Perbedaan Sikap

1012 Kata
Tanda Merah Di Leher Suamiku 7 Perbedaan Sikap "Saya makainya di kamar mandi belakang aja ya, Bu," ucap Sari menerima alat test kehamilan berbungkus biru laut itu. "Aduh, ngapain sih pakai di belakang, di sini saja," ucapku. "Tapi, itukan kamar mandi Bu Siska dan Pak Andi. Saya nggak enak, Bu," ucapnya lirih. "Halah...nggak enak apaan sih? Kan aku yang nyuruh. Ayo sekarang cepat, sebelum Mas Andi pulang! Katamu nggak mau Mas Andi tahu 'kan?" Setelah mengangguk, Sari pun langsung masuk ke kamar mandi pribadiku, dan aku mengekorinya dari belakang. "Nggak usah di tutup pintunya, Sar!" ucapku sembari bersender di pintu kamar mandi. Sari kelihatan amat kaget dengan ulahku ini, dan sebenarnya aku pun jijik jika melihat orang lain sedang pipis di kamar mandi. Tapi, ini demi sebuah kejujuran, kali ini aku nggak mau kecolongan lagi, jadi hal ini harus kulakukan. "Tapi, saya malu, Bu." Sari mencoba menolak. "Sudah jangan banyak protes! Kita ini 'kan sesama wanita. Siniin testpack-nya, dan ini wadah buat nampung urine-mu. Cepetan, keburu Mas Andi datang!" kataku dengan nada lumayan tinggi. Sari pun akhirnya menuruti semua ucapanku, dan memberikan wadah kecil berisi sedikit urinenya padaku. Segera kumasukkan alat test kehamilan itu, dan alhamdulillah, ternyata hasilnya negatif. "Alhamdulillah, Sar. Ternyata kamu nggak hamil!" ucapku girang. "Iya, Bu. Alhamdulillah!" Sari pun terlihat amat bahagia. "Ya sudah cepat buang ini semua di tempat sampah belakang. Setelah itu, kamu lanjutin mijit kakiku ya," ucapku sembari memberikan semua alat test tadi. Sari pun kembali mengangguk, dan dia segera berlalu. Aku pun kemudian ikut keluar, dan kembali duduk di ruang keluarga sembari menonton tivi. Setelah mengetahui jika Sari tidak sedang hamil saat ini, aku pun tentunya amat lega. Tapi, kali ini, aku harus mengejarnya, agar mengatakan siapa pacarnya itu sebenarnya. Bambang suaminya Linda, atau mungkin malah Mas Andi? "Ini mau dipijit lagi ya, Bu?" tanyanya saat kembali menghampiriku. "Iya, dong! Seperti biasanya," jawabku sembari menatap lekat layar televisi. Setiap hari, pasti aku minta di pijit bagian bawah kakiku, karena saat hamil ini, kedua kakiku ini memang bengkak, dan setiap hari, Mas Andi dan Sari pun bergantian memijitiku. "Bu, nggak jadi 'kan mecat saya?" Mendengar pertanyaan Sari tersebut, tentu saja aku langsung menoleh. Berarti, dia ini memang sangat takut sekali padaku, dan hal ini harus kumanfaatkan. "Ya, nggak lah, Sar. 'Kan tadi hasil test nya kamu negatif. Ya sudah, berarti kamu bisa tetap kerja di sini," jawabku sambil tersenyum. "Tapi, Bu Siska janji 'kan, nggak bakal mengadukan semua ini pada Pak Andi?" Hemmm...lagi 'kan? Si Sari ini amat takut jika kuceritakan semuanya pada Mas Andi. "Nggak lah, Sar, inikan rahasia perempuan, hehehe, kamu tenang aja ya. Eh..tapi, kamu kenapa sih, kok kayaknya takut banget gitu sekarang sama suamiku? Padahal, sebelumnya kalian kan sering ngobrol." Aku kini menoleh kepadanya, karena memang aku baru ingat sesuatu. Ada yang berbeda dengan sikap antara Mas Andi dan si Sari ini. Dulu, ketika Sari baru bekerja di sini, keduanya memang tak saling sapa, dan Sari amat kelihatan sangat hormat dengan suamiku itu. Tetapi, sekitar empat bulan yang lalu, pas waktu kandunganku mulai bermasalah. Kulihat keduanya, makin akrab, bahkan beberapa kali kulihat, Mas Andi membantu pekerjaan Sari. Pikiranku tak pernah macam-macam sih karena kupikir, saat aku bedrest, maka yang mengurus semuanya adalah Mas Andi dan Sari. Jadi, mungkin karena hal itu, mereka jadi dekat. Dan hal itu mungkin hanya sebatas hubungan antara bos dan majikan saja, tak lebih. Karena hubungan keduanya yang tak lagi canggung, aku jadi merasa makin dimudahkan, ketika keadaan seperti ini. Semua sudah dihandle oleh Sari, dan di sempurnakan oleh Mas Andi. Menurutku juga, sejak sekitar empat bulan yang lalu, Mas Andi juga banyak berubah. Dia makin sayang dan perhatian padaku. Tanpa kuminta, semua kebutuhanku saat bedrest itu sudah dipersiapkan, dan dia pun memanjakanku dengan banyk barang. Dan satu lagi, suamiku itu jadi tak terlalu menuntut nafkah batin. Padahal, sebelumnya, suamiku ini tipe orang yang menomor satukan hal itu, bahkan dalam kondisi aku sedang hamil. Flasback On "Mas, maaf ya, aku nggak bisa memenuhi kebutuhan batinku lagi sampai setelah melahirkan nanti, " ucapku saat itu, ketika kami berada di kamar. "Kamu nggak usah mikirin hal tak penting seperti itu dong, Dek. Kamu kira aku ini suami apaan? Sudah tahu istrinya sedang hamil dan keadaanya kayak gini, kok malah minta gituan terus sih. Hahaha," ucap Mas Andi sambil memijit kakiku. "Tapi, kemarin-kemarin, kamu kan selalu protes, hingga urinng-uringan gitu tiap hari. Kok sekarang bisa berubah jadi pengertian gini sih, Mas?" tanyaku lagi makin penasaran. "Ya kemarin-kemarin itu, aku memang masih belum bisa legowo, tapi sekarang aku mulai mengrti kok, Dek. Mengerti posisimu, dan keadaanmu. Jangan khawatir, kini dan kedepanya, aku akan jadi suami yang pengertian, dan akan siap menunggu, hingga saat bayi kita ini lahir. Yang penting, kamu dan bayi kita ini sehat, itu sudah cukup bagiku. Karena kalian adalah segalanya. Dan satu lagi, apapun yang kamu inginkan, langsung bilang saja, aku nggak mau loh, kalau anakku nanti ileran, hehehe." Mas Andi selalu menunjukkan senyum bahagianya kepadaku. Flashback Off Seperti itulah sikap suamiku, sejak sekitar empat bulan yang lalu. Dan saat itu, sikap Sari pun terlihat makin hormat padaku. Penampilannya pun, telah banyak berubah. Bahkan kulihat baju-bajunya pun, banyak yang baru. Namun aku tak pernah curiga, pikirku dia memang merawat dirinya, dengan uang gajinya itu. Nah, akhir-akhir ini, sekitar tiga mingguan yang lalu, badanku mulai lebih fit, jadi aku mulai bisa kembali beraktifitas, meski tak boleh terlalu berat. Tapi, menurutku sejak itu, sikap Mas Andi dan Sari pun mulai berbeda. Mereka kembali renggang, bahkan kulihat mereka kembali tak bertegur sapa. Apa ini ada hubungannya dengan apa yang diceritakan oleh Sari, tentang pacarnya itu? Inilah yang kali ini harus kuselidiki. "Nggak lah, Sar, inikan rahasia perempuan, hehehe, kamu tenang aja ya. Eh..tapi, kamu kenapa sih, kok kayaknya takut banget gitu sekarang sama suamiku? Padahal, sebelumnya kalian kan sering ngobrol," tanyaku penasaran. "Iy...iya sih, Bu. Tapi saya takut kalau Pak Andi akan marah, dan malah nanti memecat saya. Bu Siska dan Pak Andi 'kan jauh beda, saya takut, Bu," jawab Sari. Hemmm...sebuah jawaban yang masuk akal sih menurutku. Rata-rata seorang pembantu pasti lebih takut dengan majikan laki-lakinya, dari pada dengan majikan perempuannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN