"Dek, nanti temani aku ke mal, ya," pinta Karinna melalui sambungan telepon.
"Memangnya mau ngapain lagi ke mal, Mbak?" tanya Karinka dengan kening yang mengerut, meskipun gadis itu jelas tahu kalau Karinna tidak akan bisa melihat ekspresi wajahnya dari seberang sana.
"Pengen belanja," jawab Karinna terkekeh pelan.
"Belanja bulanan?" tebak Karinka.
"Bukan, belanja barang-barang. Baju, sepatu, tas, dan sejenisnya."
"Bukannya minggu lalu Mbak Iin baru belanja?" tanya Karinka heran. Gadis itu tidak mungkin lupa pada acara belanja gila-gilaan Karinna seminggu yang lalu karena ia sendiri yang menemani wanita muda itu.
"Iya, tapi sekarang pengen belanja lagi," jawab Karinna enteng.
"Ditinggal kerja lagi sama suami Mbak?" tebak Karinka sembari menutupi suara bergetarnya ketika mengucapkan kata 'suami'. Kini gadis itu mulai menyesali mulut lancangnya yang suka sembarangan berucap serta keingintahuan yang sialnya sebesar perasaannya pada ... suami Karinna.
"Iya, tuh orang nyebelin banget. Gila kerja mulu sampai istrinya dianggurin begini," omel Karinna. Tanpa perlu menebak, ekspresi wajah wanita muda itu pasti sedang misuh-misuh saat ini.
"Mas Ravel kerja 'kan buat Mbak juga," balas Karinka. Seketika perasaan khawatir menyusup di hati Karinka. A--apa aku terdengar lebih membela Mas Ravel? batin gadis itu bertanya pada dirinya sendiri.
"Ih, kok kamu malah lebih bela Mas Ravel, sih?" tanya Karinna. Nah, benar 'kan tebakan Karinka.
"Aku nggak bela siapa-siapa, Mbak." Pembohong! teriak sisi lain di dalam diri Karinka.
Karinna mendengus kemudian membalas, "Ya, udah, pokoknya nanti kamu temani aku belanja, deh. Aku mau puas-puasin habisin uang Mas Ravel. Sampai limit-nya sekalian kalau bisa."
Karinka hanya bisa tersenyum kecut. Gadis itu jelas sadar kalau sifat hedonis Karinna sudah muncul ke permukaan. Entah karena Ravel sering meninggalkannya untuk dinas ke luar kota maupun luar negeri, atau karena wanita muda itu menyadari betapa banyaknya pundi-pundi uang yang dimiliki oleh sang suami.
"Iya, nanti aku temani," putus Karinka menyetujui. "Jam berapa nge-mal, Mbak? Ketemuan di sana atau gimana?" lanjut gadis itu bertanya.
"Jam sebelas aja gimana? Biar nanti kita sekalian makan siang di mal."
"Hmn ... jam sebelas aku nggak bisa, Mbak."
"Kenapa? Ada kelas? Atau ada ujian?"
"Ada UAS."
"Siapnya jam berapa?"
"Kira-kira jam dua belas gitu."
"Oh, ya, udah. Nanti aku sama supir yang jemput kamu di kampus aja kalau gitu."
Percakapan di ponsel itu pun berakhir setelah Karinka mengiyakan ucapan Karinna. Sejujurnya Karinka ingin pulang ke indekos setelah UAS nanti, tetapi gadis itu tidak mampu menolak ajakan Karinna. Bukan karena ingin ditraktir oleh wanita muda itu, melainkan karena dirinya yang kelelahan karena belajar sepanjang malam, mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian.
*
Karinka tersenyum tipis sembari berjalan keluar dari ruang ujian ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Mau tak mau, gadis itu pun membalikkan tubuhnya sedikit ke belakang untuk menatap si pelaku.
"Kenapa, Rel?" tanya Karinka dengan sebelah alis yang terangkat.
"Gimana ujiannya? Lancar?" balas Farrel—teman sekelas Karinka bertanya.
"Lumayan, tapi ... nggak tau, deh, benar atau salah," jawab Karinka dengan kekehan setelahnya.
"Aku nggak ditanyain gitu?" Farrel bertanya lagi pada Karinka.
"Tanya apaan?" balas gadis itu dengan ekspresi heran yang terlukis jelas di wajahnya.
"Tanya ujianku bisa atau nggak."
"Memangnya harus, ya?"
"Haruslah."
"Untuk apa?"
"Untuk kasih perhatian ke aku, Rin."
Karinka tergelak keras setelah mendengar ucapan Farrel. Kalimat yang baru saja meluncur dari mulut Farrel terdengar lucu di dengar telinga Karinka.
"Memangnya kamu sehaus perhatian itu?" tanya Karinka dengan nada meledek. "Makanya cari pacar sana!" lanjut gadis itu menambahkan.
"Udah," jawab Farrel singkat?
"Udah apa? Udah jadian?"
"Boro-boro jadian, doi aja nggak peka, padahal udah dikodein." Farrel tampak misuh-misuh ketika menceritakan gebetannya itu.
"Makanya jangan pakai kode segala. Langsung gaspol dong."
"Nggak bisa."
"Kenapa?"
"Nggak bisa aja pokoknya."
"Ah, terserah kamu, deh, Rel. Asal jangan sampai disalip orang aja," celetuk Karinka sambil mengendikkan kedua pundaknya.
"Ya, ya, ya ... bawel banget, sih, jadi cewek!" balas Farrel meledek Karinka lalu menarik pelan ujung rambut gadis itu yang tergerai.
"Farrel ... rambutku!" desis Karinka lalu menepis tangan Farrel agar terlepas dari rambutnya.
Begitu sampai di lobi kampus, indra penglihatan Karinka langsung menangkap sebuah mobil minivan yang sudah terparkir di dekat pintu masuk. Tanpa perlu melihat dua kali, gadis itu sudah tahu siapa yang berada di dalam sana.
"Jemputanmu?" tanya Farrel sembari menunjuk ke arah mobil minivan dengan gerakan dagunya.
"Iya, kakakku jemput," jawab Karinka membenarkan.
"Ya, udah ... hati-hati kalau gitu," balas Farrel lalu mengacak rambut di bagian puncak kepala Karinka hingga membuat gadis itu mencebikkan bibirnya.
Tanpa berkata apa-apa, hanya dengan lambaian tangan singkat, akhirnya Karinka pun meninggalkan Farrel dan berjalan menuju mobil minivan di mana Karinna sudah menunggunya di dalam.
"Dek, tadi itu siapa?" tanya Karinna begitu Karinka masuk ke dalam mobil. Wanita muda itu sempat menunjuk ke arah Farrel dengan gerakan dagunya, meskipun kini hanya pemandangan punggung lelaki itu yang tertangkap karena sudah berjalan balik arah.
"Teman."
"Ah, seriusan?"
"Iya. Kenapa juga aku harus bohong?"
"Masa teman doang sampai main acak-acak rambut kayak tadi." Karinna meledek Karinka dengan salah satu sudut bibir yang tertarik hingga membentuk seulas senyum asimetris.
"Emang teman doang, Mbak," bantah Karinka. "Orangnya emang gitu. Suka iseng."
"Dia suka sama kamu." Itu pernyataan, bukan pertanyaan. Namun, Karinka tampak tidak setuju dengan ucapan Karinna hingga kepalanya menggeleng cepat.
"Nggak, ah. Dia aja suka sama orang lain. Katanya doi-nya udah dikode, tapi malah nggak peka-peka," ungkap Karinka.
"Ya, doi-nya tuh kamu, Dek. Kamu 'kan selalu cuek sama sekitarmu," balas Karinna gemas dengan kepolosan gadis di sebelahnya itu.
"Huh, sembarangan," cibir Karinka.
Karinna mengabaikan cibiran gadis itu lalu bertanya, "Terus kamu suka nggak sama dia? Orangnya 'kan lumayan ganteng, Dek."
Gimana mau suka kalau aku udah duluan suka sama suamimu, Mbak?! teriak Karinka di dalam hati tanpa berani menyuarakannya.
"Nggak, ah," Karinka menepis. "Fokus kuliah sama karir dulu," lanjut gadis itu menambahkan.
*
Seorang gadis tampak duduk dengan tubuh lunglai dan punggung yang bersandar pada sandaran sofa di ruang tamu. Seluruh otot dan persendiannya terasa keram sehabis mengelilingi dua mal, menemani sang kakak angkat menghabiskan uang suaminya.
"Rin, kamu nginap di sini aja, ya," ujar Karinna tiba-tiba. Wanita muda itu yang baru saja keluar dari ruang makan dan langsung berkata seperti itu sukses membuat posisi duduk Karinka berubah menjadi tegak karena kaget.
"Kenapa, Mbak? Kok tiba-tiba?" tanya Karinka heran.
"Mas Ravel nggak pulang. Katanya dia mendadak harus ke Kuala Lumpur," jawab Karinna menjelaskan lalu mendudukkan diri di salah satu sofa yang masih kosong.
"Ta--tapi aku nggak bawa baju, Mbak."
"Udah, masalah gampang itu. Kamu 'kan bisa pakai bajuku."
"Ta--tapi ...." Karinka belum sempat menyelesaikan ucapannya, tetapi Karinna sudah lebih dulu menyela. "Kenapa lagi? Besok kamu 'kan udah selesai UAS, 'kan?"
Karinka mengangguk pelan sebagai jawaban. "Tapi aku udah sering nginap di sini, Mbak. Nggak enak nanti sama Mas Ravel," ujar Karinka memberi alasan, padahal alasan utama gadis itu ingin mengurangi intensitas menginap di rumah kakak iparnya adalah karena tidak ingin sering-sering melihat foto pernikahan berukuran besar milik Ravel dan Karinna yang terpajang di ruang tamu.
"Nggak kok. Mas Ravel nggak masalah tuh. Malah dia bilang bagus, supaya aku ada temannya," balas Karinna.
"Ta--tapi ...."
"Nggak ada tapi-tapian, Dek. Pokoknya kamu nginap di sini, ya, malam ini. Temani aku," titah Karinna dengan nada yang tidak ingin dibantah. "Ayolah, masa kamu nggak kasihan sama istri malang dan kesepian yang lagi ditinggal sama suaminya ini?" lanjut wanita muda itu bertanya sembari memasang ekspresi wajah memelas yang akhirnya menggoyahkan Karinka dan membuat gadis itu mengangguk pasrah setelahnya.
"Yes!" Kepalan tangan Karinna meninju udara. Wanita muda itu senang sekali akhirnya Karinka mau menemaninya di rumah. Setidaknya kehadiran Karinka bisa menyembuhkan sedikit rasa kesepiannya karena ditinggal kerja oleh sang suami ke negara tetangga.
"Ya, udah, kamu mandi gih sana. Nanti pakaiannya Mbak antar ke kamar tamu," titah Karinna yang langsung dituruti oleh Karinka.
*
Karinka tidur lebih cepat daripada biasanya. Sehabis makan malam tadi, gadis itu langsung masuk ke alam mimpinya di kamar tamu. Selain karena tidak bisa menahan kantuknya lagi, sekujur tubuh Karinka juga terasa pegal sekali hingga ia pun memutuskan untuk segera istirahat.
Karinka tiba-tiba terbangun karena merasakan kering di tenggorokannya. Dalam keremangan kamar tamu yang ditempatinya, gadis itu menatap ke arah jam dengan mata yang menyipit dan menemukan jarum pendek yang menujuk ke arah angka dua.
Perlahan Karinka beringsut turun dari tempat tidur lalu berjalan keluar kamar dengan langkah mengendap-endap, takut membangunkan Karinna yang sudah terlelap di kamar utama. Kening gadis itu mengerut, sementara salah satu tangannya mengucek mata ketika menemukan suasana ruang makan yang terang benderang, padahal lampu di ruangan tersebut selalu dimatikan ketika malam hari.
Takut-takut Karinka mengintip di balik pilar dekat pintu ruang makan. Hati gadis itu sontak mencelos ketika melihat pemandangan di ruangan tersebut.
"Kok kamu nggak bilang Karinka nginap di sini?" tanya suara berat yang selalu membuat jantung Karinka berdegub kencang. Namun, sayangny kalimat itu bukan ditujukan padanya, melainkan Karinna—sang lawan bicara.
Karinna yang sedang duduk di pinggir meja makan dengan tubuh Ravel di antara kedua pahanya tampak mencebikkan bibir. "Aku mana tau. Lagian siapa coba yang bilang nggak pulang hari ini? Ya, aku ajak aja Karinka nginap di sini biar ada teman," ujar Karinna dengan nada menyindir.
"Di rumah 'kan ada para bibi yang bisa jadi teman ngobrolmu," balas Ravel ketika lengan Karinna mulai melingkar di leher pria itu.
"Ih, beda, Mas. Lagian mereka 'kan harus kerja juga. Kalau aku ajak ngobrol terus, kapan kerjaan mereka selesai?" tanya Karinna dengan sebelah alis yang terangkat.
"Kalau gitu, memangnya Karinka nggak kuliah?" Ravel balas bertanya.
"Ck! Udah, ah! Kamu ini suka banget mikir yang ng—" Belum sempat Karinna menyelesaikan ucapannya, Ravel sudah lebih dulu membungkam bibir wanita muda itu dengan bibirnya.
Rasanya seperti ada sesuatu yang hancur berkeping-keping di dalam d**a Karinka. Hati yang awalnya sudah mulai retak ketika menghadiri pernikahan Karinna beberapa bulan yang lalu kini semakin menjadi-jadi. Kepingan hatinya sudah tidak berbentuk lagi.
Karinka hanya bisa bergeming di tempat dengan kedua tangan yang bergetar di sisi tubuhnya. Kedua tungkai gadis itu terasa seperti dipaku di atas lantai hingga tidak bisa bergerak ke mana-mana. Namun, Karinka juga tidak sanggup jika harus melihat pemandangan panas di ruang makan itu lebih lama sehingga ia pun memutuskan untuk memejamkan kedua netranya.
Setelah mampu menetralkan deguban jantungnya yang bertalu kencang dan menyakitkan di dalam rongga dadanya, Karinka perlahan berjalan kembali ke kamar tamu lalu membaringkan diri di atas tempat tidur dan masuk ke dalam selimut yang menenggelamkan seluruh dirinya di dalam sana. Berharap pemandangan tadi akan segera menghilang dari benak dan ingatannya.