Rhe terdiam. Entah harus menjawab apa. Tapi, tiba-tiba matanya melihat seseorang mengenakan hoodie hitam melintas. Postur tubuhnya, seperti lelaki di cctv itu.
“Sebentar, ada yang harus aku cek sebelumnya,” Rhe berdiri memperhatikan orang itu. Barra menoleh ke arah tatapan mata Rhe memandang. Ia ikut berdiri, ada seseorang dengan hoodie hitam, sepertinya lelaki yang ia lihat semalam.
Rhe terus memperhatikan pergerakan orang itu. Barra penasaran, “Kenapa dengan orang itu?” Rhe bicara pelan, “Seperti suspect yang kita kejar.” Barra memicingkan matanya. Tiba-tiba, orang itu seperti merasa ada yang memperhatikan. Sosok dengan hoodie hitam itu tiba-tiba lari dengan cepat. Rhe langsung menyadari ada yang salah.
Ia berlari dengan cepat sekuat tenaga mengejar orang itu. Barra kaget, melihat Rhe yang tiba-tiba saja pergi mengejar lelaki itu. Beberapa orang terlihat bingung melihat pengejaran tersebut. Barra terus memperhatikan kemana arah Rhe pergi, tapi makin lama makin jauh.
Entah kenapa, jantungnya berdebar kencang, ia hanya berdiri mematung di tempat tadi, tidak mampu menggerakkan kakinya. Rhe kemana? Ah, perempuan itu..
Barra akhirnya mencoba mencari dan bergerak ke arah Rhe tadi berlari mengejar sosok tadi. Ia melihat ada beberapa orang membicarakan kejadian tersebut. “Orang tadi lari ke arah mana?” Barra bertanya pada sekelompok orang tersebut.
“Pintu keluar,” ujarnya menunjuk ke arah pintu utama yang tak jauh dari lokasi itu. “Ada apa dok?” Salah satu suster menghampirinya. “Saya juga tidak tahu.. Sebentar saya lihat,” Barra bergerak ke luar pintu rumah sakit. Ia bingung, tidak terlihat jejak keduanya di situ.
Kemana perempuan itu? Kenapa ia tiba-tiba khawatir.. Tidak apa-apa bukan?
Barra tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Akhirnya ia kembali masuk ke dalam rumah sakit dan berharap Rhe baik-baik saja.
Ia terus melangkah masuk, sampai tiba-tiba ada yang menyentuh punggungnya. Ternyata salah satu pelayan coffee shop, “Dok, ini tertinggal tadi di meja.” Barra berterima kasih dan menyadari kalau itu jaket milik Rhe. Tanpa sengaja, Barra melihat kalau di saku jaketnya ada ponselnya. Ah.. Bagaimana kalau ia perlu bantuan? Ponselnya tertinggal.. Barra semakin cemas, tak bisa menghilangkan kekhawatirannya..
Jaket itu ia bawa dan berharap Rhe cepat kembali.
***
Rhe terus berlari mengejar sosok itu, hingga ke luar rumah sakit. Ia yakin itu laki-laki. Dan, kalau memang tidak ada yang salah, kenapa harus lari? Lalu lelaki ini, seperti mengenalinya. Apa Keenan? Daniel? Siapa dia?
Banyak tanya memenuhi benak pikirannya. Kedua kakinya tak henti berlari, terus mengejar sosok itu. Beberapa kali ia meminta maaf karena tidak bisa mengendalikan langkahnya dan menabrak pejalan kaki. Bahkan sempat terjatuh di jalanan beraspal itu. Sakit, tapi sudah biasa.. Ia terus bangkit dan kembali berdiri.
Entah berapa jauh Rhe mengejarnya, sampai lelaki itu tiba-tiba masuk ke dalam suatu lorong. Rhe terus mengikutinya masuk ke dalam lorong tersebut. Ya sosok itu lelaki.. Sayangnya masker menutupi wajahnya. Ia naik melintasi pintu gerbang kawat. Rhe berusaha naik, tapi ia terlambat, lelaki itu menghilang dari pandangannya dengan cepat.
Ah.. Kesal rasanya! Ia merasakan ada yang perih, ternyata bagian atas tangan kanannya berdarah terkena ujung gerbang kawat. Lalu bagian bawah tangannya ikut terluka, sepertinya terkena aspal saat jatuh tadi. Ia berlari hanya mengenakan kaos tangan pendek. Jaketnya ia lepas di coffee shop tadi..
Rhe menghela nafas. Ia hendak menelepon Galang, tapi ponselnya ada di jaket. Akhirnya ia kembali menyusuri jejak secara perlahan. Rhe mencoba mencari petunjuk dari lelaki tadi, siapa tahu ada yang tertinggal di jalanan. Tapi nihil.. Ahh.. Ini benar-benar membuatnya marah.
Otaknya berputar, siapa lelaki itu? Kenapa ada di rumah sakit? Apa ingin menemui Clara?
Ia kembali memasuki rumah sakit, menuju coffee shop. Rhe bertanya pada pelayan yang sedang membersihkan meja, “Maaf, tadi saya ketinggalan jaket. Apa ada?” Orang itu tersenyum menatapnya, “Oh, saya pikir milik dokter Barra, tadi saya serahkan pada dokter.”
“Oh, ok, tidak apa-apa. Terima kasih, saya permisi dulu,” Rhe berjalan menuju Trauma Center. Saat melintasi toilet, ia berbelok sebentar dan membersihkan lukanya. Ada darah menetes dari luka di bagian atas tangannya. Ia mengambil tissue dan menekannya agar darah tidak lagi keluar. Setelah sedikit mengering, Rhe membuang tissue itu.
Ia kembali melangkah menuju Trauma Center. Dari kejauhan, Rhe melihat Barra sedang memeriksa pasien. Ia memutuskan untuk menunggu hingga Barra selesai. Rhe diam dan menunduk menatap lantai rumah sakit. Pikirannya terus melayang..
Beberapa menit kemudian, Rhe menoleh dan memperhatikan apa Barra sudah selesai atau belum. Ternyata belum... Rhe melihat Barra tersenyum pada pasiennya. Lelaki itu, memang tampan.. Tiba-tiba Rhe teringat ajakan Barra tadi, soal makan malam. Ia belum menjawabnya. Mengingatnya, hanya membuat jantungnya berdebar kencang..
Rhe cuma diam menggigit bibirnya dan berpikir. Apa jawabannya? Iya atau tidak? Rasa gugup menyerang dirinya. Kakinya menendang-nendang lantai rumah sakit, meski tidak ada apapun di situ. Ia melamun..
“Menunggu siapa?” Barra tiba-tiba ada di hadapannya. Rhe menatapnya sambil menyodorkan tangannya, “Jaketku..” Barra hanya tersenyum, memperhatikan Rhe dari bawah ke atas. Hingga ia melihatnya, tangan perempuan ini penuh luka. Barra melihat, Rhe sudah membersihkannya, tapi, luka itu belum sepenuhnya kering. Bagian atas tangannya meneteskan darah.. Kenapa dengan perempuan ini? Ada luka dan berdarah, tapi secuek ini?
Barra hanya menggelengkan kepalanya… Ia heran, sungguh heran..
“Ikuti aku,” ujarnya. “Kemana?” Rhe bingung, tapi mengikuti langkah Barra. Hingga berbelok memasuki ruangan dengan papan bertuliskan dr. Barra Abrisam N, Sp.B K.Trauma.
“Jaketmu ada di ruanganku,” Barra mengambil sebuah kotak di samping meja kerjanya. “Duduk,” Ia memerintahkan Rhe duduk. “Du-duk dimana?” Rhe bingung. Barra tidak bicara hanya menunjuk tempat tidur di ujung ruangan.
Rhe melangkah dan duduk di atas tempat tidur itu. Barra duduk di sebelah kanannya, dan membuka kotak itu, yang ternyata alat-alat kesehatan, “Diam!” Pelan-pelan, dokter itu mengoleskan entah apa pada lukanya.
“I-ini tidak apa-apa.. Ti-tidak usah..” Rhe mencoba menarik tangannya, tapi Barra dengan cueknya menahan tangannya. Rhe akhirnya diam. Bunyi nafas Barra terdengar begitu dekat. Kesunyian ini membuatnya merasakan setiap tarikan nafas lelaki tampan di sampingnya ini. Ia terlihat tenang dan telaten mengobati lukanya. Hingga akhirnya plester besar menutupi luka di tangannya.
“Te-terima kasih..” Rhe begitu gugup hendak berdiri. “Belum selesai,” Barra mengarahkan Rhe untuk tetap diam. Ia melanjutkan membersihkan luka lecet di bagian bawah tangannya, dan mengobatinya. Rhe menunduk, hanya bisa diam.
“Sekarang selesai,” Barra membereskan alat-alatnya.. Lalu mengambil jaket hitam miliknya di kursi, “Ini jaketmu.”
Rhe menatapnya.. “Te-rima ka-sih..” Barra menatapnya, “Sama-sama. Kamu tahu, luka sekecil apapun harus diobati. Kalau tidak, bisa meninggalkan bekas. Hargai dirimu, tubuhmu.. Dan, you owe me! Kamu menerima pengobatan dariku, seharusnya ini tidak gratis.” Wajahnya mendekat, Rhe merasakan jantungnya berdebar begitu kencang. Jarak wajahnya dan Barra mungkin hanya 2 cm saja. Rhe melihat, betapa mancung hidungnya, matanya yang tajam, dan kulitnya yang bersih..
“A-a-aku bayar.. Be-ra-pa?” Rhe begitu gugup, tidak lagi bisa menutupi debaran di dadanya. Barra hanya tersenyum dan berbalik menyibukkan dirinya membereskan peralatan yang tadi ia gunakan, “Bukan soal uang.. Aku hanya perlu jawabanmu..”
“Ja-jawaban a-apa?” Rhe berdiri dari tempat tidur itu. “Dinner, besok malam.. Bisa?” Barra menatapnya dan menanti jawabannya.
***