5. Mencoba Baju Pengantin

971 Kata
Laili terdiam sepanjang perjalanan, sehabis tersedak tadi. Untung saja dia selalu membawa bekal minum, sehingga tenggorokannya tidak terlalu sakit karena harus batuk lama. Ekor matanya melirik Arya yang sepertinya sedang mengulum senyum. "Jam berapa pulang hari ini?" "Jam sebelas." "Kok cepat?" "Ujian Nasional." "Pulang nanti naik apa? sepeda Doni belum saya betulkan." "Naik pesawat." "Ha ha ha ... " "Kamu lucu juga. Sudah jangan marah, saya hanya bercanda. Kita menikah setelah kamu lulus saja." "Kalau saya tidak mau?" "Harus mau!" Laili memutar bola mata malasnya, lelaki berumur di sampingnya ini benar-benar mengesalkan. Jika saja bukan majikan yang sudah berbuat banyak padanya sedari ia Sekolah Dasar, tentulah ia tidak mau dikawinkan dalam usia muda. Masih banyak yang ingin ia lakukan, seperti kuliah, bekerja, menikmati hasil jerih payah dari bekerja. Namun, sepertinya itu impian yang sia-sia, mengingat tidak lama lagi, mau tidak mau, ia harus menikah dengan lelaki dewasa bernama Arya Jovan. "Laili," panggil Arya. Namun, Laili masih asik melamun. "Laili," panggilnya lagi. Namun, tetap saja Laili tak sadar dari lamunannya. "Laili, kita sudah sampai. Kamu mau turun, apa ikut saya ke kantor?" suara Arya sedikit tegas, membuat Laili tersentak dari lamunannya. "Eh, iya. Maaf, Tuan. Saya pamit." Laili menunduk malu, pasti sedari tadi majikannya memperhatikan dirinya yang tengah melamun. "Laili, tunggu!" Arya menahan tas Laili, hingga tubuh Laili ikut tertahan. Pintu mobil sudah terbuka dan kaki kiri Laili sudah turun. Laili menoleh, "ada apa, Tuan?" keningnya berkerut.  "Ini uang untuk ongkos ya. Sisanya buat kamu saja," ucap Arya sambil memberikan dua lembar uang berwarna merah pada Laili. "Terimakasih, Tuan. Saya pamit," ucap Laili sambil menerima uang pemberian Arya. Ia turun sambil tersenyum, karena ongkos yang diberikan Arya bisa untuk sepuluh hari. Baru saja menutup pintu mobil majikannya, Laili kaget dengan tatapan beberapa siswi yang menatap aneh dirinya. Laili mencoba biasa saja, tidak mau peduli. Sudah biasa ia diperlakukan seperti ini oleh penduduk sekolah. Hanya Suci dan Diana yang baik serta mau berteman dengannya. Namun, telinganya menjadi panas, saat lelaki bernama Danu menyindirnya dengan kalimat tajam, "ga dapat yang muda, dia pilih jadi simpanan aki-aki. Ha ha ha ..." tawa Danu dan ketiga temannya yang ikut bersama Danu. "Hei, Danu! Apa maksud kamu?" balas Laili tidak terima dengan ledekan Danu. Semua mata kini tertuju pada Laili yang sudah memerah wajahnya menahan amarah. Arya belum membawa pergi mobilnya, ia masih di situ dan memperhatikan Laili bersama teman lelakinya yang sedang berdebat. "Pacaran sama gue, baru dipegang tangannya aja, udah ceramah kayak Mama Dedeh. Eh, sekalinya putus, langsung jadi sugar baby," ledek Danu yang diikuti anggukan serta tawa teman-temannya. "Apa itu sugar baby?" tanya Laili dengan kening berkerut. "Ha ha ha ... pura-pura gak tahu lo. Sugar baby itu, bobok bareng aki-aki. Ha ha ha ..." "Ada apa ya?" suara berat Arya menyela keduanya, membuat Laili dan juga Danu terkejut. Bahkan Danu kini mundur beberapa langkah dengan wajah pucat tak berani menatap wajah Arya yang tegas namun tampan. "Kamu bilang apa tadi sama Laili?" tanya Arya masih dengan nada suara datar. "Bukan apa-apa, Om," jawab Danu sambil hendak berbalik badan meninggalkan Laili yang kini sudah bercucuran air mata. "Dengar ya, anak kecil! Laili itu calon istri saya. Jadi jaga bicaramu!"  "Apa?!" kali ini, Laili ikut terperangah dengan ucapan majikannya barusan dan itu terdengar oleh semua siswa dan guru yang kebetulan ada di sana. Laili sudah tidak punya muka lagi, ia memilih meninggalkan Arya dan juga Danu dengan sejuta kesal. Sepanjang menyelesaikan soal ujian, pikiran Laili tidak tenang. Apalagi saat jam istrirahat pertama tadi, kasak-kusuk siswi terdengar jelas mencibir dirinya. Untung saja, beberapa hari lagi, ia selesai bersekolah. Sehingga ia tidak perlu terlalu lama mendengar cibiran teman-temannya. Drrt Drrt Ponselnya bergetar, namun ia abaikan. Fokusnya kini pada soal mata pelajaran Matematika yang tersisa sebelas nomor lagi belum ia kerjakan. Sambil mengusap peluh dan menarik nafas panjang. Laili berusaha kembali berkonsentrasi, meskipun saat ini, ekor matanya menangkap Danu yang kini juga meliriknya. Hari yang melelahkan bagi Laili, ia turun dari ojek online dengan langkah lemas, tidak bersemangat seperti biasanya. Setelah membuka sepatu, lalu menyimpannya di rak sepatu, Laili pun masuk ke dalam rumah melalui pintu samping. Sudah ada Bik Kokom yang sedang menyuapi Dira buah alpukat yang sedikit dihaluskan. "Assalamualaykum," sapa Laili saat masuk rumah. "Wa'alaykumussalam. Eh, Teteh Laili udah pulang," sahut Anes yang kebetulan berada tak jauh dari Bik Kokom. "Ada tamu ya, De?" "Iya, teman mama. Bawa baju pengantin," terang Anes sambil terus menyisir boneka barbienya. Laili terdiam, benarkah hari yang paling tidak ia inginkan semakin dekat.  "Laili, sini deh!" suara Ririn memanggilnya dengan cukup keras. "I-iya, Nya," sahut Laili gugup. "Pilih yang simple bajunya ya," bisik Bu Kokom sambil mencolek pipi Laili yang kini bersemu merah. "Apaan sih, Bibik," elak Laili dengan langkah lebar menuju ruang tamu. Ada dua orang wanita cantik yang kini ikut tersenyum padanya. Di dekat tamu majikannya duduk, ada dua koper besar, yang entah apa isinya. "Kenalkan, ini Laili. Calon maduku," suara Ririn terdengar riang memperkenalkan Laili pada tamunya. Laili hanya bisa mengangguk sambil tersenyum tipis. "Cantik ya," puji tamu Ririn yang memakai kerudung. "Cepat pakaikan baju yang cocok untuknya, aku ingin lihat!" titah Ririn tak sabar pada dua orang temannya. Laili hanya bisa pasrah mencoba satu per satu pakaian yang diberikan padanya. Ririn akan menggeleng saat baju yang dipakai oleh Laili terlihat kurang pas. Terus saja begitu hingga Laili berganti pakaian sampai enam kali. Jujur, ia sangat lelah hari ini. Ingin sekali buru-buru rebahan di atas ranjangnya. Namun, apalah daya jika sang majikan sudah memberikan perintah. Maka ia tidak akan bisa menolak. "Kalau yang ini bagaimana, Say?"  Ririn menoleh dan betapa takjubnya ia, saat melihat Laili memakai kebaya brukat putih panjang, sampai menyentuh lantai, dipadu padankan dengan rok batik yang motifnya sangat cantik. Ceklek Ririn memotret Laili yang tampak anggun dan semakin cantik. Kemudian foto itu ia kirimkan pada Arya suaminya. "Siapa gadis cantik ini?" Arya mengerutkan keningnya. ****      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN