6. Panti Asuhan

2001 Kata
Zein menatap istrinya dengan seksama, seorang wanita dengan piyama berbaring disampingnya, sedangkan pagi hari sudah mulai menyapa, burung-burung pagi sudah mulai bersiul menandakan hari sudah mulai pagi, Zein enggan mengedipkan matanya dan masih menatap Devina lekat. Kenangan indah terus mengusik dirinya, bahkan Zein sudah membayar orang untuk mencari keberadaan Devina di Jakarta, namun sudah hampir satu tahun, Zein tidak mendapatkan kabar apa pun dari orang yang ia sewa. Zein tersenyum lalu terkejut ketika melihat semua itu hanya mimpi belaka, Zein sontak memposisikan dirinya duduk dan menyusuri setiap tempat dan benar-benar hanya mimpi, bukan kenyataan. Zein lalu menggerakkan tangannya dan melihat cincin itu, cincin yang Devina sematkan padanya ketika pernikahan mereka di Spanyol terlaksana. Zein mengacak rambutnya frustasi dan menghela napas kasar. “Aku merindukanmu. Dimana kamu, Devina?” gumam Zein. Suara ketukan pintu terdengar, Zein melihat Dina—sekretarisnya—masuk ke kamar. Dina yang sudah lama menyimpan rasa pada Zein, namun Zein tidak pernah menganggapnya lebih dari seorang sekretaris. Dina masuk ke kamar dan langsung masuk ke kamar ganti, ia mempersiapkan segala persiapan Zein dari baju dan sepatu, juga jam tangan untuk Zein pakai hari ini ke kantor. Sebuah setelan jas yang digantung khusus ada didekat lemari, namun itu khusus dan tidak pernah bisa Dina taruh di dalam lemari, Zein melarangnya begitu keras tidak sampai menyentuh setelan jas pemberian istrinya itu. Zein sudah mengenakannya ketika mereka akan bertemu, namun Zein menunggu hingga larut malam, Devina tidak datang maupun memberi kabar, sedangkan Devina sudah menghafalkan nomornya. Dina keluar dari ruang ganti dan membungkukkan badannya, Dina sudah biasa melihat Zein yang baru bangun dari tidurnya, masih berantakan namun tetap tampan dan menggoda. “Pak, saya sudah siapkan pakaian Anda,” kata Dina menunggu intruksi selanjutnya. “Kamu kembali ke kantor saja,” jawab Zein. “Tapi, Pak—“ “Kamu mau apa lagi? Bukankah tugasmu sudah selesai?” “Baik, Pak, saya akan kembali ke kantor,” jawab Dina yang tidak pernah diharapkan kedatangannya, meski ia datang, namun ia selalu di abaikan kehadirannya. Dina lalu melangkah meninggalkan atasannya yang masih duduk di atas ranjang mencoba mengumpulkan nyawanya kembali setelah tidur panjangnya. Setiap malam, ia mimpi indah, bahkan mimpinya memang nyata terjadi di Spanyol,, kebahagiaan dan pernikahan yang ia jalani bersama Devina masih melekat dihatinya, ia tidak pernah sekali pun melupakan sosok itu, sosok yang tidak pernah ia nafkahi karena menghilangnya Devina dari hidupnya. Zein lalu beranjak dari duduknya dan melangkah ke kamar mandi, ia mengatur suhu panas, lalu naik ke bathup dan berendam di sana, ia menggunakan sabun cair, ia terus menatap kosong didepan sana, banyangan istrinya masih sering mengusiknya, entah bagaimana bisa melupakan sosok yang selalu melekat bagai permen karet. *** “Kamu ya, Din,” kata Manda—istri dari ayahnya Zein. Manda Winata. “Eh Tante … “ “Zein udah bangun?” tanya Manda. “Udah, Tante, sekarang lagi siap-siap kayaknya, kerjaanku udah selesai, dan aku akan kembali ke kantor,” jawab Dina. “Kamu nggak sarapan dulu, ayo sarapan dulu,” ajak Manda. “Nggak usah, Tante, aku bisa sarapan di kantor, Pak Zein kalau udah nyuruh dan nggak dilakuin suka marah besar,” tolak Dina. “Tapi dia anak yang baik kok,” jawab Manda tanpa diketahui Dina apa maksud dari perkataan ibu tiri dari Zein itu. “Oh iya, kalau begitu saya permisi dulu, Tante,” sambung Dina lalu melangkah meninggalkan Manda yang masih menatap punggungnya. “Aku yakin banget dia menyimpan rasa suka pada Zein,” gumam Manda. “Bu, sarapan sudah siap,” kata Minte—asisten rumah tangga di rumah pribadi mereka. “Baiklah. Kamu sudah menatanya di atas meja?” “Udah, Bu,” jawab Minte. “Ya udah.” Manda lalu melangkah menuju kamar suaminya—Dante. “Papa, ayo bangun, sarapan udah siap,” kata Manda duduk ditepian ranjang, sang suami sudah tidak bisa berjalan, dan hanya bisa berjalan menggunakan kursi roda, semenjak sakit parah waktu itu, Dante jadi struck dan tidak bisa melangkahkan kakinya. Manda selalu menemani suaminya, sampai saat ini ia masih mencintai suaminya, entah nanti ketika Dante benar-benar tidak bisa apa-apa, karena Manda masih sangat muda. Sikap Zein pada Manda tidak pernah baik, bahkan Zein sering menekankan agar Manda tidak pernah menyapanya apalagi menegurnya, Zein menganggap apa yang dikatakannya pada Manda adalah perintah, terlepas dari Manda adalah istri dari ayahnya. Zein kembali ke rumah ayahnya dan meninggalkan rumahnya sendiri, karena permintaan ayahnya dan kondisi ayahnya yang melemah, jadi Manda tidak berhak mengaturnya atau pun mengajaknya berbicara. Zein keluar dari kamarnya dan menuruni tangga, rumahnya hanya berlantai 2, namun rumahnya sangat besar dan luas. Bahkan satu desa pun jika tinggal di sini pasti tidak akan pernah full. Zein melihat Manda tengah menyuapi ayahnya, ia tidak menyapa apalagi menegur ayahnya, ia lansgung melangkah melintasi keduanya yang sedang mesra-mesraan, entah mengapa sulit sekali mempercayai Manda, ia menganggap Manda persis seperti Devina yang sudah menyakiti hatinya. “Zein, kamu tidak sarapan dulu?” tanya Manda pada Zein. “Aku sudah bilang jangan pernah menegurku!” bentak Zein. “Zein, yang sopan kamu, Manda ini adalah istriku, jadi kamu harus menghargainya seperti menghargaiku,” kata Dante yang masih duduk di kursi roda. “Aku tidak pernah menganggap wanita ini adalah ibuku, jadi jangan pernah bersikap baik didepanku,” kata Zein lalu melangkah meninggalkan keduanya. “Zein, kamu—“ Dante hendak mengatakan sesuatu namun dadanya menjadi sakit. Manda menggelengkan kepala. Lalu berkata, “Pa, jangan. Biarkan saja Zein melakukan apa yang ingin dia lakukan. Mama tidak apa-apa kok.” “Papa tidak suka dengan caranya yang tidak santun itu,” sergah Dante. “Papa nggak usah banyak gerak dulu, biarkan saja Zein seperti itu. Jika dia ingin di abaikan, kita harus mengabaikannya, Mama tidak mau karena itu malah membuat hubungan Papa dan Zein menjauh,” kata Manda membuat Dante mengangguk. “Mama memang pantas mendampingiku,” ucap Dante membuat Manda tersenyum. “Ya udah. Papa makan dulu. Kan mau minum obat.” Dante menganggguk. Dulu, Zein adalah pria yang harmonis, bahkan sikapnya selalu manis, ia selalu membantu orang lain yang kesusahan, namun ketika cinta tidak berpihak padanya, ia menjadi lebih berubah dan lebih beringas. Ia tidak lagi menghargai sesama, bahkan dengan sesuka hatinya selalu membuat kacau. Bahkan wanita yang terus mendekatinya akan mendapatkan pukulan hebat darinya. Semua wanita yang hendak mendekatinya tidak lagi berusaha mendekatinya, mereka takut jika Zein malah membuat jalan mereka semakin rumit, bagi Zein semua wanita sama saja. Ayahnya menikah lagi, dan ibunya pergi bersama lelaki lain. Dan ketika membuka hati, ia malah di tinggalkan dan di campakkan. Sungguh pedih nasibnya. Nasib yang tidak pernah memihaknya. *** SPANYOL. “Aku kasihan pada Zein,” kata Temmy menghela napas panjang. “Aku tidak pernah melihat sahabatku itu sesedih ini. Aku benar-benar ikut membenci Devina, teganya dia meninggalkan Zein. Apa kurangnya Zein dimatanya?” “Kita harus menghargai keputusan Devina, Sayang, aku juga nggak bisa maksa Devina bertahan jika ia nggak bisa bertahan.” “Kamu dan Devina sama saja, harusnya kamu beritahu ke Devina bahwa Zein mencintainya dan selalu menunggunya.” “Aku udah bilang itu, tapi keputusan Devina emang nggak bisa diganggu gugat.” “Aku nggak pernah semenyesal ini mengenalkan mereka. Jika saja aku tahu mending Devina bersama Ars saja.” “Sayang, kita nggak bisa menyesali apa yang udah terjadi, kita juga nggak tahu kejadiannya seperti ini, ‘kan?” “Kamu juga kenapa ngebet banget mengenalkan mereka sih? Jika saja mereka belum menikah, Zein tidak akan semenderita ini, namun mereka sudah menikah, bahkan Zein tidak pernah  melepas cincin pernikahannya, apakah kamu tahu artinya itu? Artinya … Zein masih mengharapkan Devina kembali. Namun, wanita itu malah mempermainkan perasaan Zein, sungguh. Aku sangat membencinya, terlepas dari dia sahabatmu, saudaramu, keluargamu, dan semuanya,” kata Temmy pada istrinya, Pelinda. Temmy melangkah meninggalkan istrinya, ia juga menyesal telah mengenalkan Zein pada Devina, Temmy tidak pernah berpikir bahwa kejadiannya akan seperti ini, yang ia tahu Zein dan Devina akan bahagai seperti dirinya dan Pelinda yang sampai saat ini masih bersama dan dijauhkan dari sesuatu yang buruk. Mereka tidak di restui, namun bisa bahagia tanpa keluarga mereka, namun Zein dan Devina berubah. Semuanya tidak berjalan sesuai apa yang mereka harapkan. Pelinda juga sedih, Temmy selalu menyalahkannya, selalu menyalahkan dirinya yang sudah salah mengenalkan Devina dan Zein. Pelinda tahu ia salah, namun Temmy selalu saja mengulangnya, bahkan tidak pernah memikirkan perasaannya, seolah-olah perasaannya saja yang penting, sedangkan perasaannya tidak. *** JAKARTA.  Seorang wanita tengah menjemur pakaian anak-anak di belakang rumah, seorang wanita berusia 29 tahun itu melihat matahari yang menyengat menembusi kulit-kulitnya, hari masih pagi, namun matahari seperti di siang hari. Wanita itu menghela napas dan seorang anak perempuan menghampirinya dan memeluk betisnya. Wanita yang bernama Devina Zaskiara itu menundukkan kepala dan melihat seorang gadis kecil tengah memeluk betisnya. “Ma, aku lapar,” kata anak gadis itu yang diberi nama Qiara Zaskia. Devina berlutut agar sejajar dengan Qiara dan membelai rambut putrinya. Ya, Devina sudah memiliki anak, dan anaknya kini sudah 3 tahun, anak dari pernikahannya dengan Zein empat tahun yang lalu. Mereka kini tinggal di Jakarta, di sebuah panti asuhan, ia dan putrinya tinggal di situ dan Devina menjadi pelayan untuk melayani anak-anak seusia Qiara. Ada yang juga yang sudah dewasa dan kini bersekolah di sekolah menengah pertama. Lalu, ada juga yang masih bayi. Semenjak kembali ke Jakarta, Devina masih dalam keadaan hamil, ia masuk ke rumah ibunya, dan yang terjadi ia di usir karena membawa perut yang tidak jelas asal usul ayahnya. Bagi ibu kandungnya, Devina sudah membuat malu sekeluarga, pulang dalam keadaan hamil. “Mama kok diam saja?” tanya Qiara. “Eh iya, Sayang, maafin Mama,” lirih Devina. “Mama selesein jemur pakaian dulu, ya, nanti Mama buatin nasi goreng. Mau nunggu, ‘kan?” “Mau, Ma, kan Mama sering bilang ke Qiara kalau Qiara harus sabar untuk bisa ketemu Papa.” Devina beranjak dari duduknya dan menyeka air matanya, mana bisa Devina bertemu Zein dengan membawa anak, apakah Zein akan percaya? Selama ini … Devina sudah sabar untuk menunggu waktu hingga Qiara besar, namun ketika Qiara sudah menginjak usia ke 3, Devina ragu bertemu suaminya itu. Devina melihat cincin yang disematkan Zein di jari manisnya, lalu menyeka air matanya, sungguh begini nasibnya, andai saja ia tak bertemu Zein empat tahun yang lalu dan menikah diam-diam, ia pasti masih menjadi gadis saat ini, namun Devina tak menyesali apa pun yang telah terjadi, Tuhan memberikannya Qiara untuk menjadi teman hidupnya, meski ia belum bisa memberikan hidup yang layak pada putrinya itu. Qiara melangkah dan menghampiri teman-temannya yang tengah bermain boneka, Devina tersenyum melihatnya. Sungguh gadis yang baik dan penyabar. “Devina, kamu di sini ternyata,” kata Riani—salah satu pekerja di panti asuhan ini. Hanya Riani tempatnya bisa bersandar jika ada masalah. Pemilik panti asuhan ini selalu menyalahkan Devina jika ada kesalahan. Devina tidak diterima di panti asuhan ini, namun ia rela bekerja tanpa dibayar demi bisa tinggal bersama putrinya. “Kamu dari mana?” tanya Devina. “Aku dari pasar, nih aku bawa nasi bungkus untuk kamu dan Qiara, kamu makan gih, nanti Bu Sinta tahu,” bisik Riani. “Tapi, Rin, kamu ada uang?” “Ya ampun, Dev, insha allah ada kok, kamu makan saja, kan dari pagi belum sarapan, Qiara pasti lapar juga.” Devina menganggukkan kepala dan menerima nasi bungkus itu. “Makasih ya, Riani, aku nggak tahu kalau tanpa kamu di sini.” “Udah. Entar Bu Sinta denger, ayo makan.” Riani menggelengkan kepala. “Qiara sayang, ayo sini,” panggil Riani. “Iya, Tante?” “Kamu makan dulu sama ibumu, ya, jangan main dulu, kamu pasti belum makan.” “Makasih, Tante. Tante baik banget,” sambung Qiara. Riani menganggukkan kepala dan membelai rambut putri Devina, sungguh malang nasib Devina dan putrinya yang tidak pernah mendapatkan makanan di panti asuhan ini, bahkan jika makan pun hanya nasi campur garam, Devina tidak memiliki uang, bahkan jika ia mendapatkan uang, ia pasti memberikannya pada Sinta—pemilik panti asuhan ini. Yang jahat sekali padanya, Devina tidak boleh menyimpan uang, namun tidak diberi makan juga jika lapar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN