CEMBURU

1000 Kata
Sepanjang hari itu mood Ethan sedikit kurang baik. Entah karena pagi tadi melihat Bian melirik Zalina atau karena pekerjaannya yang memang sangat banyak hari ini. Sementara itu Zalina sendiri begitu tegang sepanjang hari karena Ethan tidak bisa membiarkannya duduk tenang. Apa lagi setelah telepon di meja Zalina diperbaiki tak hentinya ia menelepon hanya sekadar menanyakan hal yang menurut Zalina kurang penting. "Mbak Tuti, boleh saya minta es teh manis?" pinta Zalina melalui telepon. Tuti yang sedang berada di pantry langsung mengiyakan permintaan Zalina. Setelah menutup telpon ia pun langsung menyiapkan permintaan Zalina dan membawa ke meja gadis itu. "Cape ya, Mbak Lina? Dari tadi saya lihat mondar mandir terus." "Iya, Mbak. Hari ini banyak sekali pekerjaan." "Belum makan siang?" "Pak bos aja makan di ruangan tadi. Mana berani saya turun ke kantin untuk makan. Untung saya bawa bekal roti dari rumah. Lumayan buat ganjel laper." Tuti terkikik geli, Ethan memang sudah biasa seperti itu. "Lain kali, kalau mau minta diambilkan makan siang, telpon saya aja di pantry. Nanti saya akan bantu ambilkan," kata Tuti. Wajah Zalina pun berbinar seketika. "Makasih ya Mbak." "Iya, saya balik ke pantry ya." Wanita bertubuh sedikit gemuk itu pun segera meninggalkan meja Zalina. Sementara Zalina langsung meminum es teh manisnya. Ah, segar sekali rasanya. Sejak tadi ia sudah merasakan haus dan lelah. Setidaknya es buatan Tuti meringankan sedikit dahaganya. Tiba-tiba saja, pintu ruangan Ethan terbuka dan lelaki bertubuh tinggi itu muncul dari balik pintu. "Saya ada urusan, tolong selesaikan semua berkas laporan. Besok pagi sudah ada di meja kerja saya," kata Ethan. "Baik, Pak." Lelaki tampan itu pun segera melangkah pergi sementara Zalina hanya menghela napas panjang melihat tumpukan laporan yang harus ia kerjakan. "Sepertinya aku harus lembur hari ini," gumam Zalina. Gadis itu merentangkan tangannya sejenak, lalu menarik napas perlahan. "Ayo, semangat Zalina!" katanya. Dan ia pun mulai bekerja kembali. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul enam sore saat Zalina menyelesaikan seluruh pekerjaannya. Ia pun membereskan mejanya terlebih dahulu. Baru ia merapikan semua laporan yang Ethan minta dan meletakkan di meja kerja bosnya itu. Setelah semua selesai, gadis cantik itu pun meraih tasnya dan melangkah pulang. Suasana kantor sudah sepi, hanya tinggal beberapa karyawan di bagian gudang yang masih ada di lantai satu. Zalina pun berjalan menuju halte bis yang tidak jauh dari kantornya itu. Namun, setelah tiga puluh menit, bis yang ia tunggu belum juga datang. Gadis itu mulai cemas dan juga lapar. Siang tadi, ia hanya sempat makan roti isi buatannya dan belum sempat makan apa pun lagi. TIN!TIN! Zalina menoleh dan mengerutkan dahi saat melihat sebuah mobil Fortuner berhenti tepat di hadapannya. Namun, saat kaca mobil terbuka ia langsung tersenyum dan mengangguk. "Zalina, kan?" "Betul, Pak." "Belum pulang?" "Saya sedang menunggu bis, Pak Bian." Pengemudi mobil itu yang tak lain adalah Bian langsung turun dan menghampiri gadis cantik yang sejak pagi tadi sudah menarik perhatiannya itu. "Ayo saya antar, Lina. Saya bukan orang jahat kok." "Nanti merepotkan, Pak. Lagipula-" KRUUUUK! Belum selesai dengan kalimatnya tiba-tiba saja perut Zalina berbunyi cukup keras. Kontan saja Bian tertawa terbahak-bahak. Sementara wajah Zalina memerah. Ia sangat malu karena ketahuan jika dirinya sedang kelaparan. "Duh, suara apa itu? Kamu lapar? Ya sudah ayo sekalian saya juga belum makan. Sekalian saya antar pulang." Zalina masih ingin bersikeras menolak, tetapi Bian menarik tangannya hingga gadis itu pun tidak bisa menolak lagi. "Rumahmu di mana?" tanya Bian setelah mereka berdua di dalam mobil.Zalina menyebutkan alamat rumahnya dan Bian pun mengangguk. "Kebetulan searah, kok. Tapi, kita makan dulu, ya. Sejak siang, saya ada di proyek dan belum sempat makan. Tidak enak jika saya hanya makan sendirian," kata Bian. "Maaf, tapi apa istri Anda tidak akan marah? Saya nggak mau nanti jadi fitnah trus ada yang labrak saya, Pak." Tawa renyah Bian pun kembali terdengar. Ternyata memang gadis ini sangat polos. "Saya belum punya istri. Masih jomblo, gimana dong?" jawabnya sambil terkekeh geli. "Ya, saya kan harus berhati-hati, Pak," kata Zalina membela diri. "Saya paham, itu tandanya kamu adalah gadis baik-baik. Oya, suka makanan Itali? Di sini spagettinya enak sekali. Yuk, kita makan dulu," kata Bian. Lelaki itu menghentikan mobilnya di sebuah restoran Italia yang cukup mewah. Ia pun mengajak Zalina turun. Zalina hanya bisa menurut saja, perutnya juga memang sudah sangat kelaparan. Ia pun membiarkan Bian yang memilihkan menu untuknya. Karena restoran itu juga sedang tidak terlalu ramai, pesanan Zalina dan Bian pun datang. Namun, saat hendak mulai makan, kedua netra Zalina menangkap sosok yang ia kenal memasuki restoran itu dengan keluarganya. Siapa lagi jika bukan Ethan. "Aduh!" gumamnya lirih. "Kenapa?" tanya Bian. "Itu sepertinya Pak Ethan dan keluarganya, Pak." Bian pun menoleh dan saat itu bertepatan dengan tatapan Ethan yang kebetulan juga melihat ke arah mereka. Bian pun langsung melambaikan tangan sementara Ethan hanya mengangguk. "Kamu kelihatannya takut kepada Ethan?" tanya Bian. "Nggak, hanya saja saya merasa kurang enak." "Kalau begitu ya dienakin aja Lina," kekeh Bian geli. Zalina pun meneruskan makannya dengan hati yang sedikit berdebar. Ia merasa tidak enak dengan kehadiran Ethan dan keluarganya. Maka dari itu ia pun segera meminta Bian untuk langsung pulang setelah makanan mereka habis. Untung saja meja mereka sedikit jauh sehingga Zalina merasa tidak perlu datang ke meja Ethan. Apa lagi saat ini ia sedang bersama dengan keluarga besarnya. Tentu tidak mau jika diganggu. Zalina juga merasa sangat sungkan karena sepanjang hari tadi Ethan bersikap sangat dingin kepadanya. Bian yang mengerti dengan kecemasan Zalina pun langsung membayar makanan mereka dan mengajak Zalina pulang. "Maaf Lina, saya nggak tau kalau Ethan juga akan makan di sana. Itu memang restoran favorit saya," kata Bian saat mereka sudah berada di dalam mobil. "Nggak masalah kok, Pak. Terima kasih, saya sudah ditraktir makan, diantar pulang juga," jawab Zalina dengan ramah. "Lina, bisa nggak jangan panggil saya pak? Umur saya baru tiga puluh dua tahun dan saya belum menikah. Panggil saja saya Mas, toh dirimu kan bukan karyawan saya juga," pinta Bian. Zalina menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum simpul. "Ngga e-" "Nggak enak sama siapa?" tanya Bian memotong perkataan Zalina membuat gadis itu terkikik geli.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN