Gilang yang biasanya akan melanjutkan tidurnya kembali setelah menunaikan kewajiban salat subuh, kini ia justru tidak bisa tidur. Ia putuskan untuk merapihkan kamarnya sebelum mandi dan bersiap-siap pergi ke sekolah. Baru menjadi bagian dari kelas XI, Gilang merasa sudah harus mempersiapkan dirinya sebelum naik ke tingkat akhir Sekolah Menengah Atas (SMA). Meski pun banyak sekali rumor yang beredar tentang tingkat dua SMA, salah satunya, tingkat dua SMA merupakan masa paling menyenangkan untuk meraup kebebasan dan masa paling menyenangkan karena merupakan anak tengah. Mempunyai adik kelas—masih tetap bisa berkuasa. Kemudian juga mempunyai kakak kelas—masih ada yang mengayominya.
Disela-sela merapikan kamarnya, Gilang merasa begitu riang karena tidak mendapati hantu yang ia biarkan untuk menetap di kamarnya ini. Ahh..mungkin saja ia berubah pikiran dan menghilang saat kumandang azan subuh tadi.
Tapi, entah mengapa? Gilang merasakan telinga sebelah kanannya diterpa angin dingin.
“Selamat Pagi, Gilang!”
ASTAGA!
BENCANA.
“Apa-apaan sih lo!? Seumur hidup gue nggak pernah sekali pun berharap ucapan ‘selamat pagi’ dari hantu kayak lo!”
Judes. Itulah penilaian dalam pikiran Ayara yang ditujukan untuk Gilang. Selain dingin, Ayara baru sadar. Ternyata setiap ucapan yang keluar dari bibir Gilang itu seperti clurit, tajam dan mampu melukai.
“Ya udah sih, santai aja! Masih pagi, Gilang. Jangan marah-marah, nanti—“
“Suka-suka gue-lah! Minggir lo! Gue mau mandi.”
“Ikut dong!” seru Ayara bermaksud menggoda. Meski pun ia makhluk tidak terlihat, ia masih mempunyai martabatnya sebagai seorang perempuan. Tidak mungkin bila ia berniat menikmati pemandangan pria tanpa busana.
“Lo gila ya?”
“Ihh, bercanda kali. Ya udah, mandi sana.” Ayara cekikikan sendiri setelah Gilang menyambar handuk dari dalam lemarinya dan bergegas menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya ini.
Brakkk!
Pintu kamar mandi tertutup dengan benturan yang keras. Hal tersebut semakin menghibur pagi Ayara. Hari ini, merupakan kali pertamanya menjalani kehidupan sebagai makhluk yang tidak terlihat—yang Ayara sendiri tidak tahu dirinya ini apa? Tetapi, satu hal yang hingga kini membekas di kepalanya. Arwah. Ya, Ayara merasa dirinya merupakan arwah gentayangan yang tersesat. Mungkinkah ia merupakan seseorang yang memilih jalan bunuh diri sebagai akhir hidupnya? Jika IYA, maka saat-saat inilah masa penyesalannya. Ia menyesal karena menempuh jalan bunuh diri. Karena sejatinya, hidup masih akan terus berlanjut setelah kepergiannya. Dan, jika Ayara benar-benar mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, ia harus mencari tahu apa alasan yang mendasari tindakan bodohnya itu.
“Ngapain lo!?” tegur Gilang yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Kini ia sudah mengenakan seragam sekolahnya. Tidak seperti biasanya yang santai keluar dari dalam kamar mandi dengan mengenakan lilitan handuk saja untuk menutupi bagian bawah tubuhnya.
Gilang mengumpat dalam hatinya. Ia merasa pergerakannya terbatas meski di dalam kamar pribadinya sendiri. Itu semua karena hantu yang tiba-tiba berada di sini—Ayara!
“N—nggak ngapa-ngapain. Sudah selesai mandinya?”
“…….” Gilang merasa tidak perlu menjawabi pertanyaan bodoh Ayara. Ia langsung memasukkan buku-buku yang semalam sudah ia siapkan ke dalam ranselnya. Kemudian keluar kamar setelah menyisir rambut dan mengenakan parfum.
“Aahh, wanginya..” lirih Ayara yang langsung membuat langkah Gilang yang baru saja sampai di luar kamar itu terhenti.
“Jangan deket-deket gue lo! Jaga jarak! Minimal dua meter,” titah Gilang pada Ayara yang hanya diam di belakangnya.
“Ihhhhh, Kakak! Aku bilangin Mama!”
Namun, bukannya suara Ayara yang menyahutinya. Justru Luna—sang adik yang mengira perintah Gilang tersebut ditujukan padanya.
“MAMAAAA, KAK GILANG MARAHIN LUNA. KATANYA LUNA HARUS JAGA JARAK MINIMAL DUA METER. DUA METER ITU SEBERAPA SIH MAMA!?” Luna berlari kecil menuju ruang makan di mana pagi-pagi seperti ini—Novi menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilnya.
“Gilang…Apa-apaan sih kamu?”
“Luna salah dengar, Ma.”
“Ih enggak! Luna nggak salah dengar, Ma. Tadi Kak Gilang—“
“Selamat pagi, ada apa pagi-pagi ribut seperti ini? Ayo duduk. Makan sarapan spesial dari Mama..” sapa hangat Papa Gilang.
Hal tersebut sontak membuat hati Ayara menjadi hangat. Ia sungguh senang karena arwahnya tersesat di dalam keluarga yang penuh dengan kehangatan seperti ini. Penyesalannya atas tindakan yang diterkanya—bunuh diri, semakin menjadi. Ayara ingin hidup lagi agar bisa menyapa mama, papa dan juga adik perempuan Gilang yang sangat lucu dan menggemaskan itu.
“Pagi, Pa. Biasalah, anak-anak memang selalu membuat drama sepagi ini.”
“Kak Gilang yang salah!”
“Salah Kakak apa, Luna!?”
“Hei, sudah-sudah! Ayo duduk, makan sarapan kalian. Nanti terlambat..” potong sang papa.
Mereka berempat pun makan dalam satu meja bundar ruang makan pagi ini. Ayara hanya berdiri dengan jarak yang sudah ia pastikan aman dan tidak akan membuat Gilang jengkel seperti tadi. Ia akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak merecoki hidup Gilang. Meski pun pada kenyataannya Ayara merupakan arwah gentayangan yang mengikuti Gilang, karena hanya lelaki itulah yang bisa melihat dan berkomunikasi dengannya. Dan, Ayara merasa bahwasannya hanya Gilanglah yang bisa membantunya untuk menguak misteri kematiannya.
Saat Ayara hanya menatap kosong pada keluarga yang tengah menyantap sarapan paginya itu. Gilang diam-diam meliriknya. Ayara yang tak kunjung sadar akan lirikan tajam nan penuh curiga dari Gilang pun akhirnya terkejut setelah mendengar deheman keras dari Gilang.
“Ekhm! Pa, Luna berangkat bareng Papa ‘kan?”
“Iya, Luna bareng sama Papa.”
“Tapi, Pa…Luna lebih senang berangkat ke sekolah bareng Kak Gilang. Soalnya, nggak bakal kena macet. Lagi pula, Kak Gilang kalau naik motor persis pembalap! Bisa cepat pasti sampai sekolahnya,” cerocos Luna yang tanpa sadar sudah mengadukan Gilang pada kedua orang tua mereka karena lelaki itu suka mengebut di jalan raya.
Seketika tatapan tajam papa membuat Gilang begidik ngeri.
Sialan mulut si Luna! Belum gue cekokin ice cream ni bocah aktif banget ngadunya!
Mama yang berada di samping Gilang mengusap lengan putranya itu. “Jangan ngebut dong, Kak. Bahaya. Apalagi di jalan raya..” tutur lembut layaknya seorang ibu pada umumnya. Novi memang tipikal ibu-ibu yang lembut dan penuh kasih sayang. Meski pun tak jarang ia juga akan menunjukkan sikap tegasnya untuk memberikan rasa jera pada tindakan anaknya yang salah.
Sedangkan, Eri—Papa Gilang merupakan seorang papa yang sebenarnya hangat. Namun beliau paling anti dengan anak yang tidak penurut. Maka dari itu, setiap sikap kerasnya yang muncul itu disebabkan oleh tingkah laku anaknya sendiri.
“Sudah berapa kali Papa bilang, Gilang? Kalau kamu masih ngebut-ngebutan di jalan raya, motor kamu Papa jual!”
“Yahh..jangan dong, Pa! Kalau motor Gilang, Papa jual. Gilang ke sekolahnya naik apa?”
“Naik kendaraan umum ‘kan banyak, Gilang..” sahut sang mama dengan santainya sembari menyeruput teh.
“NGGAK! Motor itu motor kesayangan Gilang, Ma..Pa..”
“Ya kalau kesayangan, jangan dibuat kebut-kebutan di jalanan dong! Nanti kalau ada apa-apa, terus motor itu rusak gimana?”
“Ya ditaruh bengkel-lah, Ma..” jawab Gilang yang seketika mendapatkan tatapan tajam dari kedua orang tuanya.
Seketika itu juga tangan Novi bergerak untuk menjewer telinga Gilang yang masih saja bandel dan terus menjawabi tiap nasihat kedua orang tuanya.
“Aaawww..ssakitt, Ma!”
“Hahahhaha, Kak Gilang nakal sih! Makanya sampai dijewer sama Mama,” ejek Luna dengan memasukkan sesendok nasi dan telur dadar ke dalam bibir mungilnya. Luna memang sudah dibiasakan sejak menginjak sekolah dasar, ia sudah harus bisa makan sendiri dengan rapih tentunya. Bila ada nasi yang jatuh di meja makan, maka Luna harus bertanggung jawab untuk membersihkannya. Memang begitulah seharusnya didikan orang tua pada anaknya sejak dini. Dimulai dari hal-hal kecil, seperti etika makan dengan baik. Anak bisa mulai mengenal apa itu tanggung jawab. Kemudian mulai melaksanakan tanggung jawab tersebut dengan baik.
“Luna..” Papa mulai memperingatkan pada putri kecilnya agar diam dan berhenti mengolok sang kakak.
“Luna, ayo dihabiskan. Kalau Luna nakal, Mama juga kasih hadiah seperti yang Mama kasih ke Kak Gilang.”
“Iya, Ma..”
Masih betah melihat setiap adegan yang terjadi di meja makan pagi ini. Ayara merasa sangat bahagi meski dirinya hanyalah makhluk tidak terlihat. Setidaknya, posisinya berdiri sekarang ini dekat dengan sebuah keluarga yang begitu hangat. Tanpa sadar bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman. Ayara sendiri juga tidak sadar bahwasannya sedari tadi Gilang diam-diam mengamati senyum di bibir pucatnya itu.
“Manis.”
“Ya jelas, teh buatan Mama tidak pernah mengecewakan lidah, Gilang. Iya ‘kan, Pa?”
Gilang hanya tersenyum tipis. Pasalnya bukan teh sang mama yang mendapatkan pujian dari bibirnya itu. Melainkan senyum hantu perempuan itu!
Sadar dengan apa yang barusan Gilang pikirkan dan ucapkan. Seketika ia beristighfar dan mengusap dadanya sendiri. Ia merasa tidak bisa jika harus berlama-lama bersama dengan hantu perempuan itu. Di mana-mana, hantu mana pun tidak bisa dipercaya. Sekali pun mereka mengaku baik atau bahkan berwajah polos dan lugu, seperti Ayara! Tapi sejatinya, dalam diri mereka ada sebuah keserakahan yang bisa kapan saja mereka perlihatkan. Gilang mengambil permisalan tentang Ayara yang jangan-jangan mempunyai ilmu sihir. Iya, sihir! Yang nantinya bisa membuat Gilang bertekuk lutut mencintainya. Hubungan dengan makhluk gaib memang tidak asing terdengar bukan? Bahkan sebagian orang melakukan hal tersebut atas kesadarannya sendiri. Justru ada juga yang disengaja untuk bisa kaya dengan jalan pintas.
“Kenapa kamu bengong? Papa sama Luna sudah berangkat. Kamu buruan berangkat, Gilang! Kamu nggak lihat pagi ini mendung?” tegur mama membuat Gilang tersentak dari lamunnya.
Ia segera mencium tangan sang mama. Lalu berjalan menuju motornya yang sudah dipanaskan tadi pagi. Tak lupa mengenakan helm hitam kesayangannya dan menutup resleting jaket biru dongker yang melekat menutupi seragam sekolahnya yang berwarna putih itu.
Brrmmmm..brrrrmmmm..
“Hati-hati, Gilang! Jangan ngebut!”
Jika kalian menebak bahwa Ayara hanya akan tinggal di dalam kamar Gilang seharian, maka tebakan kalian salah! Kini Ayara tengah merentangkan tangannya menikmati pagi mendung ini di jok belakang motor sport yang dikendarai oleh Gilang.
“AHHHH UDARA SEGARRRR!!”
“Tangan lo—“ Gilang tidak lagi melanjutkan perkataannya. Ia lupa akan satu hal. Gadis di belakangnya ini bukanlah seorang manusia!
“Kamu lupa kalau aku hantu, Gilang? Tenang aja! Tangan aku nggak akan kenapa-kenapa! Tuh, lihat! Motor sama mobil-mobil yang lewat di sekitar kita menembus tanganku begitu saja.”
“Hm.”
“Aku senang banget bisa ikut kamu ke sekolah!” ungkap Ayara dengan rasa bahagianya.
“Awas kalau lo nyusahin gue,” peringat Gilang dengan serius sembari menatap Ayara dari spion motornya. Tapi..
“Jangan lihat aku dari spion motor kamu! Nggak bakal kelihatan, Gilang! Kamu pelupa ya ternyata..”
“Gue nggak pelupa! Gue cuma belum bisa terbiasa sama kehadiran lo! Lo ‘kan hantu!”
Jelas belum terbiasa! Terlebih, Gilang dipaksa harus menerima kehadiran hantu perempuan itu. Sedangkan dalam hidupnya selama ini, tidak pernah sekali pun seorang Gilang Eri Permana bisa melihat hantu. Apakah mulai hari ini ia akan lebih sering melihat hantu-hantu yang lainnya?
“Ya harus dibiasakan dong! Mulai sekarang, kita jadi teman!”
Gilang tersenyum dibalik helm hitam yang dikenakannya. “Teman?”
***