(2)
“Ck, sampai kapan Mami mau pura-pura ngasih baju bekas itu ke dia? Kenapa gak jujur saja? Semua baju itu ‘kan baru. Kenapa juga harus dilepas merknya dan disebutkan bekas?!” Suara bariton seorang lelaki yang rasanya aku tahu pemiliknya. Benar saja, dari balik baju-baju yang menggantung, aku melihat Pak Adrian---anak sulung Bu Ajeng yang kutahu jika dia sudah lama menduda, tengah berdiri dan menatap lekat wajah Ibunya.
“Kamu itu, bisanya cuma komplen doang … gini-gini, Mami tuh ….”
Bruk!
Si*lnya, tanpa sadar aku malah bertumpu pada menekin dan benda yang kupegangi itu terjatuh.
“Siapa di sana?” Suara Pak Adrian membuatku yang hendak membangunkan patung menekin mengurungkan niat. Lekas melarikan diri saja dari pada nanti ketahuan nguping. Gak enak juga.
Aku sudah berada di depan butik tersebut, kebetulan ada pedagang bakso ayam lewat. Duh, sebetulnya gak punya uang, tapi demi alibi yang kuat. Kukeluarkan uang dua ribuan dari saku kemejaku.
“Pak, baksonya!”
Pedagang tersebut berhenti. Lantas aku membeli, meski tak ingin. Lagi-lagi, demi sebuah alibi.
Sudut mataku melirik sesekali ke arah pintu kaca yang tadi kutinggal lari. Tampak sekilas lelaki bertubuh tinggi tegap itu tengah mengawasiku. Duh, untung aku bisa melarikan diri. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi.
“Dua ribu dapet berapa, Pak?” tanyaku. Karena sudah lama tak jajan, bahkan aku sudah tak tahu lagi harga bakso tusuk itu sekarang.
“Seribu satu kalau yang kecil-kecil, Neng!” tukasnya.
“Ini, Pak!” Aku mengulurkan uang dua ribuan. Lalu dia mengambilkan dua buah bakso ayam itu dan memasukkannya ke dalam plastik.
“Pake saos gak, Neng?” tanyanya.
“Kecap saja, Pak.” Aku menelan saliva menghidup wangi bakso ayam yang menguar itu.
Dengan cekatan, penjual bakso ayam itu membubuhkan kecap pada kuah bening yang sudah dia masukkan ke dalam plastik.
“Makasih, Pak.” Aku menerimanya dengan sumringah.
“Sama-sama, Neng!” Si Bapak penjual bakso yang rambutnya sudah beruban itu lantas pergi.
Ah, tiba-tiba ada yang berdenyut nyeri. Andai aku memiliki ayah yang bertanggung jawab dan penuh kasih. Kutatap punggung lelaki tua penjual bakso ayam itu menjauh dengan mata yang mengembun.
“Ayolah, Gita … jangan cengeng. Buat apa mikirin ayah yang udah gak inget sama kamu. Ayo semangat kerja buat Ibu sama adik yang selalu ada buat kamu.” Aku mengepal kuat-kuat, lalu melangkah cepat ke dalam butik sambil menyeka air mata dengan punggung tangan.
Kesedihan yang tiba-tiba hinggap, harus segera kutepis. Bagiku, ayahku sudah mati. Namun tetap saja aku baper. Nangis juga.
Aku berjalan sambil memegang plastik bening berisi dua buah bakso ayam yang sudah dibubuhi kecap sambil menangis, melewati Pak Adrian yang masih mematung di dekat pintu masuk.
Alibiku berhasil. Dia tak menanyaiku. Mungkin iba lihat wajahku yang sedih. Di lorong yang berisi pakaian, aku berpapasan dengan Bu Ajeng yang sepertinya mau nyusul Pak Adrian.
“Ada siapa, Adri?”
“Uuupps! Maaf, Bu.”
Aku yang masih melihat-lihat ke belakang, hampir saja menubruknya. Bu Ajeng tersenyum dan mengibas tangan.
“Gak apa-apa.” Dia berjalan tergesa lagi dan menuju ke arah Pak Adrian. Seterusnya entah apa yang mereka bicarakan. Aku langsung menuju loker yang disediakan untukku menyimpan tas dan mukena. Setelah ini, mau mulai memajang gamis-gamis edisi terbaru yang baru turun kemarin dan mengubah posisi hijab syar’i dan mulai posting-posting lagi di akun sosial media butik milik Bu Ajeng.
Aku baru saja menurunkan beberapa gamis yang kemarin sudah Bu Ajeng jelaskan untuk dipajang seperti apa dan sebelah mana ketika suara Bu Ajeng terdengar.
“Nih, Ibu beli bakso ayam. Yang ini khusus buat Gita.” Dia meletakkan satu mangkuk bakso berisi banyak sekali bulatan. Sedangkan bakso ayam milikku bahkan tak jadi kusentuh dan sudah kusimpan di loker untuk Nacita nanti pas pulang.
“Wah, buat saya, Bu?” Aku melongo menatap semangkuk bakso ayam. Kalau dilihat dari bentuk dan teksturnya, tampaknya memang bakso ayam dari penjual yang tadi.
“Iya, kebetulan tadi penjualnya lewat. Kasihan belum ada yang beli. Mungkin kamu suka.” Bu Ajeng menjelaskan panjang lebar.
Aku hanya mengangguk saja. Meski heran, kenapa tiba-tiba dibelikan bakso ayam. Apa Pak Adrian lihat aku nangis dan dikira nangisin bakso, ya? Entahlah.
“Makasih, Bu.” Aku meraih mangkuk itu dan menyimpannya ke atas meja. Namun tak segera kumakan dan kubiarkan dingin. Diam-diam, ketika Bu Ajeng pergi, aku masukkan bulatan-bulatan bakso itu ke dalam plastik yang tadi.
“Wah, lumayan banyak ini! Cita pasti seneng.” Aku tersenyum dan segera menyimpannya kembali. Kumakan tiga biji, lantas mangkuknya kucuci.
***
Sore menjelang. Aku berjalan pulang dengan riang. Bakso ayam yang kubawa tadi, memberikan energi baru untukku. Rasanya tak sabar menikmati bakso ayam ini bersama Cita dan Ibu di rumah.
Turun dari angkot, lantas aku berjalan cepat menuju rumah. Menyapa beberapa tetangga yang kebetulan berpapasan. Senyum pada bibirku tak henti mengembang ketika jarak menyisakkan beberapa meter lagi.
Namun, kedua alisku bertaut ketika melihat sebuah mobil avanza terparkir di depan rumah. Rasanya asing. Gegas aku mempercepat jalan dan memutuskan untuk tak mengucap dulu salam ketika melihat ada sepasang sandal lelaki dan perempuan.
“Kamu jangan egois, Ning! Bagaimanapun, Nagita itu anakku dan yang berhak jadi wali itu aku. Lagian anggap saja ini sebagai bentuk tanggungjawabku dan meringankan beban kamu. Kalau Nagita ikut sama kami, kamu gak akan pusing lagi cari uang untuk memberinya makan.” Suara lelaki yang rasanya familiar itu kudengar setengah berteriak. Sepertinya Ibu dan lelaki yang sepertinya suara ayah itu tengah bersitegang.
“Anak, kamu bilang dia anakmu, Mas? Kenapa baru sekarang kamu mencarinya? Waktu kami terseok-seok gak ada duit buat biaya sekolah, kamu ke mana? Waktu Nagita nunggak iuran sampe berbulan-bulan, kamu ke mana? Sekarang, giliran Gita sudah kerja, seenaknya kamu datang dan mau bawa dia! Seenaknya mau kamu jodohkan dengan lelaki yang bahkan aku gak kenal dia siapa?! Enggak, Mas! Gita gak akan selangkahpun pergi dari sini! Bagi kami, semenjak kamu memilih pergi bersama perempuan ini! Kamu sudah kami anggap mati!” Kudengar suara Ibu bergetar. Pedih, perih dan tampak penuh kemarahan.