendiri-sendiri kalau yang itu. Dan aku mendapat jatah hari rabu dan bertugas bersama Wicak. Sedangkan hari minggu kami kerjakan tugas bersama-sama. Hitung-hitung kerja bakti. Setelah pembagian tugas, kami masuk ke kamar masing-masing untuk membereskan bawaan kami. Aku sekamar dengan Ferli, sedang kan Indah dengan Nindi. Feri dengan Faizal, Nadia dengan Yola, Wicak dengan Acong, Agus dengan Lukman. Dan ternyata masih tersisa 2 kamar kosong yang letaknya di belakang. Setiap kamar dilengkapi 2 bed ukuran single dengan meja di tengahnya lalu jendela yang cukup besar juga. "Ini serius, nggak bakal ada signal, Fer??" tanyaku masih terpaku dengan ponsel. "Ya ampun. Segitu kangennya sama Babang Indra. Ntar juga dia nyusul ke sini," kata Ferli yakin. "Masa?" "Liat aja. Aku paham gimana dia. Apalagi perasaannya ke kamu tuh, udah dalem banget. Heran kapan dia nembak kamu sih? Biar kalian jadian aja sekalian!" kata Ferli gemas. Aku diam saja lalu meletakan ponselku di meja, melanjutkan beres-beres di kamar. Tok.tok.tok Aku & Ferli saling lempar pandangan. Kami mendengar jendela kamar kami diketuk pelan. Ferli mengisyaratkanku untuk melihat siapa yang mengetuk. Perlahan aku berdiri dan berjalan mendekat ke jendela. Kuintip sedikit dari korden. Karena memang korden masih tertutup, belum sempat kami buka. Kosong. Tidak ada siapapun. Akhirnya kubuka korden itu lebar-lebar. Agar cahaya matahari masuk dan kubuka jendelanya juga. "Siapa, Nis yang ketok?" tanya Ferli penasaran. "Ayam tadi di bawah," kataku bohong. Kalau aku jujur, dia bakal paranoid nantinya, dan berfikir itu ulah makhluk halus. Sebenarnya aku juga penasaran siapa yang mengetuk. Karena saat kulihat tidak ada siapa pun tadi. ah sudahlah. Biarkan saja.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Mrs. Rivera

read
47.2K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
123.0K
bc

Dua Cincin CEO

read
232.3K
bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
51.6K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
61.4K
bc

Bukan Cinta Pertama

read
55.1K
bc

Hubungan Terlarang

read
507.2K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook