Prajurit Demon

1904 Kata
Berkat minuman rempah dari Fiona, aku sampai di rumah dengan perasaan nyaman tanpa terbebani pikiran bahwa muntahanku akan merepotkan Pak Sopir lagi. Tepat pukul lima sore, aku masuk ke dalam rumahku yang sepi karena Ayah baru akan pulang dua jam lagi. Aku mengunci pintu kembali sebelum membersihkan diri lalu menutup diriku di kamar. Tidak begitu sulit mengisi waktu sendirian bagi seorang introvert sepertiku. Sebelumnya pun aku telah terbiasa dengan kesendirian. Duduk di tepian ranjang, aku memeriksa handphone-ku dan kembali teringat bahwa modem dan antena yang dipesankan Ayah belum datang, jadi terpaksa aku harus menahan diri untuk menggunakan internet. Aku mulai mencari alternatif kegiatan lain yaitu dengan membuka laptopku lalu menonton beberapa stok film komedi romantis ditemani beberapa bungkus makanan ringan yang tadi kubeli di kantin sekolah. Satu jam lebih terhanyut dalam alur film, aku mendengar bunyi gemerisik dari arah belakangku. Aku duduk bersandar pada headboard ranjang yang membelakangi jendela dan ketika mendengar suara gemerisik itu memilih mengabaikannya karena menganggap suara itu hanya timbul dari pepohonan yang tertiup angin. Akan tetapi, suara itu semakin jelas dan dekat, maka aku menoleh perlahan-lahan. Kemudian, mataku melebar seketika saat menangkap kehadiran sosok bayangan hitam yang masuk diam-diam melewati jendela kamarku. Jantungku berdebar cepat tak terkira, dan keringat dingin mulai mengucur dari kepala serta punggungku. Ba–bayangan hitam apa itu? Aku ingin berteriak, tetapi hanya batinku yang mampu berbicara sedangkan mulutku seperti terkunci. Lebih parah lagi aku tidak mampu menggerakkan tubuhku untuk melarikan diri. Cemilanku tumpah, isinya berserakan di lantai, aku tak peduli lagi sebab bayangan hitam itu semakin menunjukkan sosoknya sambil meliuk-liuk hanya berjarak satu meter di hadapanku. Terasa begitu dekat. Walaupun aku tidak menatapnya, hanya sekejap lirikan saja, aku tahu sosok bayangan itu tampak seperti seorang laki-laki tinggi besar yang mengenakan pakaian hitam mirip pakaian model abad pertengahan. Wajahnya tertutupi oleh bayangan dari tudung hitam jubahnya, tetapi aku bisa melihat senyumnya yang pucat, mengerikan, serta penuh niat jahat. Sosoknya memancarkan sesuatu seperti energi panas yang sangat kuat kepadaku, sehingga bangkitlah rasa gentar dan takut dalam diriku yang sulit kugambarkan. "Bersiaplah," ucap sosok itu, serak dan parau menggelitik rongga telingaku, "kamu... akan menjadi pengikut kami." Dadaku sesak memikirkan apa yang selanjutnya akan terjadi kepadaku. Apakah makhluk itu memang hadir untuk menyakitiku? Akankah nyawaku melayang sekarang? Tidak ada seorang pun di sini yang bisa kumintai pertolongan. Mata biruku mulai berkaca-kaca, lalu air mata yang menggenang itu akhirnya menetes ketika aku mengerjap pasrah. "Hara... Ayah pulang!" Suara Ayah yang datang dari arah beranda rumah memecah kesunyian dan ketegangan. Seperti pemantik, kehadiran Ayah kontan mengobarkan keberanianku. Aku membuka mata dan saat itu juga merasa sangat lega karena sosok bayangan hitam itu pun sudah menghilang entah ke mana. Aku berlari meninggalkan kamar untuk secepatnya membuka pintu depan, lalu berhambur memeluk Ayah. "Ayaaah!" isakku. Ayah tampak kebingungan tetapi kurasakan usahanya untuk menenangkanku dengan mengusap lembut puncak kepalaku. "Hara, apa yang terjadi?" "Baru saja... ba–baru saja di kamar aku melihat hantu!" Setelah melepas helm dan sepatu safety-nya, Ayah mengajakku duduk di ruang tamu. "Hantu? Bukankah selama ini anak Ayah tidak percaya hantu?" Aku tidak menyalahkan respon Ayah, karena yang Ayahku tahu selama ini aku memang tidak percaya hantu. Apa pun cerita horor yang kudengar, aku sebagai gadis yang rasional menganggapnya hanya sekadar cerita. Tetapi bagaimana? Baru saja, di depan mataku sendiri, aku telah melihat bayangan hitam yang aneh dan mengerikan. Bayangan hitam itu kuasumsikan mirip hantu, dan dalam hal ini keyakinanku mulai bertambah bahwa hantu itu ada. "Baru saja aku melihatnya di kamar, Ayah! Itu sangat mengerikan." Kedua tanganku yang gemetar saling meremas karena takut dan cemas. "Ayah coba periksa." Ayah berjalan ke kamarku. Melihat jendela kamarku yang terbuka, Ayah lalu menutupnya. "Hara, jangan takut. Di mana pun kita berada, kita selalu hidup berdampingan dengan makhluk dari dimensi lain, tetapi selama keberanian ada dalam diri kita, makhluk itu tidak akan berani menyakiti kita. Pesan Ayah, lain kali tutuplah jendela kamarmu sebelum petang." Aku mengangguki nasihat Ayah. Melihat raut wajahku yang masih berkeringat cemas, Ayahku kembali datang lalu memberi pelukan menenangkan. "Hara..." ucapnya lembut, "Ayah minta kamu harus menjadi lebih kuat dan berani dari sebelumnya. Sekarang Ayah sudah pulang, apa kamu sudah lebih tenang?" "Ya. Ayah." Ayah melepaskan pelukannya lalu mengambil sesuatu dari dalam tas ransel hitamnya. Begitu sebuah benda muncul, aku langsung kegirangan. "Modem dan antena yang Ayah pesan sudah datang. Mulai malam ini kamu bisa menggunakan internet," jelas Ayah. Aku mengangguk senang, seolah ingatan tentang hantu terhempas begitu saja. Sementara Ayah memasang modem dan antena, aku membereskan cemilan yang berserakan di lantai kamarku. *** Setelah makan malam, akhirnya aku bisa video call bersama Kina. Aku adalah gadis yang pendiam ketika bersama orang asing, tetapi berubah menjadi cerewet jika lawan bicaraku adalah Kina. Dengannya, aku menceritakan semua yang kualami hari ini mulai dari pertemuanku dengan Eizen, Fiona, dan ENC School. "Waaah...!" respon Kina, "jadi murid ENC Schol penampilannya unik-unik ya? Aku jadi penasaran!" "Sepertinya kamu akan betah di sini karena kebanyakan dari murid lelakinya memiliki tanned skin." "Hah! Serius, Hara? Lelaki tanned skin sangat mempesona dan mereka adalah daya tarik besar untukku! Apa kamu sudah menemukan yang tampan?" Sekelebat, aku menemukan bayangan wajah Eizen. Tetapi mengingat sikapnya yang kukatakan tidak terpuji itu, aku tidak ingin menyebutnya lelaki tanned skin yang tampan meski secara kenyataan dia lumayan. Aku menggeleng kepada Kina yang menunggu jawabanku antusias di layar laptopku. "Aku belum menemukan lelaki tanned skin yang tampan dan baik hati. Tapi..." "Tapi apa, Hara?" "Aku bertemu lelaki yang menurutku lumayan. Kulitnya biasa saja–putih seperti kita, tetapi dia tampan dan memperlakukanku dengan baik. Dari penampilan, kupikir dia mirip pangeran musim dingin seperti yang selama ini ada dalam khayalanku, tetapi perlakuannya kepadaku benar-benar hangat." "Wah! Beritahu aku siapa dia, Hara! Cepat!" desak Kina, seperti biasa tak sabar kalau sudah mendengar aku tertarik kepada seorang lelaki. Aku menghela napas. "Nanti akan kuberi tahu kalau aku sudah tahu bagaimana sifat aslinya. Kalau untuk saat ini, aku belum berani menilainya." "Ah, Hara! Kamu membuatku kecewa!" Kina diam sebentar. "Hara, bagaimana, ya? Sebetulnya aku masih ingin mengobrol banyak denganmu, tetapi aku akan pergi makan malam di luar bersama keluargaku. Bagaimana? Apa tidak apa-apa kalau kututup video call-nya sekarang?" Aku berusaha menutupi rasa kecewaku karena sesungguhnya masih banyak yang ingin kubicarakan dengan Kina, termasuk masalah hantu tadi. "Ya, tentu saja tidak apa-apa,” balasku. “Nanti atau besok kita bisa mengobrol banyak lagi." "Oh, Hara... aku sangat merindukanmu." "Ya, aku juga merindukanmu, Kina. Kalau begitu have fun!" Aku menutup layar laptopku. "Bagaimana koneksinya? Lancar?" Aku terkejut oleh suara Ayah yang tiba-tiba. Segera aku berbalik. "Ayah! Kenapa Ayah di ambang pintu?" "Ayah hanya ingin memeriksa apakah koneksi internetnya lancar atau tidak. Jadi Ayah melihatmu video call." Aku mengambil bantal dan membenamkan wajahku dengan perasaan malu. "Itu artinya Ayah menyimak pembicaraanku dengan Kina?" Tiba-tiba Ayah tampak canggung. "Ummm... ya, sedikit. Hanya sedikit saja. Tidak semuanya." "Oh, Ayah!" "Apa yang salah? Itu hal biasa yang dibicarakan anak sekolah, bukan?" Ayah diam sebentar lalu mengoreksi. "Maksudku... Ayah pun pernah muda. Tertarik kepada lawan jenis itu hal wajar." Entah mengapa mendengar Ayah berbicara seperti itu justru membuatku malu. "Oke... oke. Ayah, aku akan lebih nyaman jika sekarang kita tidak membahasnya." Ayah mengangkat alis serta kedua tangannya seperti menyerah kepadaku. "Ya. Tenang saja. Anggap saja Ayah tidak mendengar apa-apa," ucapnya lalu kembali ke ruang tamu dengan ekspresi canggung. *** Sinar matahari cerah menerangi jalan bukit di depan rumahku ketika aku berjalan menuruni bukit menuju bus sekolah. Meskipun ini menuju akhir tahun, pulau Neilborn termasuk salah satu daratan terpencil di lautan bernama Swazen merupakan wilayah yang hangat di bumi belahan timur dengan curah hujan yang sedikit. Aku membuang sikap cerobohku dengan berjalan lebih hati-hati sambil menghirup udara yang terasa segar, sejuk, dan bersih dinaungi langit yang berwarna biru dengan guratan awan tipis. Aku masuk ke dalam bus dan langsung disambut lambaian tangan Fiona. Begitu duduk di kursi kosong di sebelahnya, Fiona memberiku sebotol air rempah lagi. Aku menerimanya dengan suka cita dan langsung meminumnya sebelum mabuk perjalananku menghancurkan hari yang sudah seharusnya cerah. Minuman rempah dari Fiona benar-benar membantuku merasa nyaman selama perjalanan, sehingga aku bisa dengan percaya diri mengobrol dengan Fiona. Sama sepertiku, rupanya Fiona juga bukan suku asli pulau Neilborn. Orang tua Fiona adalah pendatang yang telah lama menetap di Neilborn sebelum Fiona lahir. "Fiona, jika kamu sudah tinggal di sini sejak lahir, apakah selama kamu hidup di Neilborn pernah melihat hantu?" Fiona mengerling ke arahku. Matanya yang sipit menjadi sedikit melotot karena mungkin terkejut. "Hantu?" "Ya. Hantu." Fiona terdiam sejenak sambil melirikku secara saksama, seolah-olah berusaha mencari maksud dari pertanyaanku yang kupikir sudah amat lugas. Kemudian, dia menyahut, "Pertama, kita samakan persepsi. Seperti apa hantu yang kamu maksud?” "Hantu yang kulihat kemarin sore di rumahku itu terlihat seperti bayangan hitam yang mengerikan. Meski begitu, samar-samar aku bisa melihat sosoknya yang berjubah, di dalamnya seperti mengenakan pakaian dari abad pertengahan. Dan kamu tahu? Hantu itu bahkan berbicara kepadaku. Kalau aku tidak salah dengar, hantu itu mengatakan kalau aku harus bersiap untuk menjadi pengikutnya. Itu sangat nyata, mengerikan, dan membuatku takut setengah mati.” Fiona menggeser posisi duduknya yang tadinya menghadap depan sekarang jadi menghadap ke arahku. Lalu dengan ragu-ragu, dia mulai berkata, "Hara… kupikir yang kamu lihat itu bukan hantu, melainkan prajurit demon.” “Prajurit de–demon?” “Ya, atau dengan kata lain kaki tangan iblis. Di Neilborn memang ada juga hantu, tetapi kalau mendengar ciri-ciri yang kamu sebutkan tadi, kupikir itu lebih mirip prajurit demon.” Aku tidak bisa berkata-kata. Begitu mendengar kata demon, pikiranku langsung menghubungkan ulang kata demon dengan pembicaraan antara Vigor dan Gavin di koridor sekolah. Jadi benar, ada hubungannya aku dengan demon? “Oh, Hara, maaf ya,” ucap Fiona. Kamu pasti syok. Tetapi ketika tinggal di Neilborn, kamu perlu terbiasa dengan hal takhayul seperti demon.” “Lalu,” kataku. “Apa maksud perkataan prajurit demon itu bahwa aku harus bersiap menjadi pengikut mereka?” Fiona diam, tampak berpikir, atau seperti mencari kata-kata yang pas untuk menjawabku. “Tentang itu… sepertinya demon itu hanya berusaha menakut-nakutimu, Hara. Ummm, begini saja. Mulai sekarang, kuminta jangan sampai prajurit demon berhasil membuatmu takut, Hara. Sebab, sesuatu yang buruk akan lebih mudah terjadi jika rasa takut atas prajurit demon itu menguasaimu." "Apa maksudmu, Fio?" "Anggaplah bahwa prajurit demon itu hanya mampu menakut-nakutimu saja dan tidak mampu menyakitimu. Ya, mereka benar ada tetapi itu bukan alasan untuk membuatmu takut, Hara. Kalau kamu melihatnya lagi, rasa beranimu harus lebih besar dari rasa takutmu. Begitulah ajaran dari para suku Urbei untuk membuat sosok prajurit demon pergi dari hadapan kita.” “Suku Urbei? Siapa mereka?” “Suku Urbei–mereka adalah penduduk asli pulau Neilborn. Jangankan prajurit demon, jika kamu tahu mereka memiliki pengalaman yang lebih dari sekadar menghadapi demon.” “Seperti apa misalnya?” “Ah, itu mungkin kamu tidak harus tahu sekarang. Baiklah, yang terpenting hilangkan rasa takutku di hadapan prajurit demon. Hanya dengan begitu prajurit demon itu akan melemah. Sebaliknya, jika kamu menunjukkan ketakutanmu, mereka akan menjadi semakin kuat dan bukan tidak mungkin mereka bisa juga menyakitimu." "Ummm… sebenarnya Ayahku juga memberiku nasihat yang mirip seperti itu. Intinya, aku harus menjadi lebih kuat dan berani dari sebelumnya." “Nah, benar bukan? Kamu bilang Ayahmu telah lama tinggal di Neilborn sebagai pekerja ENC. Aku yakin sedikit banyak Ayahmu tahu tentang ajaran suku Urbei itu.” Fiona meraih pundakku, lalu memelukku. "Jadi, jangan takut, oke? Selama keberanianmu lebih besar, kamu akan baik-baik saja, Hara. Tidak perlu takut kepada prajurit demon." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN