Keheningan malam tercipta, hanya suara detak jam dinding yang terdengar kala itu. Sesekali suara binatang malam terdengar mewarnai sunyinya malam.
Pukul satu dini hari, perlahan-lahan selimut yang Amanda gunakan untuk menutupi dirinya bergerak turun. Seperti ada sesuatu yang menarik selimut gadis itu agar sampai terlepas dari tubuhnya. Hawa dingin di ruangan itu makin terasa.
"Kok, dingin banget ya?" Amanda sampai tersadar dari tidurnya seraya mengusap kedua bahunya. Ia merasa tubuh rampingnya makin menggigil. Ia meraba tubuhnya sendiri dan mendapati tak ada selimut yang menutupi tubuhnya.
Gadis itu mencoba memberanikan diri untuk membuka kedua matanya. Ia menarik selimut bermotif kartun minnie mouse favoritnya dengan dasar warna merah muda itu. Namun, keanehan langsung terasa. Selimut itu perlahan bergerak menurun ke kakinya seolah ada yang menarik.
Gadis itu buru-buru bangkit dan menyalakan lampu kamar. Tak ada apapun di sana. Iris cokelat miliknya memberanikan diri berkeliling mengamati ruangan kamar itu.
"Tadi itu aku merasa ... ah, cuma perasaan aja kayaknya."
Amanda kembali ke atas ranjang dan menarik selimutnya. Tiba-tiba, ua merasakan tetes demi tetes air membasahi wajahnya. Ia lantas membuka kedua mata lentiknya. Di tengah sinar bulan yang terpancar dari luar jendela, gadis itu terperanjat kala melihat sosok wajah seorang anak kecil hadir di atas wajahnya.
"Aaaaaaaa!"
Amanda langsung berteriak dengan kencang sampai membuat Nenek Ratih menghampiri gadis itu.
Klik!
Cahaya lampu kamar langsung berpendar menyinari ruang kamar Amanda.
"Pergi! Pergi dariku!"
Amanda masih saja berteriak ketakutan.
"PERGI!"
Gadis itu terus berteriak sampai sang nenek memeluknya.
"Amanda, kamu kenapa sayang?"
Nenek Ratih berusaha menenangkan cucunya.
"Tadi aku lihat, aku lihat—"
Amanda menangis sesenggukan karena ketakutan mendera gadis itu.
"Kamu lihat apa?"
"Tadi aku, tadi aku, hiks hiks hiks, aku lihat anak kecil, Nek."
"Anak kecil? Kamu pasti mimpi buruk."
"Aku nggak mimpi buruk, tadi aku lihat anak kecil yang semalam aku lihat itu, dia basah kuyup."
"Nggak ada siapa-siapa di sini, Amanda, kamu pasti mimpi buruk."
"Tapi, Nek...."
"Kamu tidur lagi ya, jangan lupa baca doa. Besok kamu mau ke rumah Mbak Mira untuk belajar baca tulis."
"Iya, Nek."
Nenek Ratih memastikan Amanda kembali berbaring dengan tenang di atas ranjangnya. Setelah itu, ia matikan lampu kamar dan pergi.
Tubuh Amanda masih gemetar ketakutan. Ia mencoba memaksakan kedua matanya terpejam sampai ia akhirnya terlelap.
*
Keesokan harinya, Amanda diantar oleh Nenek Ratih menuju ke rumah singgah Taman Aksara untuk bertemu pemilik rumah singgah tersebut. Wanita dengan rambut keriting berkulit sawo matang itu menyambut kedatangan kedua wanita tersebut.
"Halo, selamat datang di Taman Aksara," ucap wanita itu seraya membetulkan posisi kaca mata tebalnya.
"Pagi, Mbak Mira, masih ingat sama Amanda kan?" Nenek Ratih memperkenalkan Amanda pada Mbak Mira.
"Saya ingat, dong! Amanda sudah bisa melihat ya, makin cantik ya," ucapnya.
"Alhamdulillah, terima kasih Mbak Mira. Mbak juga ternyata cantik banget ya," ucap Amanda menjabat tangan wanita itu.
"Nah, kalau begitu saya titip Amanda ya, saya harus berkerja dulu," ucap Nenek Ratih.
Wanita paruh baya itu bekerja di sebuah laundry dekat dengan rumahnya. Amanda mencium punggung tangan sang nenek sebelum wanita itu pamit.
"Amanda duduk sini, ya! Nanti jam sepuluh biasanya anak-anak mulai berdatangan. Mereka dari anak-anak tidak mampu yang mau belajar di sini."
"Sama kayak aku dong, Mbak."
"Iya, sama sama mau belajar. Oh iya nanti ada Adam yang suka datang ke sini buat bantu ngajar, ada juga Mella. Biasanya pulang kuliah atau sebelum kuliah, mereka datang ke sini."
"Mbak, kan kita gratis belajar di sini, Mbak dapat uang dari mana buat menjalankan rumah singgaj ini?"
"Nggak usah dipikirin dapat uang dari mana, ada Allah yang selalu memberikan uang pada Mbak, dari manapun itu rezeki datangnya. Adam itu salah satu donatur di sini, bahkan dia juga jadi tim pengajar dengan sukarela."
"Oh, begitu ...."
"Seandainya saja Mbak paham huruf braille, mungkin udah lama Mbak ngajarin kamu."
"Iya, Mbak nggak apa-apa, aku juga enggak berani keluar rumah. Nenek selalu suruh aku di rumah biar enggak digangguin sama preman sekitar sini."
"Nenek Ratih pasti sayang banget sama kamu, ya, sampe cucunya diumpetin terus di rumah hehehehe."
Tak lama kemudian, seorang wanita berambut cepak dan terlihat tomboi datang ke rumah singgah tersebut.
"Mbak Mira, aku bawa bubble tea ini," ucapnya.
"Walaikumsalam, biasakan salam dulu!" sahut Mira.
"Oh iya, lupa. Assalamualaikum wahai calon penghuni surga, Mella datang ...." Gadis itu kembali mengulangi adegan masuknya seraya mengusap salam.
"Walaikumsalam."
Mira dan Amanda menyahut bersamaan. Kedua mata Mella langsung menelisik ke arah gadis yang duduk di samping pemilik rumah singgah itu.
"Kenalin ini Amanda," ucap Mira.
Amanda langsung mengulurkan tangannya ke arah Kepala. Gadis itu menyambut uluran tangan tersebut seraya menyebutkan nama. Mira langsung menceritakan tentang Amanda pada Mella.
"Bu Mira, ada telepon dari Pak Yudi."
Seorang wanita menggunakan daster yang bekerja paruh waktu menjadi asisten rumah tangga di tempat Mira datang menghampiri.
"Hmmm, mau apalagi sih tuh orang," keluh Mira seraya bangkit berdiri. Ia menoleh sejenak pada Mella kala itu.
"Mel, tolong kamu ajari Amanda baca tulis ya!" pinta Ibu Mira.
"Siap, Bu!"
Mira melangkah menuju rumah miliknya yang berada di seberang rumah singgah tersebut. Amanda masih mengamati rumah singgah tersebut. Ternyata tak hanya sebagai tempat tinggal, Rumah Singgah Pemisah menjadi inspirasi juga sebagai tempat belajar bagi mereka yang tidak mampu ke sekolah.
Terletak di pinggiran kota yang berada di tepi bantaran kali, bangunan kayu yang menyerupai rumah panggung itu menjadi tempat mereka yang ingin menuntut ilmu. Buku-buku penunjang juga di sediakan di dalamnya.
Sejumlah fasilitas seperti alat tulis, buku bacaan, meja kayu tanpa kursi karena biasanya para murid duduk tanpa alas di lantai kayu tersebut. Di rumah singgah itu juga tersedia layanan konsultasi belajar yang diberikan secara gratis tanpa dipungut biaya bagi pelajar yang membutuhkan.
Keberadaan Rumah Aksara menjadi solusi nyata dalam bidang pendidikan, membantu mereka yang kesulitan untuk bisa meraih cita-cita dan masa depan yang lebih baik bagi warga sekitar yang masih berada di tingkat kemiskinan yang tinggi.
"Amanda belajar baca dulu, yuk, sebelumnya kita mengenal huruf abjad," ucap Mella menyentak raga Amanda yang masih sibuk menelisik sekitar rumah singgah.
"Eh iya, Kak," jawab Amanda.
"Panggil Mella aja, memangnya kamu umur berapa?" tanyanya.
"Tiga bulan lagi, usiaku 22 tahun."
"Wah, berarti aku panggil kamu Kakak, usia aku soalnya 20 tahun," sahut Mella.
"Panggil Amanda aja, nggak usah pakai sebutan kakak, biar makin akrab."
"Oke." Mella meraih buku bacaan untuk Amanda.
"Sebenarnya aku masih ingat pelajaran mengenal huruf abjad, almarhum mama aku pernah mengajari aku, tapi aku belum lancar bacanya," kata Amanda seraya meringis.
"Wah, malah bagus itu, jadi aku yakin kamu pasti bisa belajar dengan cepat."
Amanda menikmati satu jam pelajaran bersama Mella dengan penuh kebahagiaan. Akhirnya setelah sekian lama ia selalu berada di rumah, di rumah singgah itu ia merasakan suasana sekolah yang ia rindukan sejak kecil.
Tepat pukul sepuluh ada dua belas anak datang ke rumah singgah. Mella memperkenalkan Amanda pada anak-anak tersebut.
"Nanti siang biasanya juga ada anak-anak yang datang lagi, nah biasanya si Adam yang pegang, kalau aku datangnya pagi soalnya aku keseringan kuliah siang atau sore," ucap Mella.
"Ya, aku akan tetap berada di sini sampai nenek pulang sekitar abis zuhur. Nenek juga suruh aku buat bantu Mbak Mira bersih-bersih rumah singgah sebagai ucapan terima kasih aku."
"Cakep!" sahut Mella.
"Assalamualaikum!" Suara seorang pria terdengar memasuki rumah singgah.
"Walaikumsalam."
Semua kompak menjawab.
"Nah, itu si Adam."