Hampir seminggu ini aku disibukkan oleh kegiatan kampus serta ujian-ujiannya. Ujian semester berhasil aku lalui tanpa kendala, begitu juga dengan Rido sobatku dan juga Safa pacarku yang cantik sekaligus pintar namun rada bad girl. Disamping itu, aku juga disibukan dengan prosesi kepindahan kepercayaan, kalau saja aku bisa sudah pasti kutolak! udah tau Aku dan Ra beda kepercayaan, kenapa masih aja di jodohin sih. Kan, freak banget.
Seminggu berlalu, aku disibukan dengan acara sialan yang mengharuskanku fitting baju dan memilih cincin serta berbagai macam kegiatan menjelang pernikahan lainnya. Bukan apa-apa, kalau semua hal dikerjakan oleh ku dan mama lalu apa gunanya Ra yang juga sebagai calon mempelai? Mama sedari tadi begitu antusias memilih gaun dan setelan jas untuk aku dan Ra kenakan di acara pernikahan nanti.
“Ma,” panggil ku, mama hanya berdehem saja. “Harusnya Ra yang kesini sama tante Mirna, kenapa jadi kita yang repot sih” aku mengutarakan isi hati, kesal tentu saja.
Mama menoleh, lalu mendekatiku dan duduk di sebelahku. “Ken, sebenarnya bukan mama yang berhak bicara seperti ini sama kamu, melainkan Ra nanti. Tapi kamu harus tau supaya mengerti”
Aku menghela nafas. “Please jangan berbelit-belit, Ma”
“Hubungan Ra dengan kedua orang tuanya sangat buruk. Mama bisa melihat dari tatapan sinis Mirna ke Ra yang sepertinya kalem dan pasrah. Mama kasihan sebenarnya dengan anak itu, makanya mama ingin kamu segera menikah dengan dia dan hidup berdua” jelas mama, aku mengerutkan kening bingung lantas tertawa dalam hati, wajar saja sih anak seperti dia di benci oleh kedua orang tuanya. Mama belum tau saja sih sifat Radista yang pembangkang dan menyebalkan. Tunggu saja sampai mama merasakannya sendiri.
“Jadi, sekarang kamu jangan protes terus karena sebentar lagi Ra akan datang”
Tepat setelah mulut mama berhenti berbicara, pintu butik terbuka dan menampakan wajah cewek super-kyud yang sedang nyengir kuda. Aku berdecak gemas, kenapa setiap kali aku melihatnya kata ‘super-kyud’ selalu muncul sih? tapi kalau boleh jujur Radista memang cantik dan sangat kyud. Tapi sayang, dia bukan tipeku, kalau tipeku sih jelas yang kayak Safa Aurelia. Cewek macam Radista itu tipenya Rido banget.
“Siang tante..” sapanya sembari tersenyum cerah. “Siang Ra, jangan panggil tante dong. Panggil mama, oke?”
“Oke, Ma”
Aku memasang wajah ingin muntah saat Ra melirik sekilas kearahku, bisa-bisanya dia bertingkah se-kyud itu di depan mama, sementara kalau di depanku dia berubah jadi galak dan menyebalkan. Benar-benar tidak adil! Eh, kenapa aku jadi kesal seperti ini? sial, pikiranku sudah tidak sehat lagi sepertinya.
Mama mengangkat satu gaun. “Kamu coba yang ini dulu ya, Ra”
Cewek itu mengangguk, setelah dia menghilang aku menopang dagu dengan kedua tangan karena merasa bosan dan lelah menunggu kaum hawa belanja. Lima menit kemudian Radista keluar dengan gaun yang pertama dipilih. “Ah, nggak salah gue kasih dia julukan si-cewek-super-kyud” batinku dalam hati, gengsi dong kalau aku harus bilang dia cantik secara langsung. Mama menepuk bahuku “Gimana, bagus nggak?”
Aku melihat Ra lagi yang memamerkan wajah cemberutnya. “Jelek, ganti!”
Awalnya memang tidak pantas, namun lama kelamaan Radista mencak-mencak sangking seringnya aku bilang “Jelek, ganti!”. Muwahaha, biar dia tau rasa aku kerjain. Mama menghela nafas, lalu menarik gaun terakhir untuk di coba. Dengan berat hati Radista kembali masuk ke ruang ganti, tirai itu tersibak, tak lama kemudian Ra keluar dengan gaun terakhir.
“Jel-“
Ucapanku terputus kala melihat gaun yang di pakai Radista nampak sangat cocok dan dia terlihat lebih anggun nan elegan. Seketika aku tak mampu untuk berkedip barang satu kali saja. Wajah cantik, tubuh langsing juga tinggi semampai di balut oleh gaun berwarna gold yang memancarkan aura kemewahan, bagian pundak nya terekspos begitu saja membuatku terpesona.
Mama tersenyum “Ok fix, yang ini, Ra. Lihat tuh Ken sampai menganga gitu lihat kamu sangking terpesonanya. Menantu mama memang cantik sih”
-Batas-
Aku menatap cewek yang ada di depanku saat ini dengan tatapan memohon agar dia mau memaafkanku. Aku terus memegangi tangannya untuk meminta maaf, aku tau aku salah karena akhir-akhir ini jarang mengajaknya jalan atau balapan. Jangan bilang aku suka menyembah pacar untuk mendapatkan maaf, nggak gitu konsepnya ya.
Dia menatapku. “Kamu sibuk apa sih, beb?”
Aku menghela nafas “Aku lagi ada masalah sama keluarga, beb Kamu ngertiin dong, coba kamu yang di posisi aku” jujur, selama aku pacaran dengan Safa belum pernah aku berbohong dengan dia, tapi semenjak insiden perjodohan itu entah kenapa mulutku sering sekali mengumbar kata-kata yang penuh dengan kebohongan. Saat melihat wajah Safa rasanya pori-poriku berteriak dan ingin memberitahu soal acara pernikahanku yang akan diselenggarakan besok. Hari ini aku mendeklarasikan bahwa aku adalah laki-laki paling pengecut dan b******k.
“Oke, aku ngertiin kamu. Tapi aku belum maafin kamu,”
“Beb.."
“Sebelum kamu ajak aku balapan lagi”
Aku mengembangkan senyum, see? Pacarku satu ini memang beda dari cewek kebanyakan, dan itu salah satu daya tarik yang membuatku jatuh bertekuk lutut di bawah Safa, aku cinta mati pada gadis itu. Dia sudah menjadi badgirl sejati yang kecanduan balapan, aku mengangguk seraya mengecup punggung tangannya. “Apapun asal kamu mau maafin aku”
“Jadi, kapan kita balapan?”
“Malam ini”
Malam ini, mungkin akan menjadi malam terakhir aku balapan sebelum hari pernikahan. Dan soal Safa, biarlah dia tau dengan sendirinya nanti, karena aku belum siap untuk kehilangan dia, sama seperti aku kehilangan sepupunya. Mungkin kalian akan mengecap aku sebagai laki-laki paling b******k, aku tidak akan menyangkal, karena itu benar adanya. Aku, Kendric Abraham adalah laki-laki paling b******k di dunia ini.
“Kita berangkat sekarang?”
Sama seperti malam-malam sebelumnya, aku dan Safa menang telak dari mereka. Namun bedanya balapan kali ini hadiahnya tidak terlalu besar, dan aku tidak peduli karena di atm ku masih banyak isinya. Yang terpenting Safa pacarku itu bisa senang dan aku bisa melihat senyum manis terukir di wajah cantiknya.
Safa memeluk pinggangku dengan erat. “Thanks ya, Beb. Malam ini aku seneng banget”
"Beb, mulai sekarang jangan keseringan balapan ya. Aku nggak bisa jamin bakal bisa ajakin kamu tiap malam seperti sebelumnya” jawabku, motor yang aku kendarai melaju kencang di jalanan menuju rumah Safa.
Bisa aku rasakan Safa meletakan dagu di bahuku. “Kenapa? apa kamu mulai takut kalau kejadian tahun lalu terulang lagi?”
Dengan pelan aku mengangguk. Sebenarnya itu hanya alasan kedua, alasan yang pertama karena aku akan menikah. Setelah itu tidak ada percakapan lagi antara aku dan Safa, aku tersenyum saat motor yang aku kendarai berhenti di depan rumah cewek berambut pendek yang masih menjabat sebagai pacarku. “Yah, malah tidur” gumamku pelan. Dengan hati-hati aku turun dari motor, lalu menggendong Safa masuk ke dalam rumah.
Asisten rumah tangga tergopoh-gopoh, “Langsung bawa ke kamar aja, den. Bibi nggak kuat soalnya”
Aku mengangguk, setelah membaringkan Safa aku menarik selimut sampai sebatas dadanya, disusul dengan kecupan singkat di kening. “I love you, Safa” meninggalkan Safa yang terlelap, aku menutup pintu dan turun ke bawah, disana sudah ada pembantu yang membawa nampan dengan gelas berisi teh di atasnya.
“Bi, Ken pulang dulu ya.” pamit ku.
"Loh, den. Ini bibi buatin teh"
"Buat bibi aja" lanjutku sembari berjalan keluar rumah.
“Iya udah, den hati-hati”
-Batas-
Aku menatap diriku di pantulan cermin, mengenakan setelan jas berwarna Silver. Tidak ada senyum sedikitpun yang muncul, pikiranku justru berkelana ke tempat Safa, seharusnya aku menikah dengan dia dan bukan dengan cewek bernama Radista yang tidak aku kenali sebelumnya. Aku mengelus cincin yang ada di kotak beludru, cincin dengan permata yang sangat cantik. Saat aku membelinya, yang ada di pikiranku justru Safa, aku membayangkan memakaikan cincin itu di jari manis Safa. Sayangnya kenyataan tak bisa seindah bayanganku, lamunanku buyar saat pintu terbuka.
Aku menoleh dan mendapati mama yang tersenyum ke arahku, beliau merapikan kembali jas yang aku kenakan. Ah iya, ada satu hal yang ingin aku tanyakan ke Mama. “Ma, Hen beneran nggak bisa pulang ya?” tanyaku, ya ya ya meskipun aku dan Hen sering adu mulut bukan berarti aku tidak sayang dan tidak menganggapnya adik. Tanpa kehadiran Hen di pernikahanku, rasanya ada yang kurang.
Mama tersenyum lagi, lantas menangkup wajahku. “Hen masih sibuk sama kuliahnya, dia nggak bisa ambil cuti mendadak juga. Sudah, kamu nggak perlu pikirkan dia”
Aku menghela nafas sejenak, sebelum mengembangkan senyum tipis dan mengangguk “Iya, Ma”
"Sudah siap?"
"Ma.." lagi, hatiku rasanya begitu berat.
Mama menatapku, menunggu kelanjutan ucapanku. "Ini bukan kesalahan kamu, Ken. Ini adalah janji yang harus papamu tepati, kamu percaya saja. Radista itu gadis yang baik, dia sopan dan tidak banyak gaya. Percaya sama mama, suatu saat kalian pasti akan saling mencintai"
Aku menghela nafas. "Tapi..aku punya pacar, Ma"
Kita berdua terdiam, senyum di wajah mama perlahan menghilang. “Bisa kamu putusin pacarmu itu, Ken?”
Dengan lemah aku menggeleng, “Aku nggak bisa, Ma. Aku sayang banget sama dia”
“Nggak harus sekarang, tunggu sampai kamu siap. Tapi mama mohon sama kamu, jangan permainkan perasaan wanita terlalu dalam ya” nasihat mama akan selalu aku ingat, meski pada akhirnya tidak akan pernah aku lakukan. “Sudah, jangan pikirkan hal lain lagi, kita harus segera berangkat ke gereja”
Akhirnya dengan berat hati aku melangkahkan kaki, dengan mama yang menggandeng lengan ku. Ya, mulai sekarang aku akan menerima takdir yang sudah di gariskan untukku, dengan mama di sisiku semoga aku bisa melewati semuanya.
-Batas-
Ternyata keluargaku datang lebih dulu, tapi tak lama kemudian keluarga Radista datang. Cewek itu masuk ke dalam gereja seraya menggandeng lengan om Johan, di belakang ada tante Mirna dan beberapa jemaat yang mengiringi prosesi pernikahan ini.
Jangankan untuk mengalihkan tatapan, berkedip barang satu kali saja rasanya enggan saat melihat wajah Radista yang dipoles make up, menggunakan gaun yang kita beli kamrin, dan jika veil itu di sibak, aku bisa melihat dengan jelas betapa indahnya pahatan tuhan yang satu ini.
"Waaah, cantik banget dia. Mirip Mirna ya"
“Astagaa, aku nggak pernah nyangka anaknya Johan secantik itu. Dia mirip seorang dewi”
“Beruntung banget ya, anaknya Nick bisa dapet gadis secantik Radista”
Sialan, kenapa aku kesal saat banyak orang yang menatap kagum ke arah Radista? Dan kenapa tiba-tiba aku jadi uring-uringan gini karena merasa Radista adalah milikku, dan hanya akan menjadi milikku.
Aku menelan saliva susah payah, debaran jantungku tiba-tiba saja menggila. Untuk kali ini saja, aku ingin bilang kalau Radista Azzahra benar-benar cantik luar biasa, dan aku terpesona olehnya.
Kami berdua dipertemukan di depan mimbar, segenap prosesi terlewati dengan lancar sampai pada akhirnya aku harus mengucapkan janji suci. Netraku menatap kedua netra Radista di balik veil putih yang cewek itu kenakan. Aku lagi-lagi harus mengatur nafas, jangan sampai keliru mengucap janji suci.
"Saya mengambil engkau menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu yang susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita..."
Acara pengucapan janji suci berlangsung dengan lancar, dan saat tiba di ujung kalimat aku menghentikan ucapanku, hari ini tinggal sedikit lagi aku akan selesai mengucapkan janji suci, meminang seorang gadis dari sebuah keluarga untuk ku jadikan istri. "...sesuai dengan hukum allah yang kudus... dan inilah janji setiaku yang tulus"
Setetes air mata Radista turun, tanganku bergerak mengusap dengan lembut.
Mulai hari ini, baik kehidupanku maupun kehidupan Radista akan berubah.