"Qiran... Ditunggu Pak. Hilman di ruangannya." Ucap salah seorang mahasiswi pada dirinya. Tapi tatapan itu... Qiran sadar betul, sebuah tatapan jijik dan menghina pada dirinya.
Lagi-lagi telinga Qiran dipenuhi dengan desas-desus tentang keburukan dirinya. Sungguh Qiran merasa kesal dan marah. Mengapa semua orang lebih percaya pada Citra? Mungkinkah karena selama ini dia telah menjadi pribadi yang sangat menyebalkan? Dan saat ini adalah momen yang pas untuk membalas dendam padanya. Sungguh Qiran menyesal, mengapa tidak dari dulu dia menjadi pribadi yang menyenangkan saja.
Tapi sudahlah...
Nasi sudah menjadi bubur. Dan jangan katakan bubur tidak enak. Tinggal kita habiskan, lalu memasak nasi yang baru saja. Bukankah begitu? Qiran merasa semua orang pun akan memiliki sisi buruk dan kondisi terburuknya. Jadi wajar jika seseorang akan lebih tertarik akan sisi buruk orang lain demi membahagiakan dirinya. Hal buruk pada diri seseorang akan menjadi Medan magnet bagi orang lain di sekelilingnya.
Jujur saja ingin sekali Qiran berteriak. Dan mengatakan bahwa dia tidak seburuk yang orang lain pikiran. Kalau toh dulu Qiran bukan pribadi yang menyenangkan, setidaknya sekarang Qiran mau berubah. Qiran ingin menggapai kehidupan barunya. Menjadi sosok yang menyenangkan untuk semua orang.
Tak terasa bulir bening di sudut matanya mulai menetes. Dan Qiran segera mengusapnya dengan kasar lalu bangkit dari kursinya untuk menemui Rektor. Langkahnya gontai, mengapa di saat dia ingin berubah masalah datang? Mengapa tak ada yang mau mendukung perubahannya.
Rayza...
Dalam kondisi sedih seperti ini Qiran butuh Rayza. Pria menyebalkan tapi tulus padanya. Qiran ingin pulang dan menangis kuat.
TOK... TOK... TOK...
Qiran mengetuk ruangan Rektor.
"Masuk." Ucap seseorang di dalam ruangan.
Dengan jantung berdebar Qiran memberanikan diri masuk ke dalam ruangan. Bukan satu dua kali Qiran datang menemui pria paruh baya itu. Tapi entah mengapa rasanya kali ini berbeda. Qiran benar-benar takut jika dia harus di skors di hari pertamanya ingin menjadi sosok yang lebih baik. Jika dulu dia ingin diskors sebagai ajang pencarian perhatian pada Papinya. Sekarang justru dia takut mengecewakan seseorang yang bahkan baru dia kenal beberapa hari.
"Qiran..." Ucap pria itu sambil menggelengkan kepalanya. Sungguh Hilman heran dengan gadis yang satu ini. Mahasiswi yang selalu saja berulah. Bahkan dia sendiri sudah bosan dan bingung harus menasihati gadis cantik ini dengan apa.
"Ya Pak..." Ucap Qiran menunduk. Baru kali ini dia merasakan takut yang teramat sangat.
Sedangkan Pak Hilman merasa aneh dengan sikap Qiran. Gadis yang biasanya bersikap acuh dan tak pernah takut, hari ini menundukkan kepala di hadapannya. Hingga membuat Hilman merasa begitu penasaran. Bahkan dia sempat berpikir, apakah benar rumor panas di pagi hari ini benar adanya? Qiran, putri pengacara terkenal menjadi sugar babby?
"Pagi-pagi saya sudah dibuat terkejut atas ramainya sosial media kampus yang menyatakan bahwa kamu seorang sugar babby. Apa itu benar?" Tanya Hilman pada mahasiswi cantik di hadapannya.
Mendengar ungkapan sang rektor membuat Qiran segera mengangkat wajahnya. Ini sesuai dugaannya. Berita buruk memang mudah berkembang pesat.
"Tidak Pak... Itu fitnah." Ucap Qiran bergetar. Sungguh dia ingin menangis kali ini. Qiran begitu takut tak ada yang mau percaya padanya.
"Kau bahkan menganiaya salah satu mahasiswi di sini hingga bibirnya pecah." Ucap Hilman dingin.
Qiran kembali menunduk. Dia sudah tahu konsekuensinya. Mungkin saat ini juga dia akan diskors. Yang Qiran pikirkan saat ini, apa yang harus dia katakan pada Rayza. Bahkan di hari pertama kuliahnya harus diskors. Padahal pria itu sudah berbaik hati membiayai kuliahnya.
Tubuh Qiran bergetar. Gadis itu menangis di hadapan rektornya. Bahkan Hilman yang biasanya melihat sikap angkuh dan tak peduli Qiran hanya bisa bingung karena baru pertama kali melihat Qiran menangis.
"Jadi kau benar telah menjadi Sugar babby? Astagfirullah... Saya rasa, saya akan mengeluarkan kamu dari kampus ini." Ucap Hilman.
Qiran menatap rektornya dengan tatapan sendu. Sungguh dia tak mau dikeluarkan. Dia masih ingin kuliah. Dia ingin berubah. Dan dia bukan seorang sugar babby seperti yang orang-orang bilang.
"Sumpah demi apapun. Saya bukan Sugar babby. Apa yang harus saya lakukan agar anda percaya?" Ucap Qiran menangis pilu.
"Ini Surat penyataan bahwa kau sudah bukan mahasiswi kampus ini lagi." Ucap Hilman.
Mengabaikan rasa malu dan harga dirinya, Qiran segera berlutut di hadapan rektornya. Sungguh dia bingung apa yang harus dia lakukan agar rektornya percaya.
"Saya mohon... Hiks... Tolong percaya pada saya, saya bukan perempuan murahan yang menjajakan diri saya pada om-om... Hiks... Tolong... Saya mohon..." Ucap Qiran semakin terisak pilu.
"Qiran... Saya bahkan sudah tak tahu harus menasihati dirimu dengan cara apa. Surat peringatan sudah sering saya berikan karena kau selalu berbuat onar. Bertengkar sana-sini. Dan hari ini saya pikir. Kau akan berubah lebih baik jika pindah ke universitas lain." Ucap Hilman menyodorkan sebuah amplop putih kepada Qiran.
"Pak saya mohon jangan keluarkan saya. Saya akan membuktikan bahwa saya bukan seorang sugar babby. Saya akan buktikan." Ucap Qiran.
"Sekalipun kau membuktikan, nyatanya kau sudah mencemari nama baik universitas ini. Saya tidak bisa mentolerir hal itu. Silakan kau pulang." Ucap Hilman.
"Hiks... Pak... Saya mohon." Ucap Qiran terisak.
"Silakan keluar dari ruangan saya."
"Pak saya mohon... Hiks... Jangan keluarkan saya... Pak... Hiks... Saya mohon..." Qiran semakin terisak. Baru kali ini dia merasa kecewa karena tak ada yang mau mempercayai dirinya. Sungguh dia tak ingin keluar dari universitas ini kecuali karena kelulusan dengan nilai baik. Mengapa di saat Qiran ingin berubah, kondisi tak mau berpihak padanya? Bahkan saat ini Qiran membuang jauh-jauh gengsi demi tidak dikeluarkan dari kampusnya.
Sejujurnya melihat sikap Qiran yang jauh berbeda dengan biasanya membuat Hilman tak tega. Tapi informasi tentang ayam kampus yang sedang booming membuatnya khawatir akan nama baik universitas tempat dia menjadi Rektor. Terlebih lagi para mahasiswa dan orang tua akan mendemo universitas ini jika kondisi itu adalah nyata. Tapi jauh di lubuk hatinya. Sungguh antara percaya tidak percaya. Bagaimana mungkin putri seorang pengacara terkenal menjadi sugar babby?
"Baiklah..." Ucap rektor tersebut tertahan.
Seolah mendapat angin segar, Qiran segera bangkit berdiri. Dia menatap sang rektor dengan tatapan memelas. Berharap sang rektor mau berubah pikiran.
"Saya mohon Pak... Hiks..." Ucap Qiran kembali memohon.
"Saya tidak akan mengeluarkan mu sekarang. Tapi kau tetap di skorsing selama 1 bulan. Dan apabila dalam satu bulan kau tidak bisa membuktikan kebenarannya, mau tidak mau kau akan tetap di keluarkan secara tidak terhormat." Ucap Hilman membuat Qiran sedikit bernafas lega.
"Silahkan pulang." Ucap sang rektor mengusir Qiran tanpa belas kasihan.
"Terima kasih Pak... Saya permisi." Ucap Qiran menunduk hormat kemudian melangkahkan kakinya dengan gontai ke arah pintu. Baru saja Qiran memutar kenop pintu, rektornya kembali bicara.
"Jangan kembali membuat onar jika kau tak ingin saya keluarkan." Ucap Hilman. Sedangkan Qiran hanya mengangguk.
"Ya Pak... Terima kasih." Ucap Qiran kemudian keluar dari ruangan itu.
Dan rupanya di depan ruang rektor sudah banyak mahasiswa dan mahasiswi yang penasaran. Mereka menatap Qiran dengan tanda tanya besar di kepala mereka. Tapi tatapan mata mereka jelas merendahkan Qiran. Qiran tak tahan ditatap seperti itu. Dan akhirnya dia memilih menunduk kemudian berjalan menerobos kerumunan. Entah ke mana perginya rasa percaya diri dan tak pedulinya selama ini. Yang jelas Qiran hanya ingin menjadi pribadi yang lebih baik. Salah kah?
PLUK...
Dan baru beberapa langkah Qiran berjalan. Tiba-tiba ada yang melempar dirinya dengan kertas yang digumpal. Kemudian puluhan kertas berterbangan di sekelilingnya. Dan semuanya diarahkan untuknya.
PLUKK... PLUKK... PLUKK...
PLUKK... PLUKK... PLUKK...
PLUKK... PLUKK... PLUKK...
Qiran mengangkat lengannya agar kertas yang berterbangan itu tak mengenai wajahnya. Dan kali ini...
BRUKK...
BYUURR...
Ada yang melempar dirinya dengan minuman. Tubuh Qiran pun basah seketika. Bahkan ada yang sengaja menyiram tubuhnya dengan air mineral. Baru kali ini Qiran merasa sangat terhina. Apalagi di ujung koridor dia melihat Citra yang tersenyum melihat Qiran menderita. Sedangkan di sudut lain, Qiran melihat Satria yang menatapnya benci. Padahal selama ini netra hitam Satria selalu memandang penuh kasih padanya.
Qiran pun membuang wajahnya kemudian berlari keluar dari universitas yang selama ini menjadi tempatnya berbuat onar. Qiran menyesal akan sikapnya yang dahulu. Hingga di saat seperti ini tak ada yang mau menolong dirinya. Qiran pun menangis pilu.
Qiran memuaskan dirinya dengan menangis. Gadis cantik itu duduk menyendiri di sebuah halte dekat universitasnya. Tubuhnya bergetar hebat karena rasa sedih dan menyesal yang bercampur menjadi satu.
"Hiks... Hiks... Kenapa ga ada yang mau percaya sama gue..." Tangis Qiran semakin pecah.
Di saat Qiran menangis pilu, ada seseorang yang menghampirinya. Seorang pria tampan dengan netra hitam yang teduh. Pria itu hanya diam dan mendudukkan dirinya di samping Qiran. Sedangkan netra hitamnya lekat menatap gadis yang sibuk menangis. Hingga akhirnya Qiran menyadari kehadirannya.
"Kok kamu di sini?" Tanya Qiran terkejut melupakan tangisannya saat menoleh ke samping.
"Menangis lah jika menangis membuatmu lega." Ucap pria itu membuat tangis Qiran kembali pecah.
"Hiks... Hiks... Hiks... Aku... Hiks... Hiks..." Tangisan Qiran begitu pilu bahkan sampai tak sanggup berkata-kata. Qiran segera memeluk tubuh pria itu hingga sang pria mau tak mau menerima pelukan Qiran walau jantungnya bergemuruh.