SWY- 5

2383 Kata
.Yulia. Perihal pasangan, takdir selalu punya banyak cara untuk menjauhkan yang dekat, dan mendekatkan yang jauh. . . “Jalan masih padat saja ya, padahal ini sudah malam.” Rian sejak tadi berusaha bangun obrolan dengannya, lelaki itu fokus menyetir untuk mengantarkan Lia pulang. Lia pernah diantar Artara Rashid, saat itu Lia sudah merasa canggung dan ternyata saat bersama Rian di dalam mobil mewahnya sungguh membuat Lia merasa lebih dari canggung. Dia sudah berusaha menghindari Rian, cukup ada di batas kenal, Lia tak mau berurusan dengan lelaki berbeda sosial. Dia lalu meyakini diri, hanya hari ini saja terima tawaran baik Rian, setelah ini Lia akan cari cara untuk menjauh. “Besok weekend, wisatawan dari luar banyak yang liburan ke Bandung.” Jalanan di kota kembang akan semakin padat jika akhir pekan. Mobil-mobil bernomor dari daerah lain memenuhi jalan. Rian terkekeh, “Astaga saya nggak ingat besok weekend. Pasti kota kita jadi semakin ramai.” “Ya, jadi tujuan wisata terdekat warga Jabodetabek, kalau nggak ke Bandung pasti puncak, Bogor jadi tujuan.” Walau awalnya canggung ada diantara mereka, perlahan Lia mulai santai seiring obrolan terjadi. Jujur saja, Lia tak pernah menyangka akan kenal dengan Rian Hermawan bahkan sampai berada di posisi lelaki itu mengantarnya pulang. Lia berharap ibunya tak melihatnya nanti, pasti akan bertanya tentang Rian. Perkenalan itu terjadi karena mereka tak sengaja kenal, terjadi karena Lia lebih dulu kenal Artara Rashid dan saat itu menyapa ketika bertemu di salah satu resto dan sedang bersama Rian. Tidak sangka jika Rian akan sering berada di sekitarnya. Sepanjang jalan Lia pun merasakan Rian sering mencuri tatap padanya, sementara Lia berusaha menjaga pandangan untuk tetap melihat jalan di depannya atau pada luar dari jendela sisinya, terpenting tidak menatap ke Rian. “Lia, kamu kenal Tyas sudah lama?” tanya Rian lagi, mengganti topik pembicaraan mereka. Lia mengangguk, “Lama banget, bertahun-tahun sejak sama-sama kerja di BM Hotel.” Tyas Larasati Rashid adalah sahabat terbaiknya. Rian tersenyum kecil, “Hm, kamu tahu kalau saya dan Tyas hampir di jodohkan?” Pertanyaan Rian kali ini membuat Lia akhirnya menoleh, bertepatan dengan Rian juga menatapnya. Lia dengan cepat mengalihkan tatapan kembali ke depan. “Ya, Tyas pernah cerita.” Lalu Lia berpikir, jika perjodohan itu berhasil mungkin Rian yang akan jadi suami dari sahabatnya, namun dalam hidup ada beberapa hal yang ditakdirkan tidak terjadi. Rian malah berada bersamanya sekarang, mengantar dia pulang ke rumah. “Kami bukan jodoh, meski orang tua kami sudah berencana.” Lia mengangguk, “Humans can only plan but Allah decides. Pasti Allah punya rencana besar lainnya untuk setiap rencana kita yang gagal.” Rian sangat hafal jika Lia punya suara yang begitu lembut, namun, mendengar kalimat-kalimat itu diucapkan terdengar sangat pas dan indah. Rian menoleh lagi, dia tersenyum. “Dan pasti Allah telah menetapkan takdir yang indah untuk saya.” Balasnya, Lia merasa tertarik sekali lagi untuk menoleh pada Rian. Lia merasakan makna lain dan ada tujuan dari ucapan lelaki itu. Lalu dia terdiam saat tatapan mata mereka terkunci. “Astagfirullah!” ucap Lia pelan saat sadar dirinya tak seharusnya begitu, dia harus menjaga pandangannya. Lia buru-buru memalingkan wajah, meski tak bisa mencegah pipinya bersemu merah. Lia berharap cepat sampai ke rumah, karena bagaimana pun berdua di dalam mobil dengan Rian yang tak ada hubungan darah apa-apa dengannya, tidak baik. Lia takut akan menimbulkan fitnah. “Lia, boleh saya minta nomor ponselmu?” tanya Rian lagi, lebih berani. Lia langsung mengerutkan kening, “nomor saya?” Rian mengangguk, “kita sudah kenal, menurut saya wajar saja jika kita saling bertukar nomor ponsel.” Lia tak punya pilihan untuk menolak dan memberi kartu namanya pada Rian. Lia baru bisa bernapas lega saat akhirnya mobil masuk ke wilayah tempat tinggalnya, rumahnya sudah terlihat. “Rumah berpagar putih.” “Yang itu?” tunjuk Rian. Lia mengangguk, “Ya.” Rumah satu lantai yang sederhana, dengan halaman kecil di belakang dan sedikit tempat mobilnya parkir di bagian depan. Bercat putih. Mobil berhenti tepat di depan rumahnya, “Terima kasih sudah mengantar saya sampai rumah.” Rian mengangguk, “Saya jadi tahu rumah kamu.” ucapannya terlalu jujur. Lia tak mau tertahan semakin lama dengannya, jadi dia segera akan melepaskan seatbelt yang memeluk tubuhnya. Namun, kendalanya kembali hadir saat Lia tak bisa melepaskannya. Sepertinya kunci pada seatbelt macet. Rian memerhatikan, “Macet?” Lia mengangguk, sekali lagi mencoba untuk melepas tapi begitu sulit. Rian Refleks melepas seatbelt dirinya dulu dan akan bergerak mendekati Lia. “Jangan! Hm sori, saya nggak nyaman kalau terlalu dekat.” Tangannya bahkan terangkat menghentikan Rian sebelum lelaki itu mengikis jarak mereka. Rian mengaruk tengkuknya. “Sorry, kamu tunggu sebentar. Biar saya bantu.” Katanya lalu bergegas membuka pintu, Lia memerhatikan dia yang berlari kecil memutar sampai pintu di samping Lia terbuka. Rian berdiri di pintu dan membantu Lia melepaskan seatbelt dan terlalu mudah untuk lelaki itu karena sekali coba langsung bisa. Saat itulah Lia tak sengaja menatap sebuah tato kecil berbentuk bintang di dekat nadi tangan kirinya. Lia baru mengetahui jika Rian memiliki tato. Itu memang hak Rian menentukan prinsip hidupnya, Lia tak ingin menghakimi meski keluarga Lia jelas tak ada yang diperbolehkan bertato, orang tuanya sejak dia kecil telah menanamkan ajaran agama, Lia jelas tahu jika menato bagian tubuh mana pun tidak di perbolehkan. Keluarganya tak ada yang bertato, termasuk Saddam, meski nakal. “Terima kasih sekali lagi. Saya nggak bisa menawarkan untuk masuk dulu ke rumah karena ini sudah malam.” Ucap Lia, Rian memberi ruang untuknya turun. Brak! Pintu mobil segera di tutupnya. “Saya mengerti, nggak apa-apa. Saya langsung pulang.” Rian akan berjalan masuk lagi ke mobil tepat ketika lampu dari motor menyorot mereka. Motor berhenti di depan gerbang, disisi sehingga tak menghalangi mobil Rian. Lia menghela napas melihat ternyata adiknya, Saddam. Adik laki-lakinya itu segera turun dari motor, melepas helm dan menghampiri kakaknya dengan jenis tatapan mengintai bagai elang menatap Rian. Sikap siaga seperti ini selalu di tunjukan Saddam jika ada laki-laki yang mendekati Lia. Saddam memberi salam lebih dulu, “Siapa, teh?” tanyanya kemudian, wajah Saddam begitu datar. Lia menarik adiknya untuk berdiri di sisinya, dia menyelipkan tangan di lengan Saddam. “Rian, ini adik laki-laki saya dan Saddam, ini teman teteh.” Rian mengangsurkan tangan untuk memperkenalkan diri, Saddam diam menatap berani pada Rian. Lia segera mendekat, “Jangan kayak begitu, dam.” Bisiknya memperingati. Lia merasa sangat tak enak hati pada Rian yang sudah mengantarnya. Saddam menurut, dia menghela napas. “Rian Hermawan, kan? saya salah satu peserta seminar umum besar di kampus beberapa minggu lalu saat Anda mengisi narasumber di sana.” “Kamu mahasiswa di sana?” Rian tetap formal meski Saddam memakai sebutan tak formal. Saddam mengangguk, “Teknik sipil.” Rian tersenyum, jiwanya yang sudah terbiasa menghadapi segala macam kasus di persidangan, Lia jelas tahu tatapan sok sangar adiknya tak akan membuat Rian terintimidasi. Lalu Rian menatapnya, Lia tak bisa membaca maksud dari tatapan lelaki itu. “Kebetulan sekali.” Entahlah, karena semua yang terjadi tak bisa disebut kebetulan melainkan sudah ditakdirkan. *** “Teh, kok bisa kenal sama lelaki itu?” Saddam terus bertanya sesampainya mereka di dalam rumah. Lia menghentikan langkahnya, “pertanyaan kamu ini aneh.” Lia tak mau menjawab. “Rian Hermawan jelas bukan dari kalangan biasa.” “Kamu jangan berpikir terlalu jauh. Teteh juga tahu itu, kamu tenang aja.” “Bukan begitu.” Saddam terdiam, sebagai laki-laki bisa menilai jika ada maksud dari Rian pada Yulia. “Udah ah, teteh mau mandi. Kamu sih jemputnya lama!” Omel Lia kembali meneruskan langkah. Ibunya tak terlihat, pasti sudah tidur. “Teteh...” panggil Saddam lagi saat Lia sudah di depan pintu kamar, Lia langsung menoleh. “Apa lagi, dam?” Saddam menatap Lia dengan serius. “Jangan berurusan sama laki-laki seperti Rian Hermawan, strata sosial di negara kita sangat dilihat oleh masyarakat. Aku cuman nggak mau kalau potensi sakit hati teteh pun lebih besar dibanding saat Aa Farhan meninggalkan teteh.” Farhan Putra, lelaki yang selangkah lagi akan menikahinya tapi pilih mundur saat tahu keluarga Lia waktu itu kesulitan finansial, dililit hutang sampai harus menjual rumah pertama mereka dan sisa uangnya setelah hutan lunas di belikan rumah sederhana yang di tempati sekarang. Farhan bukan dari keluarga yang sangat kaya, dia hanya seorang pegawai negara yang bekerja di kantor imigrasi, cukup mapan. Jika lelaki seperti Farhan saja bisa menyakitinya, apalagi Rian Hermawan yang berpotensi lebih besar untuk membuatnya sadar posisi dia tak sebanding dengannya. Lia paham itu yang ditakutkan Saddam. Lia menghela napas, “kami hanya kebetulan kenal, dam. Teteh nggak akan memberikan hak pada Rian untuk menyakiti hati teteh apalagi menyakiti keluarga kita.” Ya, Lia akan menjaga jarak. Tak akan biarkan langkah Rian semakin mendekat padanya. Sayang, sepertinya Lia harus berusaha keras menjauh dari Rian ketika dia keluar kamar mandi, masih memakai handuk, langkahnya terhenti mendengar ponselnya berdering. Panggilan dari nomor tak di kenal. Lia menatap lebih dulu sederet nomor tertera di layarnya, barulah dia menggeser tombol hijau untuk menjawab. “Assalamualaikum, Lia. Ini Rian. Sekarang, kamu bisa menambahkan nama saya di daftar kontak teleponmu.” Ujarnya. Lia memejamkan mata, baru ingat jika tadi telah memberi kartu nama berisi nomor ponsel pribadi pada Rian. *** Setiap nama Farhan Putra di ungkit, Lia akan merenung bukan karena dia belum terima semua kejadian di masa lalu, mengikhlaskan jika Farhan bukan jodoh pilihan Allah untuknya. Sekuat apa pun dan masa sulit itu sudah berhasil dia lewati, tetap saja Lia tak akan mudah menganggap semuanya tak pernah terjadi. Rasa kecewa akan membekas melebih emosi sesaat yang langsung meledak. Dia berbaring di atas ranjang, hari sudah semakin malam. “Maafkan aku, Lia. Aku nggak bisa meneruskan rencana pernikahan ini. Kamu sangat tahu jika restu orang tua sangat penting untuk langkah kehidupan ke depan nanti. Jika kita tetap menikah, aku nggak bisa di tempatkan pada posisi harus pilih kamu atau ibuku.” Kalimat keputusan Farhan saat itu membuat Lia sangat terluka. Lia tahu jika orang tua Farhan tidak terlalu menyukainya, terlebih karena Lia tulang punggung keluarga. Lalu saat itu Farhan sendiri yang tetap mempertahankan hubungan mereka, dan ketika Lia yakin justru lelaki itu mundur, tak lama Lia mendengar bahwa Farhan sudah menikah dengan wanita pilihan orang tuanya. Meski kejadian itu sudah berlalu, dan Lia tegar setiap kali berpapasan dengan Farhan tanpa sengaja. Tetap saja, air mata Lia terjatuh masih merasakan sesak karena telah mengantungkan harapan besar pada lelaki itu. Keluarganya pun ikut kecewa dan terluka atas keputusan gagalnya rencana pernikahan Lia, di tambah tak sedikit orang lain yang lebih sok tahu ikut menghakimi dengan sindiran dan prasangka yang menjatuhkan mental Lia, apalagi dia baru kehilangan ayahnya. Untung saja, Lia punya ibu dan adik kembarnya, keluarga yang menjadi kekuatan Lia untuk melewati setiap luka hingga bahagia itu kembali hadir dan mereka perlahan mulai pulih. Lia tak mau lagi berurusan dengan laki-laki yang malah akan menimbulkan luka baru padanya dan keluarganya. Sejak itu juga memercayai lelaki mendekatinya jadi sulit. Lia akan menggertak mundur dengan kenyataan bahwa menikah dengannya harus terima kondisi keluarga dan dia sendiri adalah tulang punggung, dan pendidikan sampai pastikan adik-adiknya sukses, barulah Lia bisa tenang untuk jalani hidupnya sendiri. Apalagi seorang perempuan ketika sudah menikah, prioritasnya jelas tak bisa bebas seperti masih sendiri. Lia harus menurut pada suaminya. Semua ini adalah pertimbangan yang membuat Lia masih betah sendiri sampai usianya sekarang ini.  *** “Hani, saya datang agak siang, pastikan pesanan semua terpenuhi ya.” Lia mengimpit ponsel dengan bahu, lalu dia mengambil tas dan berjalan keluar kamar. Hari ini jadwal check up ibunya yang punya riwayat lambung kronis, beberapa hari lalu sempat kambuh dan dokter menyarankan Lia untuk membawa ibunya kembali check up jika obat sudah habis. Dia pasti akan datang ke toko terlambat. Setelah memastikan Hani siap bertanggung jawab, Lia mematikan panggilan. Ibunya sudah menunggu, sementara adiknya Saddam sudah pergi sejak tadi. Setiap Sabtu pagi adiknya punya kegiatan mahasiswa, tergabung dengan mahasiswa pencinta alam. Sudah banyak gunung di Indonesia di datangi atau panjat tebing. “Saddam terlalu banyak main-main, kapan serius sama kuliahnya!” Ibu mulai mengeluhkan anak laki-lakinya. Lia membawa mobil, “Pasang seatbelt-nya, Bu.” “Udah.” Setelah memastikan, mobil mulai melaju. “Jangan terlalu dipikirkan, jika sudah waktunya juga kuliahnya pasti selesai.” “Kamu terlalu manjakan Saddam, harus tegas.” Protes ibunya. “Di tegaskan juga malah capek sendiri, Bu.” Ibunya menghela napas, “kalau kuliahnya cepat selesai, tanggung jawabmu pada adik-adik sudah selesai. Kamu bisa fokus menata masa depan, selagi ibu ada, ibu mau lihat kamu berumah tangga, biar kalau besok lusa Ibu nggak ada umur, bisa tenang.” “Ibu bicara apa sih? ingat kata dokter, penyakit lambung ibu kambuh karena pikiran juga.” Lia tak pernah menganggap keluarganya beban, sebagai anak sulung, rasa tanggung jawab itu sudah mendarah daging. Ibunya menghadap Lia, menatap serius. “Saddam cerita ke Ibu, semalam kamu diantar laki-laki. siapa ya namanya, duh kok ibu lupa.” Lia langsung menoleh, tak menyangka adiknya akan cerita pada ibunya. “Oh iya, Rian Hermawan. Kok kamu nggak kenalkan sama Ibu.” lanjut ibu ketika sudah mengingatnya. Sejak kapan ibunya jadi menggebu-gebu membicarakan pernikahan Lia, karena selama ini ibunya tak pernah menuntut. “Ibu pasti dengar omongan para tetangga, ya?” tanya Lia, dan tak mau membahas tentang Rian. Ibunya tak bisa berbohong, satu helaan napas panjang menjadi pembenaran. “Mereka ada benarnya, seharusnya kamu nggak terlalu keras pada dirimu. Bagaimana jika sampai terlewat—“ “Bu, semua sudah diatur sama Allah. Nggak ada kata terlewat jika memang belum waktunya.” Lia percaya itu. “Kamu nggak trauma karena masa lalu, kan?” Lia menggeleng, “Nggak, Lia baik-baik saja. Ibu nggak usah khawatir.” Ucapannya sangat meyakinkan ibunya. Wanita paruh baya tersebut tersenyum, “Syukurlah.” “Udah ibu jangan banyak pikiran macam-macam, fokus saja sama kesehatan ibu.” “Iya, Lia. Hm tapi Ibu serius lho.” “Serius apa, Bu?” Lia tetap berkonsentrasi dengan kemudi, sesekali menoleh pada ibunya. “Ya itu, kenalkan Ibu sama Rian. Kalau bisa jangan lama-lama, minta Rian untuk segera melamarmu ke Ibu.” “Ya Allah, Bu. Aku sama Rian cuman kenal biasa.” Bantah Lia cepat. Dia akan beri pelajaran pada Saddam nanti, entah apa yang telah dikatakan sampai ibunya bicara begitu. Padahal semalam Saddam memperingatkan Lia untuk tak dekat dengan Rian, tahunya malah cerita ke ibu. [to be continued]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN