Kisah Shana Bagian Satu ~~

1142 Kata
Disebuah lobby rumah sakit, Shana sedang berjalan dengan tangan menenteng sebuah kantung plastik berisi cemilan malam untuk dirinya saat menjaga sang ibu. Wanita bertubuh mungil itu berlari secepat yang ia bisa saat dari jauh ia melihat lift terbuka. Dengan lebar langkah yang terbatas, Shana gagal mengejar lift yang terbuka itu. Wajah wanita itu seketika merengut. Berkali-kali helaan napasnya pun terdengar. Shana harus menunggu beberapa menit hingga lift yang mengangkut beberapa orang itu kembali terbuka. Ia segera berjalan masuk bersamaan dengan seorang pria muda yang cukup tampan. Untuk sesaat Shana tercekat, wanita itu perlahan berjalan mundur hingga menabrak dinding lift. “Bagaimana keadaan ibumu?” tanya pria itu.  Shana hanya terdiam dengan wajah tegang dan ketakutan. Tiba-tiba berdenting dan berhenti tepat saat pria itu memutar tubuhnya untuk menghadap Shana. Tatapan mata wanita itu tertuju pada pintu lift yang mulai terbuka. Tanpa menunggu lagi, dalam gerakan cepat, Shana berlari keluar melewati pria itu. Pria yang diketahui bernama Adit itu hanya terdiam dan masih menatap terkejut melihat Shana secepat kilat melewatinya hingga kini pintu lift tersebut sudah tertutup dengan sempurna. Wanita itu menghela napas lega, dan mulai melangkahkan kakinya menuju kamar perawatan ibunya. Ada sedikit rasa sesal saat bertemu dengan Adit yang tak lain adalah mantan tunangannya. Ya ... Shana Abila sempat bertunangan saat usianya menginjak dua puluh empat tahun, dan tepat satu tahun yang lalu, sana memutuskan pertunangannya bersama seorang pria bernama Aditya Argasa. Selama tiga tahun bertunangan, pria itu selalu berlaku kasar dan sangat over protektif terhadap Shana. Sangat sering Shana mendapat perlakuan kasar darinya. Bahkan suatu hari, pria itu pernah memukul Shana hingga wanita mungil itu terpental menabrak pilar dinding dan tak sadarkan diri. Tak pernah sedikitpun, Shana mendapat kebebasan selama berhubungan dengan Adit. Dan selama tiga tahun itu juga, Shana tak pernah mendapat kebahagiaan layaknya seorang pria dan wanita yang saling jatuh cinta. Melihat Adit, membuat Shana kembali teringat perlakuan Adit saat itu, dan tanpa ia sadari perasaan yang selama ini dia tutup dan ia kubur rapat-rapat kembali terbuka. Rasa sakit dan penghianatan mulai kembali membuat rasa sesak didadanya. Shana menghentikan langkahnya sesaat, memegang kuat pada besi penghalang dan memukul berkali-kali dadanya agar rasa sesak itu hilang. "Shana ... itu masa lalu, udah cukup kamu terluka. Cukup Shana, cukup!!"  tekan Shana frustasi pada dirinya sendiri. Tepat saatia sedang menetralkan perasaannya, tiba-tiba ia melihat beberapa perawat dan dokter yang menangani ibunya berlarian dan masuk ke kamar perawatan sang ibu. Shana seketika berlari hingga dirinya menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar perawatan. Pandangannya seketika kosong. Tatapannya tertuju pada ibunya yang sedang ditangani oleh dokter dan beberapa perawat. Wanita itu berjalan masuk dengan langkah yang gontai. Salah satu suster yang melihat kedatangan Shana berjalan menghampirinya dan memeluk wanita itu. "Kenapa ibu, suster Sena?" tanya Shana dengan suara parau. Suster Sena terdiam dan memeluk tubuh Shana yang terasa bergetar. "Dokter Rico sedang melakukan yang terbaik sama ibu." Tutur Suster Sena berusaha memberi semangat. Setelah melakukan beberapa kali CPR, dokter Rico menghentikannya dan melihat bedside monitor yang terhubung dengan pasien lalu menghembuskan napas lega. Bedside Monitor berfungsi untuk memonitor tanda vital pasien. Dimulai dari detak jantung, nadi, tekanan darah, dan temperatur bentuk pulsa jantung secara terus menerus. Dan dalam Bedside Monitor tersebut, semua tanda vital ibu Shana terlihat mulai normal. Dokter Rico menyuntikkan berupa obat kedalam infusannya lalu berjalan mendekat ke arah Shana. "Kita hanya perlu berdoa untuk kesembuhan ibu iya Shana," ujar Dokter Rico. Shana hanya mengangguk lemah. Pandangannya seketika kabur, tertutup air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. *** Flashback "Shana, kamu gak akan ikut? Yakin?" teriak Mira, ibu Shana. Shana yang sedang menikmati hari liburnya hanya menggeliat diatas tempat tidur dan kembali menarik selimutnya. Bruk ... Terdengar suara pintu kamar dibuka. Shana seketika membuka matanya dan dan menoleh ke asal suara dengan memeberi tatapan tajam pada sang adik. "Kak mau ikut gak? Ibu sama Aya udah siap!" tanya Shaka adik Shana. "Gue gak ikut!! Gue pengen istirahat, tiga hari gue lembur di tempat kerja, hari ini gue pengen tidur dan hidup bagai manusia seutuhnya!" Sahut Shana dengan nada ketus. Shaka yang sudah sangat tahu bagaimana sifat kakaknya itu tak banyak berbicara lagi. Ia menutup kembali pintu kamar, dan berjalan meninggalkan kamar Shana. Mira yang melihat raut wajah Shaka seketika menghela napas panjang. "Pasti kakakmu gak mau ikut!" tebak Mira. Shaka mengangguk sebagai tanda jawaban. Sedangkan Roni, ayah Shana, baru saja keluar dari dalam kamarnya dan berjalan menghampiri Mira yang sedang memasukkan makanan bekal untuk mereka. "Biar saja lah bu ... Shana mungkin lelah setelah beberpaa hari lembur dan gak tidur. Dia pasti udah mendambakan hari liburnya buat d tidur seharian di rumah." timpal Roni. Mira hanya mendelik pada Roni. "Ayah, selalu saja bela Shana!" gerutu Mira. Roni tak menghiraukan gerutuan sang istri, ia justru segera mengambil kunci mobil di atas kulkas lalu berjalan keluar rumah. "Ayah tunggu di mobil iya, kalian jangan lama-lama, nanti keburu siang." Mira pun bergegas menyelesaikan kegiatannya, menutup tempat makan dengan rapat lalu menjinjing tas dan kantung plastik hitam bawaannya. "Shana ... makanannya udah ibu pisahkan iya. Kalau udah dingin. tinggal angetin aja. Ibu, ayah sama Shaka pergi sekarang!!" pekik Mira. Tak ada jawaban apapun dari dalam. kamar Shana. Mira menggelengkan kepalanya seraya menutup pintu rumah sesaat setelah Shaka keluar dari dalam. Mereka berdua menuruni tangga menuju lantai satu. Disana, mobil sedan corolla tahun 1996 berwarna silver sudah terparkir tepat di depan pintu gerbang keluar rumah s**u. tersebut. Ayah sudah siap duduk di balik kemudi seraya menghangatkan mesin mobilnya. Ibu membuka pintu mobil bagian belakang, Shaka lebih dulu masuk dan menaruh barang bawaan mereka disisi tempat duduk Shaka. Setelah selesai, Mira kembali menutup pintu bagian belakang mobil dan membuka pintu sisi penumpang di bagian depan lalu masuk dan duduk disana. "Shana gak akan apa-apa gitu yah kita tinggal?" tanya Mira dengan nada khawatir. Wanita itu pun menutuo kembali pintu mobil. Sedangkan Roni kini mulai melajukan mobilnya keluar dari pelataran parkir rumah susun yang mereka sewa. "Shana sudah besar bu, bukan anak bayi lagi. Dia bisa jaga dirinya sendiri." sahut Roni. "Bagi ibu, Shana dan Shaka tetap seorang anak bayi yah walaupun mereka sudah besar!" timpal Mira. "Bagaimana jika kita meninggal bu? Shana sudah pasti harus bertahan hidup sendirian. Jangan terlalu memanjakan anak-anak lah bu. Mereka sudah waktunya hidup mandiri!" ujar Roni. "Ayah nih iya, paling susah kalau dikasih tau. Selalu jawab dengan komentar menyebalkan!" gerutu Mira. Sepanjang perjalanan, mereka tak membahas apapun lagi. Roni terfokus pada jalanan di depannya, Shaka dengan games di ponselnya dan Mira dengan pikirannya. "Ibu kepikiran Shana terus yah." Celetuk Mira. "Ya sudah, ibu tunggal telepon aja Shana. Anak gadis masih aja di khawatirkan." Mira hanya mendelik sebal pada Roni yang terus menyepelekan perasaannya. "Bagaimana jika Shana nanti menikah dengan Adit? Apa ibu akan terus mengikuti dan menghubungi Shana setiap saat? Shana gak akan kenapa-kenapa kok bu. Lagian ada Adit, tunangannya yang bakal jagain dia. Ibu tenang aja." Timpal Roni lagi. "Shana baru tunangan seminggu yang lalu ayah, masih jauh buat mikirin pernikahan!" Sergah Mira. "Bagaimana jika Adit mengajak Shana menikah bulan depan?" tanya Roni lagi. "Jangan harap ibu merestuinya!" ketua Mira seraya mendelikkan matanya. *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN