Bab 11

1515 Kata
Katarina menatap peti jenazah yang berada di dalam ruang tamu. Perasaan sakit dan kosong melandanya dengan begitu hebat. Rasanya sangat sulit menerima fakta bahwa Theo telah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Ya, selamanya. Katarina tidak bisa lagi melihat senyum Theo yang selalu membuatnya tenang dan damai. Kini kedamaian hidupnya sudah sirna. Katarina tidak tahu lagi apa arti hidupnya tanpa Theo di sini. Air mata kembali jatuh ke pipi Katarina. Katarina ingin sekali membuka peti itu lalu membangunkan Theo dari tidur panjangnya. Katarina masih belum siap untuk kehilangan Theo. Katarina tidak bisa kehilangan Theo. Tadi Katarina sempat mendengar jika Theo meninggal karena mobil yang dikendarainya ditabrak oleh truk dari arah berlawanan. Sopir truk dikabarkan juga meninggal dunia. Selain mereka berdua seorang pengendara motor juga menjadi korban dalam kecelakaan itu. Beruntungnya pengendara motor itu selamat meskipun mengalami luka yang cukup parah. Saat ini jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Mamanya Theo saat ini tengah berada di kamarnya untuk beristirahat. Sejak tadi Armila terus saja menangis karena kehilangan anak bungsunya. Mamanya Katarina pun juga sedang beristirahat. Sedangkan Papanya Katarina tengah berada di teras bersama dengan Papanya Theo dan beberapa orang yang masih melayat. “Kamu seharusnya istirahat,” kata suara dari arah samping Katarina. Katarina menoleh dan mendapati Ares tengah duduk di sampingnya. Katarina menghapus air matanya lalu menggelengkan. “Aku nggak mau ninggalin Theo,” katanya dengan suara serak. “Theo nggak akan ke mana-mana malam ini,” balas Ares lirih. “Aku nggak bisa,” gumam Katarina menatap sedih peti jenazah Theo. “Semalam dia baik-baik saja, Res. Bahkan, tadi dia sempat ngirim buket bunga ke kantor aku. Tapi, bagaimana bisa sekarang dia di dalam sana? Kenapa cepet banget dia pergi ninggalin aku? Padahal dia udah janji bakal nikahin aku dua hari lagi. Tinggal dua hari lagi....” “Iya, aku pun mempertanyakan hal yang sama. Kenapa Theo pergi ninggalin aku? Padahal, aku hidup lebih lama dari dia. Aku lebih tua dari dia. Aku yang lahir duluan. Tapi, kenapa malah dia duluan yang pergi?” Katarina menoleh ke arah Ares. Pria itu tampak tenang seperti biasa. Tidak ada air mata yang mengalir. Namun, Katarina dapat melihat kedua mata Ares yang memerah. Sepertinya Ares sedang berusaha tegar dan mencoba menahan rasa sedihnya. Ares manarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. “Paling nggak, belakangan ini hidup Theo jauh lebih membahagiakan,” katanya seraya menoleh ke arah Katarina. “Semuanya berkat kamu, Katarina. Theo selalu bilang kalau kamu bikin dia bahagia. Dia beruntung punya kamu.” “Dia juga bikin aku bahagia,” kata Katarina lirih dengan air mata yang kembali berjatuhan. “Tapi, bagaimana hidupku setelah ini, Res? Apa jadinya aku tanpa Theo?” “Nantinya kamu akan baik-baik saja,” ucap Ares. Katarina menggelengkan kepala. “Nggak mungkin aku bakal baik-baik saja,” balasnya makin sesenggukkan. “Aku nggak mau pisah sama Theo. Aku nggak bisa.” Mau tidak mau Katarina memikirkan nasib bayi yang ada di kandungannya. Dengan kepergian Theo, tidak ada lagi orang yang akan bertanggung jawab atas bayi yang dikandung Katarina. Semua orang akan tahu jika Katarina hamil di luar nikah. Selain itu, bayi di dalam kandungannya tidak akan pernah bertemu dengan Theo, ayahnya. Bukankah hal itu begitu menyedihkan dan tragis? Tangis Katarina makin menjadi. Ia merasakan dadanya sangat sesak hingga membuatnya kesulitan bernapas. Ares yang melihat itu langsung menarik Katarina ke dalam pelukannya. Pria itu menepuk-nepuk pelan punggung Katarina untuk menenangkannya. *** “Katarina,”panggil Mamanya. “Iya, Ma?” “Bisa kita duduk sebentar?” “Theo bentar lagi mau dimakamin, Ma,” ucap Katarina dengan air mata yang hendak kembali jatuh. “Sebentar aja,” kata Mamanya. Katarina menarik napas dalam lalu menganggukkan kepala. “Oke.” Katarina mengambil duduk di tepi tempat tidur. Mamanya duduk di sampingnya. Saat ini mereka berdua sedang berada di kamar tamu yang berada di rumah keluarga Theo. Semalam Katarina dan kedua orang tuanya menginap di sini. “Bagaimana keadaan kamu?” tanya Mamanya seraya menatap khawatir wajah Katarina. Katarina menahan tangis. “Nggak baik,” jawabnya lirih, hampir tanpa suara. Ramita mengusap pipi putrinya dengan sayang. “Seharusnya besok kamu menikah,” katanya. “Tapi, Theo udah nggak ada.” Fakta itu membuat air mata Katarina kembali mengalir. Ia masih belum terbiasa hidup dengan fakta menyakitkan seperti itu. Rasanya begitu berat dan sulit menerima bahwa Theo sudah tidak ada di dunia ini. “Kamu harus segera menikah, Katarina,” ucap Mamanya tiba-tiba. “Ma...,” balas Katarina dengan hati pilu. “Ada bayi di dalam perutmu,” kata Mamanya lagi. “Kamu harus segera menikah sebelum perutmu membesar.” “Katarina mohon, Ma. Jangan bahas hal itu sekarang,” kata Katarina. “Mama tahu kamu sayang sama Theo. Kamu cinta sama dia. Dan Mama juga yakin Theo pun sayang sama kamu. Tapi, sekarang kamu harus mulai memikirkan masa depanmu dan bayi di dalam kandunganmu, Katarina.” “Katarina tahu, Ma,” ucap Katarina frustrasi. “Tapi, bagaimana bisa Mama tega bahas hal itu sekarang?” “Mama bukannya tega, Mama hanya mikirin kamu dan keluarga kita, Katarina. Karena setelah ini Theo tidak bisa lagi bertanggungjawab atas anak itu. Lalu, bagaimana dengan nama baik keluarga kita? Apa yang akan orang-orang katakan kalau mereka tahu kamu hamil di luar nikah?” tanya Mamanya menatap Katarina lekat-lekat. “Jangan salah sangka, Mama sungguh berduka atas meninggalnya Theo. Tapi, kamu anak Mama. Kamu perioritas Mama. Sudah kewajiban Mama buat mikirin masa depan kamu karena sudah tidak ada lagi Theo di sini, Katarina.” Ucapan Mamanya benar. Theo sudah tidak ada untuk bertanggungjawab atas bayi yang berada di kandungan Katarina. Tapi, bagaimana mungkin Katarina memikirkan untuk mencari calon suami ketika jasad Theo bahkan belum dimakamkan? Selain itu, mana ada yang mau dengan Katarina jika mereka tahu Katarina sedang mengandung anak orang lain? Sungguh, saat ini Katarina memiliki keinginan untuk menyusul Theo secepatnya. Katarina merasa tidak sanggup menahan beban berat di pundaknya. *** Katarina menatap batu nisan bertuliskan nama Theo. Dan lagi, rasanya masih sulit untuk mempercayai bahwa Theo sudah tidak ada lagi di sisinya. “Kenapa kamu ninggalin aku, Theo,” gumam Katarina lirih. “Kamu bilang kamu cinta sama aku. Tapi, kenapa kamu pergi ninggalin aku?” Katarina memegang batu nisan di hadapannya. Ia berharap wajah Theo lah yang dibelainya. Dulu, jika Katarina rindu dengan Theo, Katarina hanya perlu pergi ke rumahya untuk menemuinya. Atau, Katarina bisa menghubunginya lewat telepon. Tapi, bagaimana dengan sekarang? Apa yang bisa Katarina lakukan ketika rindu melandanya? Katarina tidak lagi bisa bertemu dengan Theo. Dan itu sungguh menyakitkan. “Papa sama Mama udah balik,” kata suara di belakang Katarina. Itu adalah suara Ares. “Kamu mau sampai kapan di sini?” Memang, orang-orang sudah pergi meninggalkan makam Theo. Katarina sendiri merasa belum sanggup untuk berpisah dengan Theo. Rasanya sangat berat untuk beranjak dari sini. “Nanti,” balas Katarina dengan suara serak. “Apa Theo akan baik-baik saja di sana?” Ares mendekat dan berjongkok di sebelah Katarina. “Iya,” jawabnya. “Dia akan baik-baik saja. Dan kamu pun juga akan baik-baik saja nantinya.” “Akan sulit untukku buat baik-baik saja,” balas Katarina. Dengan semua hal yang hilang juga semua hal yang akan datang, rasanya sangat tidak mungkin untuk Katarina baik-baik saja. Kehilangan Theo membuat Katarina merasa kehilangan segala hal baik dalam hidupnya. Ia bahkan tidak tahu lagi apa yang tersisa dalam hidupnya saat ini. Karena ia merasa sangat kosong dan hampa. “Katarina,” panggila Ares terdengar hati-hati. “Karena sekarang Theo sudah nggak ada, aku berniat untuk menggantikan Theo sebagai calon suamimu.” Ucapan Ares itu sontak membuat Katarina menoleh ke arah pria itu. Diamatinya Ares dengan kening berkerut. Wajah Ares tampak tenang seperti biasa. Seolah ucapannya tadi adalah perkataan basa-basi tidak berarti. Katarina kini mulai bertanya-tanya apa dirinya salah mendengar apa yang diucapkan oleh Ares. “Kamu bilang apa?” tanya Katarina bingung. “Besok kita menikah.” “Menikah? Aku dan kamu?” tanya Katarina lagi dengan nada tidak percaya. “Kamu bercanda? Kamu sedang membuat lelucon di hadapan makam Theo? Nggak lucu, Ares.” “Apa menurutmu aku orang yang suka bercanda?” balas Ares dengan eskpresi dingin. “Aku ngajakin kamu nikah bukan karena aku cinta sama kamu atau aku nggak tahu diri dan sebagainya. Aku tahu kamu tengah hamil anak Theo. Kamu memang sudah seharusnya segera menikah sebelum kandunganmu membesar. Dan aku rasa, kamu nggak punya pilihan lain kan?” Katarina membelalakkan mata mendengar ucapan Ares. Ia tidak menyangka jika Ares tahu bahwa dirinya tengah hamil anak Theo. “Aku akan bilang ke Mama dan Papa untuk tidak membatalkan acara pernikahan besok. Aku juga akan bilang ke orang tuamu untuk meminta restu.” “Ares,” kata Katarina cepat-cepat. “Aku rasa—” “Ini yang aku bisa lakukan buat Theo, Katarina. Buat Theo dan buat anak Theo. Aku akan menggantikan tanggungjawab yang kamu harapkan dari Theo. Hanya ini yang aku bisa lakukan,” kata Theo memotong ucapan Katarina. “Sebaiknya kita segera pulang. Langit udah mulai mendung, kayaknya sebentar lagi akan turun hujan.” Dengan begitu Ares bangkit dari posisi jongkoknya lalu berjalan meninggalkan Katarina yang masih terpaku di tempatnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN