Seperti anak kecil yang baru saja diturunkan di taman bermain, Gilang yang baru saja memarkirkan motornya di parkiran sepeda motor sekolah, melihat wajah Ayara yang tampak sangat bahagia melihat gedung megah sekolahnya itu. Apakah sebelum mati Ayara belum pernah melihat gedung sekolah sebagus ini?
“Senyum lo lebar banget, udah kayak ketiban duit satu miliar,” sindir Gilang pada Ayara yang masih menatap agung betapa ramai dan hidup suasana yang menurutnya baru ini.
Senyum Ayara sangat manis, Gilang akui. Sejak di meja makan saat sarapan tadi, Gilang sudah menyaksikan senyum Ayara. Namun sepertinya beda level dengan yang ini. Bila tadi masih level 1, kali ini mungkin sudah berada di level 3. Dasar gadis hantuu!
Ayara menghela nafasnya. Ia lantas mengusaikan aksi memandangi gedung dan suasana ramai di sekitarnya itu. Gadis bergaun putih itu lantas menjawabi sindiran Gilang, “Biarin! Senyum itu ibadah, Gilang.”
“Buat apa lo ibadah? Lo ‘kan udah meninggal. Ibaratnya, semua pintu mencari berkah dan kesempatan beribadah lo udah ditutup permanen.”
Benar juga.
Ayara mendengkus kesal, kali ini ia tak mampu lagi menyahuti pernyataan yang seratus persen benar itu. Gilang ternyata cukup pandai membuatnya bungkam seketika. Baiklah, Ayara akan lebih berhati-hati dalam menjawabi setiap ucapan Gilang—karena pada kenyataannya, dia cukup pandai mengolah kata berdasarkan kenyataan yang ada.
Mengikuti kemana pun langkah kaki Gilang, ternyata pria itu pergi menuju kantin. Ayara pikir, Gilang tipe anak rajin yang tidak akan mungkin membolos di kantin padahal jam pertama belum dimulai hari ini.
“Bukannya ini arah kantin?” tanya Ayara karena melihat penunjuk jalan yang bertuliskan cafeteria sekolah.
“…….”
“Kamu bolos, Gilang!? Padahal jam pertama belum dimulai loh..”
“Kalau lo mau ikut gue, mendingan lo diam. Berisik banget,” ucap Gilang dengan lirih dan tatapan setajam elang yang hendak memangsa makanannya. Hal tersebut cukup membuat Ayara hanya diam dan masih terus mengikuti kemana kaki Gilang melangkah.
Hingga Ayara menyadari bahwa tujuan Gilang ke kantin adalah untuk menemui teman prianya.
“Fen, pesenan gue, ada?”
“Ada-lah, Lang.” Sahabat satu-satunya Gilang itu kemudian merogoh tas hitam miliknya. Mengeluarkan buku catatan bersampul cokelat.
“Oke, thanks.”
“Buruan deh lo salin! Lagian ada-ada aja lo sampai lupa ngerjain tugas, tumben. Ini Gilang Eri Permana lhoo, sahabat gue yang selama ini nggak pernah sedetik pun lupa sama tugas-tugasnya.”
“Gue capek banget semalam. Paginya waktu mau ngerjain, gue nggak bisa konsen sama sekali.”
“Kamu nggak bisa konsen gara-gara ada aku, Gilang?” Ayara kini bersuara. Gadis itu ternyata sudah mengambil duduk di hadapan dua pria yang saling berbincang.
“Seorang Gilang, nggak bisa konsen!? Jiiahhhh, lo kenapa? Lagi jatuh cinta lo?”
Pertanyaan ngawur yang keluar dari bibir Efendi sontak membuat Ayara turut terkekeh. Saat ini menurutnya ekspresi wajah Gilang sangat lucu. Apalagi saat Gilang tidak menjawabi pertanyaan Ayara barusan, dan hanya memberikan tatapan tajam sebagai penghakiman karena ulahnya yang tiba-tiba muncul dalam kamar Gilang.
“Otak lo perlu dikasih pemutih. Butek.”
“Habisnya, lo aneh banget Lang, sumpah. Biasanya juga gue yang selalu nyalin tugas ke lo.”
“Terus sekarang, gue nggak boleh ganti posisi?”
“Boleh dong! Apa yang enggak buat lo, Lang? Lo minta apapun dari gue, gue bisa kabulin!”
“Pesenin gue teh manis, asem mulut gue ngeladenin lo daritadi, Fen..” titah Gilang tanpa melihat ke arah Efendi karena ia sudah sibuk menyalin tugas Efendi.
“Siialan lo.” Meskipun kesal, Efendi tetap bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju salah satu penjual kantin untuk memesankan minuman yang diinginkan oleh Gilang.
Tinggallah Ayara dan Gilang yang duduk saling berhadapan. Tatapan mata Ayara tidak pernah lepas sedetik pun dari Gilang. Sedangkan Gilang masih terus fokus pada bukunya dan juga buku Efendi. Namun jangan salah, sesekali ekor mata Gilang menangkap sosok hantuu di hadapannya yang tidak berkedip memperhatikannya itu.
“Ekhm!” Deheman Gilang yang seketika membuat Ayara tersentak.
Tak ingin membuat Gilang memarahinya, akhirnya Ayara mengalihkan pandangannya pada Efendi yang masih sibuk mengantri membeli minuman untuk sahabatnya pagi ini. Suasana kantin di pagi hari tidaklah sepi, cukup ramai meskipun sebentar lagi bel mungkin akan berbunyi guna memulai pembelajaran jam pertama. Mereka semua masih asyik menyelesaikan sarapan pagi mereka, ada pula yang bersenda-gurau dan bermain ponsel.
Tidak suka dengan suasana hening yang tercipta diantara dirinya dengan Gilang. Iseng Ayara menyeletuk, “Efendi ganteng banget ya, Gilang.”
“…..…”
“Udah lucu, baik, pintar, ganteng lagi! Paket lengkap.”
“Dia udah punya cewek. Jangan gangguin sahabat gue. Awas lo.”
“Iiihh, suuzon banget sih! Siapa yang mau gangguin? Lagian Efendi nggak bisa lihat aku.”
“Itu yang gue heran. Dosa apa gue sampai bisa lihat lo, Ya?”
“Bukan dosa, tapi anugerah! Siapa tahu anggapan kamu salah.”
“Anggapan yang mana?” Alis Gilang terangkat sebelah. Sesekali matanya melirik ke kiri dan kanan, memastikan dirinya tidak sedang diperhatikan oleh siapapun karena sedang berbicara seorang diri karena sudah pasti tidak ada yang bisa melihat Ayara di hadapannya itu, kecuali dirinya saja.
Dengan entengnya Ayara menjawab, “Anggapan kalau aku ini hantuu. Siapa tahu aja salah! Soalnya hantuu ‘kan serem, kalau aku ‘kan cantik!”
“Dih, PD banget lo.” Gilang yang tadinya berwajah kusut, kini justru tersenyum-senyum bahagia. Entahlah, mendengar hantuu yang sangat percaya diri dengan wujudnya—seperti Ayara ini, membuat Gilang cukup terhibur. Walau sejujurnya, apa yang dikatakan Ayara memang benar adanya.
Ayara memang sangat cantik.
Efendi kembali dengan membawa segelas teh manis pesanan Gilang, dan ditangan satunya tengah membawa sepiring roti bakar keju-cokelat. Seketika itu juga, dengan jelas Gilang bisa melihat ekspresi wajah Ayara yang antusias ingin juga memakan roti bakar yang dibawa Efendi itu. Apalagi rotinya masih hangat, terlihat kebulan asapnya masih sedikit terlihat.
Menelan salivanya sendiri. Mata Ayara masih terus menatapi roti bakar keju-cokelat itu. “Enak banget.. aku mau, Gilang!”
“Kebiasaan lo nggak pernah terlewat ya kalau pagi-pagi di kantin begini.”
“Jelas! Roti bakar keju-cokelat! Padahal di rumah tadi, gue udah makan roti bakar keju-susuu buatan nyokap gue. Entahlah, hidup gue selalu nggak bisa jauh-jauh dari roti bakar!”
Masih terus menatapi sepiring roti bakar itu. Kini posisi kepala Ayara sudah terletak di meja kantin. Tepat di depannya tersuguh roti bakar yang masih hangat dan sudah pasti sangat lezat itu. Tangannya mulai beraksi, jemarinya berjalan-jalan mengitari piring roti bakar tersebut.
“Gilang, aku bisa makan nggak ya?”
“Coba aja kalau lo bisa. Gue juga penasaran mau lihat.”
“Apa, Lang? M—maksud lo?”
Si-al! Sepertinya Efendi mendengar jawaban Gilang yang ditujukan pada Ayara barusan. Andai saja, Gilang dan Ayara dapat berkomunikasi melalui batin, sudah pasti tidak akan menciptakan kesalahpahaman dengan orang-orang di sekitar Gilang seperti sekarang ini.
“E—enggak, maksud gue. Sesekali lo coba ganti menu, Fen. Gue eneg lihat lo setiap hari makan roti bakar.”
“Nggak bisa deh kayaknya—“
“Pagi, Fendi. Semalam kok nggak balas chatku sih? Kamu ketiduran?”
Bidadari cantik yang kini tengah berdiri di hadapan Gilang dan Efendi ini adalah Shella. Shella inilah yang dimaksud oleh Gilang sebagai kekasih Efendi. Walau pada kenyataannya, Efendi tidak pernah suka dengan Shella. Ia mengiyakan berpacaran dengan Shella karena mama Efendi dan juga mama Shella merupakan teman arisan. Darisanalah benih-benih cinta dalam hati Shella tumbuh untuk Efendi seorang.
Tak ada jawaban yang keluar untuk sapaan hangat dan dua pertanyaan Shella barusan. Ayara yang menyaksikan sikap dingin Efendi yang sebelas-dua belas dengan Gilang, mulai merasa kasihan dengan gadis bername-tag SHELLA tersebut.
Sadar bahwa Shella akan duduk di tempat duduknya, Ayara menggeser tubuhnya. Matanya masih terus mengamati setiap pergerakan Shella. Kini gadis cantik berambut sebahu itu tengah membuka kotak bekal berwarna hijau miliknya.
“Woooahh, nasi goreng sosis sama telur. Mau, Gilang!”
Ni cewek hantuu rakus bener! Semua makanan dia mau! Dalam hati Gilang mendumel seraya matanya masih sesekali menatap tajam Ayara, memberikan peringatan pada hantuu cantik itu untuk tidak mengganggu Efendi dan Shella.
“Fendi, tadi pagi aku masakin nasi goreng sosis dan telur. Kamu mau makan sarapan dari aku ‘kan?”
“Sorry, Shel. Gue udah pesen roti bakal lagi. Tadi di rumah juga gue udah sarapan roti bakar buatan nyokap gue.”
Gilang yang mendengar percakapan diantara sahabatnya dan juga kekasihnya itu kemudian menyahut, “Lo giliran nolak aja cepet banget, Fen. Sesekali hargain orang kek.”
“Roti bakar keju-cokelat lo, buat gue. Katanya lo bisa kabulin semua permintaan gue.” Gilang sengaja menagih perkataan Efendi tadi. Itu semua Gilang lakukan semata-mata untuk mendekatkan Shella dan Efendi.
Sebenarnya, benih-benih cinta itu sudah mulai tumbuh dalam hati Efendi, hanya saja Efendi masih terlalu tertutup pada gadis manapun. Sama sepertinya. Mereka berdua sebelas-dua belas. Namun, bukan berarti setelah ada yang setulus Shella, Gilang akan tetap mendukung sikap tertutup sahabatnya itu.
“Ya udah, kalau lo mau, ambil. Gue pesen roti bakar lagi.”
Belum sempat Efendi bangkit dari duduknya karena piring roti bakarnya telah diambil oleh Gilang. Bel menandakan jam pelajaran pertama pun terdengar di seluruh penjuru sekolah. Semua siswa-siswi yang tadinya masih asyik menongkrong di kantin pagi ini pun segera membubarkan diri dan mulai masuk ke kelas mereka masing-masing.
Tak terkecuali dengan Shella. Shella mulai menutup kembali kotak bekal berwarna hijaunya itu. “Ya udah kalau kamu nggak mau nasi gorengnya, Fen. Aku bawa lagi aja, daripada mubazir.”
“JANGAN DONG!! Gilang, aku mau..” Ayara merengek. Padahal ia belum tentu bisa memakan makanan manusia. Entahlah, ia belum mencobanya. Tapi, nasi goreng sosis dan telur buatan Shella sangat menggugah selera.
“Shell?” panggil Gilang yang seketika menghentikan pergerakan Shella yang hendak beranjak itu.
“Iya, Lang?”
“Nasi gorengnya boleh buat gue?”
“Apa-apaan sih lo!? Katanya mau roti bakar gue!” Dapat dilihat dari sini, Efendi kesal ketika Gilang mau menerima nasi goreng kekasihnya. Jadi, sebenarnya hati siapa yang ribet untuk menerima ketulusan seseorang di sini?
“Bel jam pertama udah bunyi, lo nggak usah pesen roti bakar lagi. Karena gue udah berubah pikiran. Gue mau nasi gorengnya Shella aja. Lagian lo juga nggak mau ‘kan?”
“………” Efendi membisu. Akan tetapi, tatapan matanya sangat tajam menatapi Shella, seolah tengah meminta gadisnya itu untuk menolak keinginan Gilang.
Namun sialnya, Shella memperlihatkan senyum bahagia. Meskipun bukan Efendi yang mencicipi dan memakan nasi goreng buatannya, taka pa. Gilang juga termasuk dalam list orang baik yang merangkap juga sebagai sahabat dari pria yang ia cintai, Efendi. Dengan senang hati, Shella memberikan kotak bekal berwarna hijau itu pada Gilang.
“Dihabiskan ya, Lang. Kalau Efendi mau, jangan pelit! Gue ke kelas dulu. Nanti kotak bekalnya titipin aja ke Efendi. Soalnya nanti gue pulang bareng dia.”
“Fendi, aku kelas dulu ya.. Semangat belajarnya..” pamit gadis berambut sebahu itu.
Sampai di sini, Ayara sudah bisa membedakan cara berbicara Shella ketika berhadapan dengan Gilang atau pun Efendi. Ayara pikir, gadis seperti Shella ini akan baper karena kebaikan Gilang, nyatanya tidak. Sepertinya Shella sudah buta akan cintanya pada Efendi. Ayara hanya geleng-geleng kepala saat melihat Shella melangkahkan kakinya meninggalkan dua pria yang masih terduduk itu.
“Ternyata, hubungan lo sama cewek lo udah ada perkembangan ya.. Cie, udah ada schedule pulang bareng nih!” Usai mengejek sahabatnya, Gilang bangkit dari duduknya sembari tangannya merapikan buku-buku di atas meja kantin itu. Setelah beres, ia mengembalikan buku milik Efendi.
“Jadi, lo pilih roti bakar keju-cokelat atau—“
“Gue yang makan nasi goreng buatan cewek gue! Nggak usah banyak omong lo. Emang siialan lo, Lang.”
Setelahnya Efendi berjalan lebih dulu ke kelasnya, meninggalkan Gilang. Tentu saja Gilang tak seorang diri, karena ada Ayara yang masih kebingungan dengan kelabilan Efendi barusan.
“Yahh, nasi gorengnya..” Ekspresi wajah Ayara memelas saat itu juga. Saat Ayara melihat Efendi telah membawa kotak bekal berwarna hijau yang diketahuinya berisikan nasi goreng yang baunya sangat harum tadi. Ayara yakin, masakan Shella pasti sangat enak! Dan, kini tinggal harapan untuk menikmatinya.
“Udah, makan roti bakar aja. Lagian, gue penasaran. Emang lo bisa makan, Ya?”
Ayara tak menjawabi pertanyaan Gilang barusan. Ia hanya bangkit dari duduknya, kemudian menaik-turunkan kedua bahunya tanda dirinya sendiri juga tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan Gilang barusan.
Sebuah pikiran muncul mengisi kepala Ayara. Gadis tak kasat mata yang masih terus mengikuti langkah kaki Gilang menuju kelas itu, tiba-tiba berucap penuh dengan rasa percaya diri. “Siapa tahu, kalau disuapin sama kamu, aku bisa makan, Gilang!”
“Pemikiran lo sama sekali nggak masuk akal. Wajar sih, karena kehadiran lo dalam hidup gue, juga dengan cara yang nggak masuk akal.”
“Huh?”
“Gue harap, gue cuman mimpi. Dan saat ini, gue lagi tidur panjang, Ayara.”
***