5 : Teman

1506 Kata
Setelah berkumpul bersama keluarga besar Abrar, Kenan mengistirahatkan diri di hotel miliknya yang berada di Jalan Pemuda. Berada jauh dari rumah baru Abrar di daerah Semarang Selatan. Sampai Kenan pulang pun Zara tak sedikit pun terlihat menyukai kehadirannya. Namun, wanita itu masih menghargai Kenan sebagai tamu, terlihat saat Abrar mengantarkannya sampai di teras rumah. Di detik sebelum Kenan masuk ke dalam mobil, ia mengucapkan maaf pada Zara yang hanya ditanggapi angin lalu. Wanita itu malah tak suka bertatap mata dengannya dan memilih lebih dulu masuk ke dalam rumah meninggalkan Abrar yang tetap menatap mobil sampai si putih meninggalkan rumah mereka. Kenan merebahkan tubuh. Alasannya mengunjungi Abrar selain memenuhi undangan, juga ingin menyegarkan pikiran. Sudah sangat lama ia tidak mengungsikan diri untuk sekedar bersantai dari pekerjaan dan menghindari kepadatan kota Jakarta. Kota Semarang adalah pilihan terakhir yang ia masukkan dalam bayangannya. Padahal bulan lalu Kenan berencana pergi ke Lombok sendirian jika ada waktu senggang. Ternyata rencananya tersebut tidak pernah masuk dalam lingkaran kehidupannya. Dua puluh menit Kenan menatap langit-langit kamar hotel tanpa berpindah seinci pun. Pandangan lurus ke atas sana, tetapi pikiran melayang ke segala arah. sampai akhirnya lamunan itu terpatahkan oleh dering ponsel. Juna calling Kenan langsung menggeser layar ponselnya, ”Halo.” “Gimana?” “Apanya?” Kebiasaan Juna menelepon tanpa sapaan atau salam. Biasanya Kenan akan menegur pria itu, tetapi tidak untuk sekarang. “Rumahnya si Abrar.” Juna memperjelas pertanyaannya. Kenan bangun, kemudian duduk di tepi ranjang menatap keluar jendela yang menyuguhkan pemandangan kota Semarang di Sore hari. “Bagus. Lebih gede dari yang dulu.” Terdengar suara decakan di seberang sana. “Nggak nyangka gue, anak ingusan kemarin bisa sekaya sekarang.” Bukan hanya Juna, Kenan pun tak menyangka dengan perubahan Abrar sekarang. Berbeda dengan mereka berdua yang memang memiliki harta sejak lahir, Abrar hanyalah anak dari seorang guru di SMP mereka dulu. “Dia hebat, ya.” Kenan mengucapkan itu dengan nada kagumnya. “Padahal dia bukan koki, tapi restorannya udah banyak.” Kenan hanya membalas dengan gumaman. “Cepetan balik, ingat kerjaan.” Kenan menghela napas, “Gue butuh menyegarkan otak.” Ia menatap ke arah jam dinding, “Yep, gue mandi dulu, Bro. Abrar ngajakin makan malam di luar." “Enak banget lo pada.” Kenan terkekeh. “Yaudah, nyusul.” “Jeje sakit, lagi rewel, nih.” Jeje, anak sulung Juan yang kini telah duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar. Berbeda dengan Zara yang menjauhkan kedua anaknya dari Kenan, Regina istri Juna malah membiarkan kedua anak mereka bermain bersamanya. Mungkin karena Regina adalah orang baru yang masuk dalam lingkaran mereka. “Bilangin ke Jeje, cepat sembuh,” ucap Kenan. *** Rencana untuk mandi ternyata hilang begitu saja saat kepala menyentuh bantal. Kenan bangun dan mengambil ponsel yang tergeletak di sebelahnya. Ia menatap si kotak tipis itu, melihat empat angka yang dipisahkan titik dua di sana. Setelahnya ia menaruh kembali benda tersebut di atas kasur. Jam menunjukkan pukul 18.15, itu berarti Kenan masih punya waktu untuk mandi dan merasakan air hangat sebelum sahabatnya datang menjemput untuk makan malam di luar. Malam ini mereka hanya akan pergi berdua. Tentu saja Zara dan kedua anak Abrar tidak akan ikut. Sampai sahabatnya menangis darah pun, wanita itu tidak akan membiarkan Gabriel dan Rafael dekat dengan Kenan. Ia mendesah sebelum mengguyur tubuh dengan air hangat. Zara benar-benar membuat rencana liburannya berantakan. Bayangan masa lalu membuatnya ingin mengubur hidup-hidup tubuh yang penuh dosa. Hangat air membasahi tubuh, Kenan berharap air tersebut dapat merontokkan ingatannya tentang masa-masa di mana ia tak punya hati, masa-masa di mana ia dipandang penuh ketakutan oleh seluruh penghuni sekolah. Setelah lima belas menit merasakan hangatnya air, ia keluar dari dalam kamar mandi dan menuju koper kecil. Besok terpaksa ia akan pulang terbang ke Jakarta, dan kembali sibuk dengan pekerjaannya. Ponsel berdering, Kenan menggapai si kotak canggih itu lalu menggesek layarnya. Nama pemanggil yang tertera membuatnya tersenyum, dan seperti melambung ke udara saat suara itu menyapa dari seberang sana. “Halo, Sayang,” sahutnya, “lagi apa?” “Kamu yang lagi apa.” Suara itu terdengar merajuk. “Kenapa nggak nelepon aku?” “Maaf, aku ketiduran.” Kenan duduk di tepi ranjang, “kamu lagi di mana?” “Di apartemen aku.” “Udah makan?” Terselip nada penuh kerinduan di dua kata tersebut. “Belum.” Ada jeda. “Aku mau keluar sama temen.” “Cowok atau cewek?” sela Kenan cepat. “Ceweklah.” Ia tersenyum. Hanya orang yang tidak mengenal Viona, akan mengatakan kekasih Kenan itu menjijikkan, padahal sampai sekarang wanita itu tetap berada di sisinya meskipun hubungan mereka hanya jalan di tempat tanpa ada tanda-tanda naik ke pelaminan. “Udah, ya?” Kenan berdiri dan kembali sibuk dengan koper, mengeluarkan pakaian yang akan ia kenakan. “Abrar ngajak aku keluar.” “Hati-hati, ya,” ucap Viona dengan nada manjanya. ∞ Berada di kota Semarang, sangat tidak afdal jika tidak berjalan kaki di Simpang Lima, tempat yang selalu ramai di malam hari. Aneka jajanan kuliner khas Semarang dijajankan oleh pedagang kaki lima. Sudah pasti wangi makanan akan langsung tercium saat berjalan di area Lapangan Pancasila tersebut. Abrar dan Kenan duduk bersebelahan di bangku yang berada di trotoar. Mereka berdua menikmati pemandangan kota Semarang yang terlihat sangat indah di malam hari, dihiasi lampu-lampu jalanan, taman, serta lampu yang berasal dari gedung perhotelan. “Mau makan lumpia, nggak?” Pertanyaan Abrar membuat Kenan menoleh ke arahnya. “Di Jakarta, kan, ada.” Kenan tersenyum geli mendengarkan pertanyaan Abrar. “Lebih enak lagi kalau makan di kota asalnya.” Kenan malah melayangkan tatapan tak percaya yang terkesan mengejek. “Gue beli, ya. Lo tunggu di sini.” Tanpa menunggu persetujuan Kenan, sahabatnya itu pergi begitu saja tanpa minta ditemani olehnya. Lagi pula Abrar tidak akan tersesat di kota tersebut. Dalam hati ia menertawakan kekhawatirannya itu. Abrar sudah hampir delapan tahun berada di kota ini, kota kelahiran Zara. Ia baru mengetahui hal itu tadi, saat bertanya kenapa Abrar lebih memilih membuka usaha di kota Semarang, dan bukannya kembali ke Jakarta setelah menyelesaikan studi. “Tunggu bentar, lagi dibikinin.” Abrar kembali duduk di sebelahnya. “Penjualnya tahu lo duduk di sini?” “Yaiyalah.” Sahabatnya itu menatap ke arah bangunan di seberang jalan, “orang penjualnya cuma di belakang kita.” Kenan hanya membulatkan bibirnya tanpa berminat untuk menengok ke belakang. “Gabriel sudah masuk SD?” “Tahun ini.” “Cepet ya.” Ia menoleh ke arah Abrar, “gimana sih rasanya punya anak?” Bukannya menjawab, Abrar malah melayangkan tatapan penuh kecurigaan pada Kenan, “Jangan bilang lo habis dari sini mau hamilin anak orang.” “Ya nggaklah,” timpal Kenan cepat. Diumur yang hampir menginjak angka 34 tahun ini, seharusnya Kenan telah memiliki keturunan. Orang tuanya tidak pernah meminta diberikan cucu. Tentu saja alasannya mereka hanya ingin memiliki cucu dari rahim Nada Adinan. “Mas, ini pesanannya.” Kenan kembali ke bumi, saat mendengarkan suara lembut seorang wanita yang kini sedang berdiri di sebelah Abrar. Wanita itu, memakai jaket hitam dan rok panjang. Temaram lampu kota Semarang memperlihatkan jelas wajah wanita itu. Tanpa memikirkan apapun, ia berdiri dan menahan tangan si pengantar pesanan yang hendak berbalik setelah memberikan lumpia kepada Abrar. Mata mereka bertemu. Kenan tak bisa menutupi keterkejutannya, begitu pula dengan wanita itu. Nada berada di hadapannya, ia yakin betul itu adalah wanita yang selama ini ia cari. Meskipun sekarang telah menutupi rambut dengan sehelai kain yang disebut kerudung—Kenan masih mengenal Nada. “Nada.” Kenan mengucapkan itu seperti berbisik. Lama saling tatap, wanita itu menarik lembut tangan meminta dilepaskan oleh Kenan. Namun, permintaan tanpa ucapan itu tak diindahkan olehnya, ia malahan lebih mempererat pegangan. “Ken.” Akhirnya Nada mengeluarkan suaranya. “Lo dari mana aja?” Tidak ada kemarahan di setiap kata yang diucapkan Kenan. “Lo kenal, Ken?” Abrar ikut berdiri menatap keduanya secara bergantian. Ia melirik Abrar sebentar, kemudian kembali mengunci mata bulat Nada, “Ini Nada, yang lagi dicari-cari.” “Serius?” Akbar langsung meneliti wajah Nada. “Iya,” balas Kenan sambil menjauhkan tangan dari wanita itu, setelah merasa Nada tidak akan lari dari hadapannya. “Lo tinggal di mana?” Ia mengubah pertanyaannya, karena merasa pertanyaan pertama akan menghabiskan banyak waktu jika dijawab oleh Nada. “Aku harus kerja.” Nada langsung berbalik, tetapi kali ini Kenan tidak ingin kehilangan jejak lagi. Ia kembali menahan tangan wanita itu. “Kita perlu bicara,” ucapnya penuh penekanan. “Aku harus kerja,” ulang Nada tanpa repot membalikkan tubuh kembali menatap Kenan. “Tunggu dia habis kerja aja, Ken.” Abrar menyela. Menghela napas, perlahan-lahan Kenan melepaskan tangan Nada. membiarkan wanita itu kembali untuk bekerja, menjual apa yang dibeli oleh Abrar tadi. Sekuat tenaga ia ingin mematahkan pandangan ke arah Nada yang sedang melayani pembeli. Entah kenapa hatinya terenyuh saat melihat apa yang dikerjakan oleh istrinya itu. Nada, anak sulung dari dua bersaudara. Papa wanita itu adalah pengusaha properti. Kenan tak menyangka wanita yang sejak lahir merasakan kemewahan, kini lebih memilih mengasingkan diri tanpa ada alasan yang jelas. ∞

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN