3 : Ibu

944 Kata
Kasih sayang seorang ibu tak pernah bisa diukur meskipun Kenan telah membuat wanita tersebut kecewa. Shinta, menatapnya dengan tatapan lembut. Minggu pagi ia menyempatkan diri kembali ke rumah orang tua. Wanita yang sangat disayanginya tak henti-henti menatap seakan mereka tidak berjumpa cukup lama, padahal satu bulan lalu Ibu Kenan, menghampiri ke apartemen. “Kamu sudah ketemu Nada?” Pertanyaan ibunya mengawali pertemuan mereka setelah kebisuan penuh dengan kerinduan menerpa ruang keluarga di rumah mewah ini. Kenan menghela napas, kemudian menggeleng. Wajah Shinta terlihat sedih. “Kata mertua kamu, minggu lalu Nada datang ke rumah mereka.” Ada kelegaan saat mendengarkan ucapan ibunya. Pikiran buruk Kenan tentang Nada telah meninggalkan dunia ini langsung ditepis tanpa menyisahkan bayangan-bayangan aneh. “Terus sekarang dia di mana?" Kenan tak bisa menahan mulut untuk tidak bertanya. Shinta tersenyum. “Kamu masih peduli juga ternyata,” ujar wanita itu penuh kebahagiaan. Kenan mendengkus lalu membuang pandangan, “Kalau dia sudah pulang, kan, urusan aku sama dia cepat selesai.” “Buka mata kamu, Viona nggak sebaik yang kamu pikir.” Kenan melengos malas. Beginilah jika ia bertemu orang tuanya, pasti akan berujung dengan pandangan mereka tentang Viona. Tentu saja mereka akan membandingkan kekasihnya dengan menantu yang kini entah berada di mana. “Aku capek, Bu. Mau istirahat.” Bohong. Kenan berdiri dan langsung menuju kamar, tak menghiraukan tatapan Shinta yang protes dengan kelakuannya. Ia sudah biasa mengabaikan ibunya saat wanita dihormati itu mulai menjatuhkan Viona. Menuntup pintu rapat-rapat, Kenan melangkahkan kaki ke meja belajar. Tak ada yang berubah di atas meja tersebut, buku pelajaran tersusun rapi, pulpen dan pensil berada di dalam tempat berukuran kubus. Kenan berjalan ke lemari, mengeluarkan kemeja putih yang telah berwarna-warni. Kemeja itu tak pernah dicuci saat terakhir kali ia memakainya. Mungkin semua murid melepaskan masa putih abu-abu dengan melakukan hal tersebut. Tidak mencuci benda bersejarah mereka. Tangan merogoh saku seragam, mengeluarkan sesuatu dari sana. Si bening yang berbentuk bulat, ada empat lubang di tengah benda itu. Sampai saat ini Kenan masih menyimpannya. Bukan karena ia tak ingin membuang, tetapi ia benar-benar baru mengingat tentang keberadaan benda itu. Kancing yang diberikan perempuan pendiam dan cerdas. Awalnya ia tak mengerti apa maksud dari Nada memberikan kancing kemeja seragam sekolah gadis itu, tetapi setelah satu bulan berada di London, dan mendapatkan teman yang berasal dari negeri sakura, Kenan mengetahui apa alasannya. Tak bermakna apapun bagi Kenan, tetapi ia merasa tak enak jika membuangnya. Ia memasukkan kembali ke dalam seragam, kemudian menutup rapat lemari yang memajang baju-baju semasa SMA. Kesunyian lagi. Begini rasanya menjadi anak tunggal. Kenan tak betah berada di rumah karena harus menghabiskan waktu sendirian. Ibunya memang selalu menetap, tetapi akan lebih mengasyikkan lagi jika bersama seseorang yang seumuran dengannya. Kamar ini menjadi saksi kebosanan di rumah. Beberapa kali orang tuanya harus mengganti kaca jendela yang pecah karena ulah si bola oranye. Sudah sangat lama Kenan tak memainkan bola tersebut. Ia menatap sudut kamar, si pelaku pemicu kemarahan sang ayah. Orang tuanya tak pernah marah Kenan mengajak teman-teman ke rumah. Ferdi maupun Shinta akan segera mempersilahkan mereka masuk. Kecuali jika Viona yang ia ajak, melirik pun tidak. Dulu saat SMA Kenan tak pernah mengajak Viona ke rumah, hal yang membuat ia tak pernah tahu tentang ketidaksukaan keluarga terhadap Viona. Bodohnya, setelah menyelesaikan strata dua, Kenan dengan berani membawa wanita itu, tanpa memikirkan status. ∞ Kenan akui ia marah kepada orang tuanya, tetapi membiarkan sang ayah kembali berkutat dengan berkas membuat hati luluh. Ia masuk ke dalam ruang kerja, pria itu tidak sendirian seseorang berada di sana. “Ngurusin apa, Yah?” tanya Kenan ketika dirinya telah berdiri di sebelah Ferdi. “Kebetulan kamu di sini, Ken.” Ferdi mengambil salah satu map yang ada di atas, “Tolong kamu tanda tangani ini.” Kenan lebih mendekat kepada ayahnya, tangan menyentuh map tersebut kemudian membukanya, “Surat kuasa?” Ia mengerutkan kening, tanpa menunggu Ferdi menjawab keheranannya langsung saja membaca isi dari map tersebut. Di situ tertulis, jika Kenan menikah sebelum bercerai maka semua aset yang ia miliki akan diberikan kepada Rafardhan Athala Mahadri. Kenan terus membaca sampai selesai sebelum melayangkan pertanyaan serta protes kepada ayahnya. “Siapa itu Rafardhan Athala Mahadri?” tanya Kenan kemudian menaruh map tersebut ke atas meja. Ia tak memiliki saudara sepupu yang bernama Rafardhan. “Kamu tidak perlu tahu.” Ferdi terlihat tak acuh, “cepat tanda tangan,” perintahnya. “Aku harus tahu, Yah.” Kenan berkeras, tetapi Ferdi tetap pada pendiriannya. “Kalau Ayah nggak mau ngasih tahu, aku juga nggak bakalan mau tanda tangan surat kuasa ini.” Ferdi menantang tatapannya, sekian detik berlalu pria itu mendengkus, “Dia anak angkat Ayah, usianya mungkin masih sangat muda. Tapi, dia saingan yang layak untuk kamu.” Kenan tahu ayahnya melakukan hal tersebut agar ia tak bisa berkutik untuk mempersunting sang kekasih, dan melihat seberapa percaya Ferdi kepada orang itu. Ia yakin bahwa semua sudah dipikirkan pria tersebut, sejak lama. “Yah, ini sudah kita bahas sebelumnya. Tidak perlu mengancam aku nggak bakalan melanggar aturan yang ayah buat.” “Supaya kamu tahu ayah tidak pernah main-main,” tegas Ferdi. Hati Kenan terluka, bahkan kepercayaan pun tak ia dapatkan dari ayahnya. “Baiklah, kalau itu mau Ayah.” Kenan melakukan apapun yang diinginkan pria itu, tangan meraih pena kemudian menandatangani lembaran tersebut, “Ayah puas?” Ferdi mengangguk ujung bibir naik ke atas ketika melihat tanda tangan Kenan berada di atas meterai, “Kamu bisa pergi,” usirnya, tetapi Kenan bergeming. “Ada apa?” Kenan menghela napas, “Aku bisa bertemu Rafardhan?” Gumaman Ferdi menandakan bahwa pria itu sedang menimbang permintaan Kenan. “Dia sedang berada di luar kota,” ucap Ferdi kemudian mengisyaratkan Kenan untuk tidak mengganggu lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN