SYLMT 01

1156 Kata
Gemerlap lampu disko mengiringi dentuman musik DJ yang menarik siapapun yang mendengar untuk menari. Asap rokok mengepul di mana-mana. Suara gelas berbunyi saling bersulam. Bukan pilihan yang tepat jika harus mendatangi tempat seperti ini. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang menjadikan tempat ini sebagai pelarian untuk mencari kesenangan belaka. Begitu pula dengan Aga yang sudah satu jam tak berhenti meneguk cairan kuning di sana. Laki-laki berusia tujuh belas tahun itu tampak kacau. "Tambah lagi!" pinta Aga dengan keadaan setengah sadar. "Ga, cukup. Lo udah mabuk banget." Satria menatap khawatir pada Aga. Lalu ia meminta agar si pelayan klub tak memberi minuman itu lagi. "Apa sih, Sat? Gue masih mau minum. Nggak usah larang gue," ucap Aga sembari memijat pelipisnya. Satria mengusap wajah beberapakali. "Sekarang kita pergi dari sini." Lalu Satria menuntut Aga yang sudah sempoyongan keluar dari dalam klub. Satria langsung membawa masuk Aga ke dalam mobil di parkiran. "Argh!" Aga berteriak di dalam mobil. Tangannya terus memijat pelipis yang terasa semakin berdenyut. Satria menghela napas melihat Aga. Kamudian menjalankan mesin mobil dan segera pergi dari klub. Membelah jalanan malam yang terlihat lengang. "Gue nggak mungkin bawa Aga balik dalam keadaan mabuk, bisa langsung di tendang nanti sama Bokapnya yang super galak itu," ucapnya pelan seraya menoleh sekilas pada Aga yang sudah terpejam. "Bawa ke apartemen aja lah." "Sarah! Kenapa lo tega selingkuhin gue sama si monyet Ragunan itu? Kenapa?! Apa kurangnya gue, Sarah?!" racau Aga dengan mata terpejam. Satria menghela napas. Menggelengkan kepala pelan. "Cinta nggak selamanya indah." ♡ Seorang perempuan menangis tersedu-sedu sembari memeluk boneka Teddy Bear kesayangannya. "Ayo, Sayang." Seorang wanita setengah baya mengusap-usap bahu anaknya dengan lembut. "Dea nggak mau pindah, Bu. Dea mau di sini aja." "Sayang, kita harus pergi. Rumah ini sudah Ibu jual untuk kota bertahan hidup." Mira - Ibu Dea berusaha memberi pengertian pada putrinya. Dea semakin terisak. Rumah itu banyak sekali kenangannya. Terbayang jelas dalam pikiran Dea, saat bercanda ria dengan orangtuanya di dalam sana. Bandung juga yang mempertemukan Dea dengan si dia. Dia yang telah berjanji akan kembali menemuinya saat dewasa nanti. Namun, sudah tujuh tahun berlalu dia tak pernah sekalipun mengunjunginya. Mira menuntun Dea untuk naik ke masuk ke dalam taksi. Meski berat, Dea harus ikhlas untuk pergi meninggalkan tempat sejuta kenangan itu. "Jalan, Pak." Mira berucap dan supir taksi itu pun mulai melajukan mobilnya. Dengan air mata yang semakin deras membasahi pipi. Dea menatap ke luar kaca. Rasanya sangat berat meninggalkan rumah itu. "Ayah, Dea rindu." Dea bergumam. Mira menghela napas panjang, mengusap-usap bahu Dea yang bergetar. Saat mobil melintasi kawasan danau. Seketika Dea memegang liontin kalung berbentuk kunci. Dea seolah melihat bayangan saat dirinya dengan si dia sedang kejar-kejaran di sana. "Dea harap, takdir akan kembali mempertemukan kita." ♡ Dea mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah. Perjalanan dari Bandung menuju Jakarta tak membutuhkan waktu lama. Dan sekarang, Dea dan Mira sudah berada di dalam rumah sederhana milik peninggalan almarhum orangtua Mira. "Ayo, Sayang. Ibu antar kamu ke kamar," ucap Mira dengan lembut. Dea mengangguk. Mengikuti langkah Mira sembari menyeret kopernya. Mira membuka pintu kamar. "Nah, di sini nanti Dea tidur ya. Kamarnya memang tak seluas rumah dulu, tapi insyaallah akan nyaman kalau Dea bisa merawatnya." Dea tersenyum tipis. "Iya, Bu." Mira mengusap puncak kepala Dea. "Kalau begitu Ibu tinggal ya. Dea langsung istirahat aja, besok baru beberes." Dea mengangguk. Lantas Mira keluar dari kamar Mira. Dea melangkah dan duduk di atas ranjang. Menyimpan bonekanya di atas nakas. "Dea harus kuat demi Ayah dan Ibu. Sekarang hanya tinggal Dea hanya punya Ibu dan Dea nggak boleh buat Ibu sedih," ucapnya pelan. Kemudian Dea membaringkan tubuh di atas ranjang. "Ayah, semoga Ayah bahagia di sana. Dea janji nggak akan buat Ibu sedih. Dea nggak akan ngeluh." Perlahan rasa kantuk pun mulai menyergap dan akhirnya Dea terpejam dalam tidur. ♡ Cahaya mentari begitu terang menyinari bumi. Kicauan burung terdengar merdu menyambut pagi. Di atas sebuah gedung apartemen, berdiri seorang laki-laki yang menatap datar pemandangan di depannya. Menyesap dalam rokok lalu mengepulkannya ke udara. Derap langkah kaki terdengar menghampiri, namun Aga masih diam tak berniat menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang datang menemuinya. "Ini masih terlalu pagi untuk merokok, Ga." "Mau apa lo ke sini?" Aga bertanya tanpa melihat lawan bicaranya. "Aku mau jelasin kejadian kemarin." Aga berdecih. Melempar sembarang rokok yang semula ia hisap. Lalu memutar tubuh menjadi berhadapan dengan Sarah. "Gue nggak butuh penjelasan apa-apa dari lo. Yang gue butuh sekarang adalah waktu untuk sendiri. Sekarang lo pergi dari hadapan gue." Aga berucap datar. Sarah mencoba untuk meraih tangan Aga, namun laki-laki itu segera menepisnya. "Aga aku mohon, kamu hanya salah paham. Aku sama Doni nggak ada hubungan apa-apa. Kamu harus percaya itu." Aga tak merespon ucapan Sarah. Tatapannya menjadi dingin. "Aga, please jangan marah ya. Kamu percaya kan sama aku? Iya kan, Sayang?" Sarah menatap penuh harap pada Aga. "Gue bilang pergi dari hadapan gue," tegas Aga. "Oke, aku akan pergi. Tapi hubungan kita baik-baik aja kan?" Aga berdecih. Memasukan kedua tangannya ke dalam kantong celana. "Gue nggak sudi bertahan sama seorang pengkhianat kayak lo." "Aga, kamu harus percaya dong. Aku sama Doni hanya teman," ucap Sarah dengan nada lelah. "Iya, teman." Aga menatap tajam pada Sarah. "Teman berciuman," lanjutnya dengan tegas. "Kamu hanya salah---," ucapan Sarah terhenti. "Kalau lo nggak mau pergi, gue yang akan pergi," seloroh Aga dan langsung melangkah pergi meninggalkan Sarah tanpa peduli. "Aga! Kok, kamu ninggalin aku sih?!" Sarah menghentakkan kakinya. "Argh! Kenapa harus gini, sih? Ini gara-gara Doni." ♡ "Huuuhh.... Akhirnya selesai juga." Dea mengelap peluh keringat yang ada di dahi. Pagi-pagi sekali Dea dan Mira berkerjasama untuk membereskan rumah baru yang mereka tempati. "Minum dulu, De." Mira datang dengan membawa air putih untuk Dea. Dea tersenyum lalu mengambil alih gelas yang disodorkan oleh Mira. "Makasih, Bu." Kemudian ia meneguknya. Mira duduk di samping Dea. Mira bangga memiliki anak seperti Dea, meski saat di Bandung dulu Dea tak pernah bekerja seperti tadi tapi gadis itu sama sekali tak mengeluh. Di Bandung, mereka biasa hidup mewah bergelimang harta tapi tidak dengan sekarang. Mereka harus membiasakan hidup sederhana. "Ibu sudah daftarkan Dea ke sekolah baru. Semoga Dea betah dan dapat teman yang baik ya, sama Dea." Mira berucap. "Bu, kalau nggak ada uang buat Dea sekolah nggak apa-apa kok nggak dilanjut juga. Biar Dea bisa bantuin Ibu juga di rumah," ucap Dea. "Shuutt.... Uang dari hasil jual rumah kemarin kan ada. Di tambah lagi sama uang sisa dari perusahaan. Itu sudah cukup untuk biaya Dea sekolah dan biaya hidup kita sehari-hari. Dea doain aja, semoga Ibu bisa cepat dapat pekerjaan." "Aamiin.... Dea pasti doain," ucap Dea sembari tersenyum pada Mira. Keluarganya jatuh bangkrut setelah Wildan - Ayah Dea meninggal dunia. Perusahaan terlilit hutang banyak dan membuat mereka terpaksa harus merelakan gelimangan harta yang selama ini mereka nikmati. Beruntung masih ada rumah peninggalan orangtua Mira. Author's Note: Jangan lupa tap love ^^ Sapa aku di i********: @ansapeach
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN