SWY- 3

2040 Kata
.Lia. “Lemah di hadapan sesama manusia, hanya akan mendapatkan prihatin. Tapi, berserah diri pada Allah, akan mendapat kekuatan untuk bertahan lewati setiap ujian.” . . Cukup Hidupnya berada dibatas serba cukup, menjadi tulang punggung keluarga telah Lia jalani sejak ayahnya sakit komplikasi hingga harus cuci darah. Ujian silih berganti datang seakan tak berhenti menghantam. Biaya pengobatan ayah, kebutuhan sehari-hari keluarga, biaya sekolah adik kembarnya, hutang sana-sini. Dia harus memutar otak dan mencari cara agar pendapatan dari gajinya dulu cukup merangkap semuanya, ayahnya dapat pengobatan dan keluarga tak sampai kelaparan. Yulia dulu sering menyalahkan diri sendiri untuk ke tidak mampunya, berharap dirinya punya uang banyak—ratusan juta atau bahkan milyaran—agar keluarganya bisa keluar dari kesulitan. Lantas mengeluh pada sesama manusia pun hanya akan dapat tatapan prihatin, mereka tak ada bedanya pasti punya masalah dalam hidup. Tentu menyalahkan diri sendiri, meratapi kesulitan hanya akan membuat pikiran semakin rumit, beban terasa berat. Lagi pula semua yang terjadi di luar kuasanya sebagai manusia. Lalu Lia tahu satu-satunya tempat paling tepat untuk berkeluh kesah, pada Allah semata. Jika pun Allah memberinya sebatas kata cukup, tak berlebih seperti yang di harapkan, Lia takut dirinya akan berhenti bersyukur dan merasa lebih dari orang lain. Lagi pula seberapa banyak uang yang di miliki, tak lantas membuat ayahnya mengingkari waktu yang telah Allah tetapkan untuk batas tinggal di bumi ini. Lia menatap gambar Kabah di sajadahnya, dia baru saja selesai salat magrib. Dia tiba-tiba teringat ucapan ayah sebelum tiada. Lia merindukan mendiang ayahnya.  Semua yang terjadi ini sudah ketetapan Allah, diluar batas kemampuan kita sebagai manusia. Ayah ikhlas dan kamu pun harus Ikhlas. Yakin saja jika kita sudah benar berada di jalan Allah, kita tak akan tersesat. Jika suatu hari nanti kamu dilema untuk setiap masalah yang datang, ingat kata-kata ayah ini... Lemah di hadapan sesama manusia, hanya akan mendapatkan prihatin. Tapi, berserah diri pada Allah, akan mendapat kekuatan untuk bertahan lewati setiap ujian. Nasihat yang terus Lia ingat sampai saat ini, ketika dirinya menghadapi kenyataan yang tak seindah harapan. Belum lagi mengalami patah hati di waktu bersamaan, kekasih yang telah berjanji akan menikahinya malah mundur perlahan saat tahu beban hidup Lia terlalu berat. Sekarang Lia bersyukur tak jadi menikah dengan laki-laki yang bersikap pecundang seperti itu. Lia tidak berharap dapat di pertemukan laki-laki dengan harta berlimpah, Lia hanya berharap di pertemukan dengan laki-laki yang jadi jodohnya, mau menerima keluarganya seperti keluarga sendiri. Tok... tok... tok... “Teh Lia, kata Ibu makan malam sama-sama.” Adik bungsunya, Saddam muncul setelah mengetuk pintu. “Iya, Sebentar rapikan mukena dulu.” Saddam mengangguk, “Teh Lia...” panggilnya Ragu. Diantara dia dan adik kembarnya, Safa dan Saddam, Yulia lebih mengambil paras ayahnya, sedangkan adik kembarnya ke Ibunya. Usia mereka terpaut sangat jauh, sepuluh tahun. Mereka masih menyelesaikan kuliah akhir. Meski kembar karakter mereka sangat berbeda. Jika Safa dapat beasiswa mengambil pendidikan di bidang teknologi pangan di IPB Bogor maka Saddam mengambil teknik sipil di universitas swasta kota Bandung. Safa sudah sidang skripsi sedangkan adik laki-lakinya ini masih harus mengulang beberapa mata kuliah. “Kalau panggil nama terus tatapan mata kamu nggak berani menatap mata kakak, pasti kamu punya salah!” Saddam, adik laki-lakinya yang berambut gondrong sebahu itu menyengir hingga wajahnya yang memang tampan, semakin manis dengan lesung pipinya yang dalam di sebelah kiri. Lia sudah bosan minta adiknya memangkas rambut, dia masih toleransi selama adiknya tidak mendekati hal-hal tak di perbolehkan agama. Misalnya alkohol, narkotika dan tato di tubuhnya. Sejauh ini Saddam nakal yang masih dibatas wajar. “Nggak selalu habis buat salah, teh.” Dia mengelak. Lia melepas mukena, dan melipatnya dengan rapi. Jika berada di dalam rumah, hanya ada keluarganya, Lia tak memakai hijab, lain jika ada orang luar. “Terus mau minta uang jajan lebih?” “Hehe... nggak teh justru mau kasih solusi buat teteh biar Saddam nggak menyusahkan terus.” Yulia mengerutkan kening, “Mau kerja?” Bukan kali ini Saddam mencoba dapat ijin dari Lia untuk bekerja. Saddam mengangguk, “Boleh ya, teh. Bantu teman di bengkelnya.” “Nggak! Teteh udah bilang ke kamu, boleh kerja nanti setelah kuliahmu selesai.” katanya tegas. Saddam berbeda dengan Safa, Lia tak keberatan Safa pilih ambil beberapa kerja paruh waktu karena adik perempuannya akan bisa menjalani keduanya, pendidikan dan bekerja. Tapi, jika Saddam, bisa-bisa keburu di keluarkan dari tempat kuliah jika sambil bekerja. Sekarang saja, Lia minta hanya fokus pada pendidikan, Saddam tak bisa lulus tepat waktu dan nilainya berantakan. “Yah, teteh.” Dia merajuk, meski Saddam laki-laki, dia anak bungsu yang lebih manja darinya juga saudari kembarnya. “Ibu kasih ijin, nggak?” “Nggak.” Lia tersenyum, berdiri di hadapan adiknya. “Kalau ibu kasih ijin, kakak pasti kasih ijin.” “Aku cuman mau bantu meringankan beban teteh.” Yulia menghela napas, “Kamu bukan beban, kalau pun mau bantu cukup fokus kuliah, kejar nilai-nilai tertinggal dan segera selesaikan kuliahmu.” “Aku satu-satunya laki-laki di keluarga ini, harusnya aku yang jadi tulang punggung keluarga bukan teteh.” Lia bisa mengerti jika Saddam sangat sayang padanya. “kamu bisa jadi tulang punggung keluarga, bila kamu sudah siap. Sekarang kamu cari ilmu yang benar dulu.” “Teh—“ “Ingat pesan ayah, kan? Ayah mau anak-anaknya kuliah, bukan untuk teteh atau pun Ibu. Tapi, semua yang kamu kerjakan hari ini, untuk kamu sendiri yang akan menikmati hasilnya.” Lia mencoba memberi Saddam pengertian. Dia menghela napas, mencerna ucapan kakak tertuanya. “Saddam akan selesaikan kuliah, setelah itu Saddam akan buat Teteh dan Ibu bangga.” Yulia memeluk adiknya, Saddam memang belum jadi tulang punggung keluarga tapi Lia bersyukur memiliki Saddam, dia menjaga semua anggota keluarga dengan caranya setelah ayahnya tiada. Jika dia atau Safa menikah, perannya sebagai wali penganti Ayah paling utama. Dengan caranya tersendiri, meski Lia tulang punggung keluarga, Saddam tetap paling terdepan melindungi keluarga sebagai anak laki-laki satu-satunya penganti ayahnya. “Teteh dan Ibu pasti bangga punya kamu dan Safa. Kalian harus berusaha dan berdoa.” sekarang Lia ada untuk mereka, di masa depan nanti mereka harus berjalan dengan usahanya sendiri. “Iya, teh.” Yulia menarik diri, menata adiknya curiga. “kamu nggak salat magrib ke masjid tadi?” Saddam mengaruk tengkuknya yang tak gatal, “Saddam udah salat magrib ko, teh.” Jawaban aman yang dipilihnya. Lia menghela napas, “Salat berjamaah di Masjid pahalanya lebih banyak.” “Iya teh, Isya nanti aku salat ke masjid deh.” "Dasar gondrong, alasannya banyak kalau salat ke masjid." Omel Lia sengaja menarik rambutnya. Adiknya hanya menyengir lebar. *** Menu sederhana masakan ibu di rumah tak ada duanya, meski di luar sana banyak yang enak. Lia bersyukur dari segala serba cukup di hidupnya, dia punya keluarga yang selalu ada untuknya. Setiap hari, di meja makan akan ramai dan hangat. Makan sembari saling bertukar cerita setelah seharian sibuk dengan aktivitas masing-masing. "Sayur asem ibu memang paling best!" Ungkap Lia, ibunya tersenyum. "Ayo tambah lagi, masih banyak." "Safa udah kangen masakan ibu." Tambah Saddam, dia baru saja bertelepon dengan kembarannya. "Sebentar lagi juga dia pulang." Balas Ibu. Kalau tak ada halangan, kuliah Safa sudah selesai tinggal menunggu wisuda. Dia akan kembali ke rumah dan akan lengkap. "Safa sudah selesai, tinggal kamu." Lanjut Ibunya. Saddam tersenyum, "akhir tahun ini Saddam janji selesaikan kuliah." "Ya harus, kalau kamu makin lama, Ibu akan minta teh Lia untuk berhenti membiayai kuliah sama jajanmu. Kasihan lho sama teh Lia, kalau udah punya suami masa kamu mau minta sama suaminya. Malu." "Bisa aja bu, siapa tahu Teh Lia dapat suaminya yang turunan sultan. Crazy rich kayak yang lagi rame itu. Hidup kita pasti terjamin. Aduh!" Lia mencubit gemas tangan adiknya. "Doamu jelek itu, tujuannya mau menumpang hidup. Allah nggak akan kabulkan." Cibir Lia pada adiknya. Saddam tertawa, "Mana ada yang tahu hidup di masa depan kita seperti apa, iya kan bu?" Ibu menggeleng kecil, melihat perdebatan hangat antara anak-anaknya. Lalu mata tuanya menatap penuh harap pada Lia, anak sulungnya. Tangannya terulur menyentuh punggung tangan Lia. "Ibu nggak minta yang muluk-muluk sama gusti Allah, terpenting teh Lia punya suami yang sayang sama dia." Lia membalas senyum ibunya, dari setiap masalah yang ada, keluarga terutama orang tuanya adalah kekuatan untuk Lia bisa bertahan. Lia akan lakukan apa pun, kerja siang malam yang penting halal untuk keluarganya meski kini sudah tak lengkap karena Ayahnya telah tiada. "Amin, suami Lia nanti juga sayang sama Ibu seperti ibunya sendiri." Lia mengamini. Suasana seperti ini selalu membuatnya sendu, ibu memang tak pernah menuntut Lia untuk segera menikah meski usia Lia sudah dianggap rawan. Ya, perempuan selalu dianggap masyarakat punya usia kadaluwarsa, jika terlalu matang usia akan sulit punya anak. Lia tak akan risau, karena dia percaya semua yang terjadi dalam hidupnya atas kehendak Allah. Jika di usianya sekarang belum bertemu jodoh, Lia yakin ada rencana indah yang sedang Allah persiapkan sekaligus Lia memantaskan diri dulu, terutama memperbaiki ibadahnya. *** Yulia tersenyum puas pada beragam kue tradisional yang sudah Ready untuk di jual hari Jumat ini. Dia membuat kue lebih banyak dari hari biasa, setiap hari Jumat tokonya mengadakan diskon harga, sedekah itu banyak bentuknya, salah satu yang Yulia yakini adalah caranya ini. Karena diskon ini, biasanya pembeli akan lebih banyak dari hari lainnya. Usaha kue tradisional di pilih karena Lia sangat suka membuat kue, kebetulan latar belakang pendidikan di bidang kuliner. Pengalaman bekerja di beberapa resto dan terakhir di Hotel BM, membuat Lia berani menjalani bisnis ini dengan modal seadanya, bahkan sebelum ada toko sistem marketing dari mulut ke mulut, dari pertemanan sampai semakin banyak dan Lia punya cukup modal sampai menyewa ruko, dan setahun ini ruko sudah di belinya. Lia percaya jika ada kemauan, usaha dan doa pasti hasilnya tak akan mengingkari. “Bu, pesanan nasi padangnya tujuhpuluh bungkus sudah datang.” Beritahu salah satu karyawan toko, Toni. Lia melepas apron yang melekat di tubuhnya, kue-kue di tokonya tidak di kerjakan sendiri. Lia akan kewalahan membuat ratusan kue setiap jenisnya, dia di dapur membantu dan mengawasi sepuluh pekerja yang dimiliki toko saat ini. “Di lanjut, ya teh Hani.” Lia minta salah satu pekerja seniornya mengawasi yang lain. “Ya, bu.” “Hari ini makanannya mau di bagikan ke mana, bu?” tanya Toni. “Sekitar toko saja, nanti kamu sama Ridwan bantu saya.” “Siap, bu!” “Pastikan untuk makan siang karyawan toko cukup.” Toni tersenyum pada Yulia, dia dan karyawan toko betah bekerja di sini karena pemiliknya sangat baik hati. Misalnya setiap Jumat ini, mereka selain memberi diskon bagi pelanggàn, Lia memesan makanan yang akan di bagikan untuk orang-orang yang membutuhkan. “Bu...” panggil Toni saat membantu Yulia sudah membawakan makanan yang akan di bagikan sekitar Toko. “Apa, Toni?” Toni ini seusia adiknya, dia sudah bekerja di sini hampir lima belas bulan. “Ibu nggak takut rugi, setiap Jumat kasih diskon belum lagi bagi-bagi makanan percuma begini.” Yulia tersenyum, pertanyaan seperti ini umum di tanyakan padanya saat mulai rutin melakukan kegiatan Jumat. “Semua yang kita dapat di dunia ini termasuk rezeki datangnya dari Allah, bukan milik kita yang abadi dan sekecil apa pun kebaikan yang kita lakukan di dunia, kebaikannya bukan untuk orang lain tapi akan kembali pada diri kita sendiri.” “Masyaallah Tabarakallah!” Ucap Toni kagum. “Semoga jodoh saya punya hati sebaik ibu, atau ibu saja jadi istri saya.” Gurau Toni Lia terkekeh, “Kamu ini, ada-ada aja! Usiamu sama kayak Saddam, lebih cocok jadi adik saya.” Toni berpura-pura memegang dadanya, dan meringis. “Patah hati, dukun bertindak nih bu.” Yulia menggeleng kecil, “udah ayo kita mulai bagikan! Kamu juga harus salat Jum’at.”  Membagikannya tepat jam setengah sebelas siang, Yulia berpencar dengan yang lain. Melihat senyum orang lain karena dirinya, selalu membuat Yulia ingin terus berbagi. Dia memberi ada pada tukang jasa ojek biasa maupun online, tukang parkir, pemulung sampah, badut dan pengamen yang di temui di sekitar toko. Nasi terakhir di kantungnya sudah dia berikan, Yulia bersiap untuk kembali. “Saya nggak kebagian?” suara seseorang membuat langkahnya terhenti. Yulias berbalik, “Maaf—“ kalimatnya tertelan lagi begitu tahu pemilik suara tersebut adalah Rian. Rian tersenyum, “Kamu serius sekali, saya hanya bercanda, Lia.” Lia menghela napas dan menebak kira-kira alasan apa lagi yang membuat laki-laki ini ada di dekatnya. [to be continued] 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN