BAB 4

1053 Kata
“Apa kamu mendengar semuanya?” Ibu menelisik. Aku mengangguk sambil menyeka sisa-sisa air mata. “Lalu, menurutmu bagaimana? Sebetulnya Ibu tak setuju. Takut jika mereka hanya memanfaatkanmu. Namun, Ibu pun tak akan bisa menghalangi jika kamu pun ingin mengambil perjodohan itu. Ibu sadar, Ibu tak bisa memberikan kehidupan yang layak untuk kalian.” Suaranya terdengar pasrah. Aku melepas pelukan dari Ibu, lantas mendongak menatap wajah yang sudah mulai muncul kerutan itu. “Apakah mereka akan menjual rumah ini kalau aku menolak?” Aku menatap Ibu. Ibu bergeming, lantas menghela napas panjang. Sebuah anggukan pada akhirnya memberikan sebuah jawaban. “Lalu … kalau rumah ini dijual? Kita akan tinggal di mana, Bu?” Aku menatapnya cemas. Ibu menunduk dan memijit pelipis. Tampak gurat kesedihan membayang di wajahnya. “Assalamu’alaikum!” Suara Cita terdengar sedikit berteriak dari luar. Dia pasti baru pulang mengaji. “Wa’alaikumsalam!” Aku dan Ibu menjawab serentak. “Nanti saja kita bicarakan lagi, Na.” Ibu bangkit dan mengusap wajahnya. Dia langsung ke depan menemui Cita yang baru pulang. Aku pun bergegas menyimpan tas dan mengikuti langkah Ibu menemui adikku itu. Wajahnya yang sumringah muncul, lalu Nacita mencium punggung tangan Ibu, lalu beralih padaku. “Cita, ayo cepat ganti baju! Lihat nih, Kakak bawa apa?” Aku mengeluarkan plastik berisi bakso ayam yang sengaja kubawa pulang. “Waaah … apa itu, Kak?” Pupil hitam Cita melebar. Dia bergerak mendekat dan mengambil plastik itu dari tanganku. “Yeayyy! Bakso!” Girang sekali dia berteriak sambil melompat-lompat. Ibu menegurnya dan menyuruhnya segera ganti pakaian. Cita masuk ke kamar yang biasa ditempati denganku lantas keluar lagi sudah mengenakan kaos lengan pendek dan celana training. Ibu sudah membawa bakul nasi dan juga mangkuk. Lantas membagi nasi pada piring-piring kami. Ibu tak pernah masak banyak, takut gak habis dan nanti nasinya basi. Jadinya setiap masak itu hanya sedikit dan sekali habis. Aku menuang bakso ayam ke dalam mangkuk, lantas menoleh Ibu yang mengeluarkan lauk yang dia bawa sepulang kerja pastinya. “Wah, ayam?!” Lagi-lagi cita memekik senang. Ada dua potong ayam semur yang Ibu bawa dan juga satu bungkus bihun goreng. “Kebetulan Bu Inah ada selametan. Alhamdulilah dapet bagian!” Ibu menyimpan potongan paha pada piring cita, lalu menyimpan potongan sayap ke piringku. Sedangkan di piringnya hanya dia taburkan dengan bihun goreng. “Baksonya gak diangetin dulu, Na?” Ibu menatapku yang sudah hendak menyendok bakso ke piring. “Ah iya, enak kalau anget, ya, Bu? Ya sudah, deh! Aku angetin bentar!” Aku baru kepikiran. “Eh, tapi gasnya habis.” Aku yang baru hendak bangkit untuk menghangatkan bakso ayam itu, mengurungkan niat mendengar kalimat itu. “Gak apa, Kak. Enak dingin gini, bisa langsung makan.” Celoteh Nacita membuatku tersenyum. Dia bersemangat sekali menyendok bakso itu ke piringnya. “Ibu cobain, ya!” Aku mengambil sendok yang baru saja Nacita letakkan dan menyendok tiga biji bakso ayam ke piring Ibu. Syukurlah Ibu tak menolak. Lalu aku pun mematahkan sayap dan membagi dua dengan Ibu. Beruntung Ibu tak menolak dan kami makan dalam diam. Hanya Cita yang sesekali bercerita. Pikiranku dan Ibu pasti sama, tengah berpikir bagaimana caranya agar rumah ini tak terjual, tapi aku tak harus mengikuti ide gila perjodohan dari lelaki yang gak tahu diri itu. *** Tiga hari itu bukan waktu yang banyak. Seluruh pikiranku tersita, memikirkan bagaimana caranya. Namun, selalu berujung buntu. Aku tak paham masalah harta gono gini itu harus seperti apa? Ibu sebetulnya punya saudara, tetapi karena kami miskin. Bahkan tak pernah satu orang pun dari saudara Ibu yang berkunjung. Meskipun demikian, pikiranku yang memang tengah buntu, tetapi membawa langkah kakikku ke sana. Aku memutuskan untuk mengunjungi rumah Paman Ando. Beda kampung saja, tetapi nasibnya beruntung karena mendapatkan istri dari kalangan menengah ke atas. Mereka memiliki toko sembako yang cukup besar di sekitar pasar dan selalu ramai. Sepulang dari butik Bu Ajeng, aku langsung menaiki angkot menuju ke perumahan di mana dia tinggal. Pernah ke sana sekali ketika Ibu diminta untuk bantu-bantu acara akikahan. Namun, sikap dan perlakuan istrinya yang memandang kami rendah, pada akhirnya membuat jarak itu kian lebar. Kala itu, meskipun seharian Ibu sudah lelah membantu ini dan itu, tega sekali pas pulang hanya dikasih brutu ayam dan leher serta cekernya. Daging yang tersisa dia masukkan kulkas semua, untuk kakaknya katanya yang belum sempat datang. Sakit sebetulnya aku melihat Ibu diperlakukan begitu, tapi mau gimana? Dapat tulang belulang ayam saja sudah syukur almahdulilah. Beruntung, Paman Ando masih suka mau membantu meski diam-diam. Hampir tengah malam ketika dulu dia datang dan mengetuk pintu rumah dan membawa satu plastik daging ayam. Hanya saja, posisi Paman Ando lemah, yang berkuasa dan kaya itu istrinya. Aku turun dari angkot dan jalan kaki ketika memasuki gerbang perumahan. Cukup jauh, hingga ketika adzan maghrib, aku masih di jalan. Mampir dulu ke mushola kecil sambil istirahat. Tadi sudah ngabarin Ibu ke HP-nya Bu Inah kalau aku lembur dan pulang terlambat. Aku tak bilang kalau mau ke rumah Paman. Tak mau Ibu kepikiran saja. Usai shalat, aku melanjutkan menyusuri jalanan perumahan yang tak ramai. Rumahnya yang paling ujung dan ada hooknya. Dua lantai juga dan tampak terawat. Mobil Avanza silver miliknya pun tampak masih parkir di tepi jalan. Aku mematung di depan rumah yang pintunya setengah terbuka itu. Setelah mengumpulkan keberanian aku memijit bell pada pintu pagar yang tak dikuncinya. Tak berani masuk sebelum dipersilakan. Dalam hati berdoa, semoga Paman yang ada di rumah dan bukan istrinya. Tadi aku berulang kali menelpon, tetapi tidak diangkatnya. Dua kali memijit bell, tampak Bibi Icah---istrinya paman melongokkan kepala. Aku tersenyum dan mengucap salam. Namun alih-alih menjawab, pintu yang tengah sedikit terbuka itu malah ditutupnya rapat. Lantas lampu depan dimatikan. Nyesss! Sakitnya kok sampai tulang belulang, ya? Aku menelan saliva dan menyeka air mata. Memang tak ada kata makian yang kuterima, tetapi sikapnya yang seperti itu pun sudah mampu menghujamkan luka. “Ayo, Nagita! Kamu harus kuat! Kamu pasti bisa!” Aku mengepal dengan kuat, menahan agar air mata ini tak jatuh. Lalu beranjak meninggalkan halaman rumah Paman dengan kaki lelah dan kembali pulang. “Semoga akan ada pelangi setelah hujan ….” Aku menggumam dalam diam. “Kalau seperti ini, pada siapa aku bisa minta tolong sekarang?” Aku berjalan sambil melamun hingga terdengar bunyi klakson berulang terdengar. “Siapa, sih? Kan jalan masih lebar?” Aku menjadi kesal dan menoleh ke arah belakang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN