Udara panas pukul 06.30 begitu menyengat, saat para siswa tengah berdiri menyampingi matahari dengan banjiran peluh keringat dan gerah. Upacara.
Sementara para dewan guru, berdiri dengan nyaman ditempat teduh yang terhalang gedung sekolah. Bagi Bambang itu nampak egois, jika ia melihat dari sisi humanis, tapi dari bingkai pendidikan itu mengajarkan sifat kuat dan disiplin.
Bambang berdiri dibarisan para guru, menyaksikan upacara yang setiap senin pagi dilakukan. Sejak tadi kakinya sudah kesemutan, apalagi sangat lama mendengarkan amanat dari kepala sekolah.
Kepala sekolah bercerita banyak hal, mulai soal petugas upacara, disiplin jam masuk, hingga kebersihan lingkungan. Bambang sesekali menguap, sambil melirik jam ditangan kanannya yang tak bergerak sedikitpun. Seakan relativitas ruang dan waktu berhenti.
"Baik, mungkin sedikit itu saja yang dapat saya sampai. Sebenarnya masih ada yang perlu saya katakan, mungkin lain kali. Assalamualaikum." Ucap Kepala Sekolah kemudian menutup amanatnya.
Upacara di teruskan, setelah menyiapkan, pembacaan doa, para guru meninggalkan tempat.
Setelah itu upacara benar-benar selesai. Bambang berjalan perlahan menuju ruang kantor, sambil mengocek ponsel miliknya, memeriksa jika ada pesan.
Saat tengah sibuk itulah, seseorang menepuk pundaknya, dengan refleks Bambang memasukkan ponselnya ke dalam saku belakang celana dan menoleh.
Bambang mendapati Yunus tengah memperhatikannya.
"Pak Bambang mau kemana?" Tanya Yunus.
"Saya mau ke kantor Pak Yun, kenapa?" balik tanya Bambang, dengan wajah tak ramahnya.
"Ikut saya merazia rambut dan pakaian anak-anak, yuk."
Bambang mengangguk. Setelah itu Yunus berjalan menuju kantor untuk mengambil sesuatu, sementara Bambang masih diaula dan kembali memeriksa ponselnya.
Tak berapa lama Yunus kembali dengan dua gunting, satunya dia beri pada Bambang. Sesuatu hal yang Bambang suka, meskipun sejak sekolah dulu ia tak pernah mendapat razia rambut.
Yunus dan Bambang berjalan menuju lapangan tempat upacara tadi, ternyata sudah ada banyak para siswa laki-laki yang berkumpul disana, menunggu satu-persatu di eksekusi kejamnya gunting milik Yunus.
"Ayo, buka topi kalian! Rambut yang lebih dari tiga jari akan bapak potong, dan dikenakan sanksi jika besok tidak memendekkannya!." Teriak Yunus didepan micropone.
Para Siswa harap-harap cemas, sambil memegang rambutnya yang mulai menkilat karena perpaduan antara pomade dan matahari.
Yunus dan Bambang mulai bergerilya, memeriksa satu demi satu mereka, menarik rambut mereka dan mulia memotong rambut siapa yang panjang.
Ritual yang selalu ada disetiap sekolah, sementara perempuan akan diperiksa apakah rambutnya didekorasi dengan warna lain atau tidak.
Hal itu seperti mengambil hak mereka, tapi dalam berpendidikan disiplin dan bersih adalah hal penting, agar nampak bahwa mereka terpelajar dan bermartabat bukan hanya tempelan seragam.
Yunus dengan lincah menggerakkan tangannya yang terlatih untuk memotong rambut siswa secara acak dan berantakan, sementara Bambang malah agak canggung karena tak tega dengan mereka, meskipun ia suka melakukan hal itu.
Bambang memeriksa beberapa rambut muridnya, meskipun terlihat panjang tapi Bambang tak memotongnya, hanya melihat sekilas.
Lima belas menit berlalu sejak ritual itu, jam masuk pertama berbunyi, semua siswa menarik napas lega bagi mereka yang belum tersentuh tangan Yunus.
Para Siswa berhamburan meninggalkan lapangan dan menuju kelas masing-masing, sementara Bambang dan Yunus membersihkan diri dikran air karena bekas minyak dan potongan rambut.
Keduanya kemudian berjalan kembali masuk kedalam kantor.
Baru saja Bambang sampai di kantor, ia melihat Malik tengah berbincang serius dengan siswa dan siswi dari kelasnya, Bambang mengenal mereka, Riswan dan Novi.
"Pak Bambang, sampean wali kelas mereka, kan?" Ucap Malik, Bambang memperhatikan kedua lalu mengangguk. "Coba ditegur mereka, kelakuan mereka itu gak pantas."
"Maksudnya, Pak? Mereka pacaran?" Tanya Bambang, mengambil kursi lalu duduk menghadap ketiganya.
"Lebih dari itu, Pak. Coba bapak lihat ini." Malik menunjukkan ponselnya, yang berisikan sebuah video anak muridnya melakuakan hal tak senonoh. Sebenarnya bukan hanya mereka tapi ada empat murid lainnya. Beberapa detik kemudian Malik mengambil dan menutup ponselnya kembali. "Gimana?"
"Eng... Hanya kenakalan remaja." Ucap Bambang bingung harus berkata apa, karena memang sudah jelas itu perbuatan yang tidak baik.
"Kenakalan gimana Pak, sudah jelas itu buruk. Berjoget e****s lelaki dan perempuan berdempetan sambil direkam, lagian siapa yang membolehkan meraka bawa Ha-pe. Coba sesekali diperiksa mereka." Cerca Malik dengan omongannya yang tak bisa berhenti, sementara Bambang tetap bingung haus mengatakan apa.
"Wan, kamu bawa ha-pe sekolah? Kan dilarang." Tanya Bambang pada Riswan yang sejak tadi menggigit bibir bawahnya. Riswan menggeleng. "Terus itu ha-pe siapa?"
"Itu punya saya, Pak." kata Novi mengaku, siswi itu masih menunduk kemudian menatap parau wajah Bambang, karena tak berani melihat ke arah Malik.
"Kenapa Novi bawa?"
"Sebenarnya itu sudah diluar jam sekolah, Pak. Kami cuma main-main sambil nunggu ekskul." Ujar Riswan mulai bercerita.
"Ekskul apa?" Tanya Malik dengan nada ketus, matanya melotot hingga ingin lepas.
"English club, Pak." Jawab Riswan.
"Miss Hanum pembimbingnya?" Kembali tanya Bambang, keduannya mengangguk.
"Miss Hamun!" Teriak Malik dengan urat lehernya yang berkabel. Miss Hanum yang berada di ruang TU dengan pak Lukman, datang karena teriakan itu. "Ini katanya video ini mereka buat pas ekskul Miss. Miss nyuruh mereka bawa ha-pe?"
"Loh-loh kok bapak menyalahkan saya, saya menyuruh bawa ha-pe ada waktunya. Dan biasanya ha-pe mereka kumpul kesaya sebelum pulang, lagi pula sudah sebulan saya gak ada pembelajaran yang mengharuskan bawa ha-pe. Bawa urus gih, saya mau ngurus beasiswa anak-anak sama Pak Lukman." Ucap Miss Hanum tak terima dengan apa yang dikatakan Malik, setelah itu ia berlalu pergi menuju ruang TU kembali.
Malik mendengus melihat kecuekan Miss Hanum, sikapnya mirip Bambang yang seperti biasanya tak peduli.
"Sudah Pak, Sudah." Ujar Bambang mengelus pelan pundak kiri Malik sebagai tanda sabar. "Biar saya yang berbicara dengan mereka, kasihan mereka kalau ditekan. Kalau memang kelakuanya tidak berubah. Kita bisa panggil orang tuanya."
Malik mengangguk, masih menahan sakit hati bercampur kesal. Semua guru seakan cuek tentang video murid-murid yang tersebar, padahal itu bisa memburukkan nama sekolah. Bahkan Bambang menganggap itu hal biasa, hanya kenakalan remaja.
Bambang berlalu pergi, setelah mengatakan ingin membawa mereka masuk kedalam kelas, dan akan berbicara empat mata pada mereka.
Ketiganya berjalan keluar kantor, melewati aula dan menyusuri lorong sekolah.
Bambang menarik napas perlahan. "Bapak sebenarnya pengen marah sama kalian, karena perbuatan kalian itu tidak baik. Boleh berjoget, boleh bermain aplikasi begituan, boleh direkam, tapi usahakan jangan disebar"
"Saya gak nyebar Pak." kata Riswan.
"Novi juga enggak."
"Iya kalian enggak nyebar, tapi keempat teman kalian bagaimana? Belum tentu kan. Bersikap baik ya, kalian sudah kelas dua belas, kalau kepala sekolah mengeluarkan kalian bisa-bisa tidak ada sekolah yang menerima kalian, karena sudah tidak ada batas waktu yang tersisa."
Riswan dan Novi mengangguk, saat mereka sampai didepan kelas. Bambang menyuruh mereka masuk dan mengikuti pelajaran yang tengah dilakukan Ayumi. Setelah itu Bambang pergi.
Bambang kembali menghembuskan napas beratnya. Pendidikan dan sekolah jaman modern itu terhimpit teknologi yang semakin canggih dan membuat candu.
Melarang anak-anak menggunakan ponsel di sekolah, mungkin seperti mengambil hak mereka, apalagi informasi pembelajaran dapat diakses dengan cepat. Tapi, kadang dampak buruk ponsel itu lebih banyak.
Selain itu ditambah dengan jiwa mereka yang masih remaja, jiwa pemberontak dan merasa tak terima, semakin dilarang bukan semakin membantah tapi mereka menginginkan alasan yang jelas kenapa mereka dilarang.
Jika alasan mengganggu pembelajaran, mereka bisa memberi alasan, ponsel akan dimatikan atau diredam suaranya. Berbicara dengan remaja bukan dengan keras, tapi pendekatan yang lebih tenang.