Happy Reading
*****
Pekerja laki-laki tadi kembali menghadap Noah dan Rilla bersamaan dengan satu teman perempuannya.
Sepertinya laki-laki ini takut jika di tanya-tanya hal penting atau macam-macam oleh seorang detektif sendirian.
Mereka berempat sudah duduk siap di salah satu meja kursi yang sengaja disediakan pihak minimarket untuk beristirahat maupun menyantap makanan bagi pembeli.
"Ehm." Noah berdehem sebelum memulai percakapan penting itu, Rilla sendiri juga sudah menyalakan rekaman menggunakan ponsel _berlogo buah apel_ yang telah di letakkan di tengah _atas_ meja. "Sebelumnya maaf mengganggu waktu bekerja kalian berdua, kami hanya ingin bertanya sedikit tentang teman kalian yang meninggal tempo hari, Mita."
Laki-laki dan perempuan pekerja itu tetap mengangguk meski terlihat jelas jika sangat gugup.
"Kalian tidak perlu takut, kalian cukup berkata jujur dengan apa yang kalian ketahui," ucap Rilla mencoba menenangkan kedua orang itu, saking terlihat takutnya bulir-bulir keringat sampai mengalir di pelipis masing-masing.
"Jadi, di malam kejadian siapa di antara kalian atau pekerja lain yang jadwal shiff bersama Mita?" tanya Noah mengawali, tubuhnya ia tegakkan agar menunjukan sisi wibawanya dan tidak ke kanak-kanakan seperti tadi. Memalukan.
Noah dan Rilla saling menatap satu sama lain karena kedua pekerja yang mungkin baru berusia awal dua puluhan itu tak kunjung menjawab atau memberi respon lain.
Dan setelah menunggu beberapa saat, tiba-tiba gadis dengan rambut panjang kuncir kuda dan poni sampai alis itu mengangkat tangannya ragu, "Sa ... saya satu shiff dengan Mita. Tapi saya tadi pulang lebih awal," cicitnya, mungkin gadis ini juga takut sebab masih shock dengan teman satu kerjanya yang tiba-tiba meninggal di bunuh orang.
"Apa anda tau Mita pulang jam berapa?" Sekarang ganti Rilla yang mengajukan pertanyaan.
Gadis itu mengangguk pelan, ketakutan. "Iya, saya sedikit tau."
Rilla dan Noah sekali lagi saling menatap seolah tengah bertelepati.
Dengan tangan gemetar gadis crew minimarket mulai mengambil ponsel di saku celananya, lalu mulai membuka ponsel perlahan. Jadi Noah mau tak mau menunggu dengan sabar.
Gadis itu menyodorkan ponsel kepada Noah dan Rilla dengan layar yang menampakan sebuah forum percakapan antara dirinya dengan Mita.
"Ini jam sebelas malam dia memberi pesan singkat kepada saya, dan mengatakan jika dia kesal tugas kuliahnya terlalu banyak membuatnya harus pulang larut." Gadis itu menjelaskan lebih detail, meski bukti nyatanya dapat Noah dan Rilla lihat di layar ponsel.
"Saya disitu juga memberi dia respon denhan menyuruh dia untuk pulang saja dan mengerjakan lagi keesokan hari, tapi dia kekeh tak mau, dia memilih akan melanjutkan mengerjakan di sana setengah jam lagi." Sekali lagi gadis itu menjelaskan dengan Noah yang mulai membaca pesan dari atas hingga bawah di malam kejadian.
Okay, seperti nya bukti ini cukup membuktikan jika kematian Mita terjadi di sekitar jam setengah dua belas malam hari.
Rilla sendiri buru-buru mengambil ponsel Noah lancang dari saku jaketnya, karena memang ponsel Noah nampak menyembul dari saku. Rilla tak bermaksud apa, dia hanya hendak menggunakan ponsel untuk memotret bukti percakapan di ponsel gadis pekerja minimarket itu.
Noah yang merasakan ponselnya di ambil paksa, sontak mendelik, hampir saja ia kelepasan berteriak memaki si medusa Rilla, tapi akhirnya ia mengurungkan niat mengingat jika situasi sekarang sangat tak pas jika ia gunakan untuk adu urat kembali. Apalagi Rilla menggunakan ponsel untuk mengambil bukti.
Tapi bukannya lebih sopan jika Rilla meminjam ponsel lebih dulu, jadi tak terlihat lancang seperti itu. Aish, memang benar-benar si medusa ini, tak pernah menghargai barang milik Noah. Ingatkan Noah untuk nanti mengunci ponselnya agar Rilla tak dapat menggunakannya dengan seenak hati lagi kedepannya.
Noah pun kembali memfokuskan dirinya pada gadis pekerja minimarket itu, karena dia sepertinya hendak berbicara lagi.
"Mita adalah anak rantau dengan hidup pas-pasan, jadi mau tak mau dia harus berhemat, sebenarnya sudah hal biasa untuk Mita pulang telat demi mengerjakan tugas, namun di malam itu dia memang lumayan lebih telat dari biasanya." Jelas gadis itu dengan kepala tertunduk, sungguh gadis itu masih tak menyangka temannya akan meninggalkan dirinya secepat itu, padahal di malam kejadian mereka masih mengobrol santai sambil bercanda gurau. Mati mengenaskan dan tiba-tiba bukan perkara mudah bagi orang terdekat menerimanya bukan.
"Ah, kalau anda sendiri apakah tau kalau Mita melewati gang sepi seperti itu?" tanya Rilla karena Noah tak kunjung mengajukan pertanyaan, malah terdiam seolah melamun.
Gadis itu mengangguk pelan mengiyakan, "Ya, Mita memang sudah terbiasa melewatinya, meski orang-orang takut lewat sana karena berfikir jalan itu angker. Tapi hanya demi mempersingkat waktu Mita melawan ketakutannya." Di sore hari saja jalan itu sudah nampak menyeramkan, apalagi hampir tengah malam, jalanan sudah pasti makin mencekam.
"Em, apa Mita memiliki musuh atau bersitegang dengan seseorang?"
Ada dua kemungkinan, bisa saja pelakunya adalah orang terdekat, maupun orang tak dikenal yang sengaja membunuh secara random.
"Setau saya tidak, Mita gadis yang ceria dan friendly. Sepertinya tidak mungkin dia ada masalah dengan orang lain."
Rilla mengangguk paham, jika seperti itu penjelasannya, ada kemungkinan besar jika Mita di bunuh orang orang tak di kenal.
"Em, okay__"
Rilla yang hendak memutus sudah pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan, tapi tiba-tiba Noah malah bertanya kembali, membuat Rilla menatap Noah kebingungan.
"Kalau pacar, apakah mungkin Nona Mita memiliki kekasih?"
Diam,
Keheningan menyerang karena pertanyaan Noah tak ada yang menjawab.
Hgg, namun nyatanya pekerja laki-laki _yang sedari tadi hanya diam saja itu_ tiba-tiba nampak gugup, yang mana jelas membuat Rilla dan Noah menatap curiga.
"Tidak ada, setau saya juga Mita single__"
"Tidak." Gadis itu hendak menjawabnya, tapi si laki-laki malah memotong dan berkata sebaliknya.
Noah dan Rilla tentu kebingungan sendiri, jadi?
"Maksudnya Mita memang tak memiliki kekasih, tapi dia beberapa kali dekat dengan teman saya. Hanya saja hubungan itu tidak berhasil, dan sepertinya memang sudah tak saling berhubungan lagi." jelasnya dengan sedikit gagap si awal kalimat.
"Ah, begitu," Meski mengangguk mengiyakan, nyatanya Noah juga tengah berfikir dan mengamati laki-laki yang duduk di depannya itu.
"Kalau boleh tau siapa teman anda itu?"
"Em, teman kampus saya. Tapi sekarang saya sudah kehilangan kontak dengan mereka." Pekerja laki-laki itu mengatakan seraya menatap ke arah Rilla, sebab tatapan dari Noah terasa menusuk menurutnya.
"Baiklah, terimakasih atas informasi yang kalian berikan." putus Noah tiba-tiba seraya berdiri dari tempatnya. Yang mana hal itu membuat Rilla bingung, kenapa Noah nampak ter buru-buru.
Noah melangkah pergi begitu saja lebih dulu, sedangkan Rilla pun mulai mengemasi ponselnya dan ponsel Noah yang tertinggal, lalu mulai berdiri hendak menyusul Noah yang sudah keluar dari tempat itu, "Kalau begitu saya permisi."
Rilla mengulurkan tangan kanannya berniat berjabat tangan kepada si gadis dan lak-laki pekerja minimarket.
Namun saat tangan Rilla bersentuhan dengan tangan si laki-laki, Rilla tiba-tiba terdiam seraya memejamkan mata erat. Jangan lupakan tangan Rilla yang menggenggam tangan laki-laki itu sama eratnya, sampai sang empu meringis kesakitan.
"Maaf," laki-laki itu mau tak mau menarik paksa tangannya agar terlepas dari genggaman erat Rilla, dan setelah usaha yang lumayan keras akhirnya tangannya bisa sepenuhnya terlepas.
Rilla nampak membuka matanya perlahan, gerak tubuhnya menandakan jika dirinya masih tertegun atas sesuatu yang menimpanya.
Tatapan Rilla beralih pada laki-laki pekerja itu. Karena panik di tatap dengan pandangan sulit di artikan macam itu, laki-laki itu memilih untuk pamit undur diri.
"Saya permisi dulu, karena masih ada pekerjaan yang perlu saya lakukan," pamitnya pada Rilla yang tak bergerak sama sekali, ia juga tak mengeluarkan sepatah katapun.
Bahkan saat si gadis menganggukkan kepala sebagai bentuk kesopanan saat hendak melangkah pergi Rilla masih tak merespon.
Rilla memijit kepalanya yang tiba-tiba di dera rasa pening itu, ia harus mengatakan sesuatu hal penting pada Noah.
Karena ia tau ada yang salah dengan laki-laki tadi, ada sesuatu ... yang sengaja di tutupi.
Rilla menegakkan tubuhnya cepat dan menatap ke arah luar melihat Noah yang nampak dari dinding kaca tembus pandang itu, ada apa dengan pria itu kenapa keluar tiba-tiba seperti itu.
"Noah," gumam Rilla lalu mulai berlari ke arah luar, berniat menghampiri Noah.
Dan setelah sampai di depan pintu keluar minimarket itu Rilla kontan berteriak cukup keras memanggil nama Noah, "Noah!"
Karena panggilan itu pun Noah mau tak mau memutar badannya menjadi menghadap Rilla, "Ada apa?" wajah lesu Noah menandakan jika dirinya juga tak baik-baik saja itu langsung berubah bingung melihat Rilla yang terlihat panik.
"Ada hal penting. Tapi sebelum itu, kenapa kau terburu-buru keluar tadi?" tanya Rilla dengan mata memicing.
"Ah itu," Noah menggaruk tengkuknya canggung bingung harus menjawab apa, sejujurnya Noah tadi melihat wanita tua yang kemungkinan berusia 60 tahunan yang memiliki bayangan kematian _di dalam minimarket tadi_, tapi setelah menahan-nahan diri Noah akhirnya tak dapat membendung rasa penasarannya lagi. Tapi nyatanya saat Noah menyentuh bayangannya, Noah melihat jika kematian nenek itu di karenakan sakit bukan karena pembunuhan dan lainnya, jadi Noah pun tak dapat berbuat apa-apa selain diam saja.
"Kau melihat bayangan kematian?" tebak Rilla tanpa berfikir dalam, yang mana memang tepat sasaran.
"Bagaimana kau tau?" Tentu saja Noah terkejut dengan ucapan wanita di depannya ini, dan kenapa tebakannya bisa tepat sasaran seperti itu.
"Hanya menebak. Tapi kenapa kau diam saja tak membantu?" Padahal biasanya Noah selalu bergegas setelah melihat bayangan kematian.
Huft, mungkin benar jika Rilla hanya menebak, apalagi Noah juga tau jika beberapa detektif di kantor sudah tau akan kemampuannya meski hanya segelintir yang mempercayainya, "Takdir tuhan sudah di tetapkan kepadanya, aku tak bisa berbuat apa-apa."
"Ah sudah lah, ada hal penting apa yang kau maksud?" lanjut Noah sudah tak mau berlarut-larut dengan nenek tadi.
"Ah itu..."
Noah mengangkat alisnya sebelah, Rilla membuatnya makin penasaran saja, karena tak kunjung mengeluarkan penjelasan dan malah menggantungnya.
"Itu apa? Bicara yang jelas!" geram sudah Noah sekarang, ia butuh penjelasan Rilla karena wanita ini tadi nampak begitu panik,
"Pria pelayan itu ... berbohong." ucap Rilla tanpa menyembunyikan apapun kepada Noah.
"Apa?" Noah membulatkan mata.
Rilla akan menjelaskan semua yang ia lihat di dalam tadi, "Dia berbohong, aku melihat jelas jika dia saling mengirim pesan singkat dan di dalamnya membahas nama Mita ..., juga ...,"
"Juga apa?"
"Bayi." Rilla mengucapkannya dengan nada sedikit berat.
Noah sendiri sudah mengepalkan kedua tangannya erat-erat.
"Ya aku melihatnya, dan forum percakapan pesan singkat itu juga ada kata bunuh. Aku tak tau apa maksudnya tapi kita harus menyelidiki laki-laki tadi." Rilla harus memberi penjelasan sedikit pelan kepada Noah, takut jika ia salah bicara dan menuduh begitu saja, pria di depannya ini malah akan mengamuk.
"Jadi dia? Aishh, sial." Noah masih setia mengepalkan kedua tangannya makin erat saja.
Rilla bergerak maju memegang kedua bahu Noah pelan, "Jangan gegabah kita harus menyelidikinya lebih dalam dulu. Dan mungkin bertanya sekali lagi kepada laki-laki tadi."
"Huft, baiklah." Noah memejamkan matanya, ya lagi pula ia juga belum melihat dengan mata kepalanya sendiri bukan. Dan hanya kata Rilla.
Yups hanya Rilla yang tau dengan jelas, sedangkan Noah belum.
Eh,
Tapi tunggu,
Noah membuka matanya dan langsung bersitatap dengan mata Rilla,
"Ada apa?" Rilla sampai terkejut Noah membuka mata tiba-tiba dan tatapannya seolah mengartikan sebuah pertanyaan.
"Bagaimana kau tau percakapan itu? kau melihat di mana?" tanya Noah to the point, apa mungkin laki-laki tadi menunjukan ponselnya? Tapi sepertinya tidak mungkin, jika benar Rilla tak mungkin mengatakan laki-laki tapi pembohong.
"Itu ... aku...," Rilla mengulum bibirnya sendiri bingung harus mengatakan apa.
"Katakan!"
*****
TBC
.
.
.
Kim Taeya