Qiran terpaku cukup lama menatap pria di hadapannya. Pria berkulit coklat dengan alis tebal dan tatapan mata yang tajam tapi memiliki kharisma tersendiri. Seolah memiliki Medan magnet begitu kuat untuk tidak melepas pandangan padanya. Melihat Qiran yang terpaku, entah terkejut atau terpesona terhadapnya membuat pria itu tersenyum manis. Senyuman yang sangat menawan dengan lesung pipi di pipi kanannya. Dan Qiran masih diam membisu dengan tatapan yang membuat Rayza ingin terkekeh karena begitu lucu.
"Assalamualaikum..." Ucap pria itu mengulang salamnya. Hal itu sukses membuat Qiran kelabakan dan salah tingkah. Tapi itu hanya sesaat.
"Em... Waalaikum salam..." Ucap Qiran menjawab salam pria itu sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal sama sekali. Dan setelahnya Qiran kembali memasang wajah garang seperti biasanya saat bicara dengan dokter tampan di hadapannya.
"Kok Dokter tahu rumah saya?" Tanya Qiran tanpa basa basi. Wajahnya ditekuk sedemikian rupa. Berharap ekspresi yang muncul adalah ekspresi yang menakutkan. Tapi bagi Rayza itu sama sekali tidak menakutkan melainkan menggemaskan. Dan hal itu malah membuat Rayza terkekeh pelan.
"Tumben panggil Dokter, biasanya panggil nama." Ucap Rayza kembali menampilkan senyuman menawan yang sangat jarang dia berikan pada orang lain kecuali keluarganya.
"Panggil nama dibilang songong, giliran panggil dokter dibilang tumben. Maunya apa coba? Mana ga jawab pertanyaan aku lagi." Ucap Qiran mendengus kesal.
"Aku tidak pernah bilang songong. Aku bilangnya tidak sopan. Kamu tidak mempersilakan aku masuk?" Ucap Rayza lembut. Dan lagi-lagi senyum itu sukses membuat jantung Qiran bermaraton.
"Tamu tak diundang. Lagian tadi kan kamu belum jawab pertanyaan aku. Tau dari mana alamat rumah aku? Kamu jadi penguntit sekarang?" Ucap Qiran cemberut. Dia berharap bisa melarikan diri tapi nyatanya pria itu dengan mudah menemukannya. Sungguh Qiran merasa kesal.
"Itu hal mudah buat aku. Kamu ga perlu tahu aku dapat informasinya dari mana. Sudah terbukti dong aku serius sama kamu. Mana ayah kamu? Sekalian aja aku minta restu. Bukankah lebih cepat lebih baik?" Ucap Rayza percaya diri.
"Eh enak aja. Sana pulang! Pulang! Cepat pulang!" Ucap Qiran mendorong d**a bidang pria di hadapannya dengan sekuat tenaga. Berharap pria itu bisa bergeming dan pergi darai hadapannya. Bila perlu pergi dari kehidupannya.
"Sabar dong Sayang. Kita belum nikah. Belum muhrim jadi ga boleh pegang-pegang d**a aku dulu." Ucap Rayza mundur kemudian menyilang kan tangan di depan d**a, seolah sedang melindungi tubuhnya dari sentuhan wanita itu.
Hal itu membuat Qiran menatap Rayza jijik. Sungguh Qiran merasa emosinya sedang dipermainkan. Pria ini pandai sekali membuat dadanya kembang kempis karena marah. Qiran tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika mereka menikah. Sungguh Qiran tak ingin membayangkannya. Dengan penuh amarah Qiran segera menutup pintu depan kasar hingga menciptakan suara debuman yang membahana.
"Siapa yang datang Qiran?" Tanya Martin tiba-tiba membuat Qiran terkejut karena posisi sang papi tepat dibelakangnya.
"Bukan siapa-siapa. Orang nyasar." Ucap Qiran asal.
"Mana ada orang nyasar sampai depan pintu. Kalau orang nyasar sudah sadar saat di depan gerbang. Kan ada satpam." Ucap Martin bergerak maju dan meraih gagang pintu.
"Jaangaaannnm!!!!!" Teriak Qiran membuat Martin terkejut dan langsung menutup daun telinganya.
"Astagfirullah hal adzim... Qiran." Ucap Martin mengelus d**a.
"Maaf Papi. Tapi aku mohon jangan dibuka. Ada orang gila." Ucap Qiran.
"Kamu kan tahu Papi punya penyakit jantung. Kamu mau Papi mati terkejut karena teriakan kamu? Astagfirullah hal adzim... Lagi pula jika orang gila yang datang akan langsung diusir sama satpam. Jangan mengada-ada deh." Ucap Martin dan langsung menarik kenop pintu untuk mempersilakan masuk tamu yang berdiri tepat di depan rumahnya.
"Assalamualaikum..." Ucap Rayza sangat sopan.
"Waalaikum salam... Owh ini orang gilanya ya Qiran. Kok ganteng? Emang ada ya orang gila seganteng ini?" Ucap Martin meledek putrinya.
Rayza pun terkekeh melihat ekspresi Qiran yang terkejut hingga membulatkan matanya akibat ucapan sang Papi.
"Iya ini orang gilanya. Makanya tutup aja pintunya." Ucap Qiran kesal kembali meraih gagang pintu.
"Ga boleh gitu dong Sayang. Papi percaya kok dia bukan orang gila. Ga mungkin kan orang gila pakai jas putih kaya dokter?" Ucap Martin membuat Rayza mengembangkan senyum ke arah Qiran. Dan hal itu membuat Qiran semakin kesal.
"Ya siapa tau dia dokter rumah sakit jiwa yang ketularan pasiennya." Ucap Qiran ketus.
"Kamu dokter rumah sakit jiwa?" Tanya Martin berpura-pura tak mengenal Rayza.
"Bukan Om... Saya Dokter spesialis jantung yang sekarang sedang terkena serangan jantung karena jatuh cinta pada putri anda. Denyut nadi saya selalu lebih cepat saat di dekat Qiran. Perkenalkan nama saya Rayza." Ucap Rayza sopan membuat Martin tertawa karena guyonan pria di hadapannya. Tak menyangka Rayza memiliki susunan kata yang sangat apik untuk mengenalkan diri.
"Wah... Cocok jadi menantu saya. Saya punya riwayat penyakit jantung. Sepertinya saya bisa memiliki dokter pribadi jika Anda jadi menantu saya." Ucap Martin terkekeh.
"Papi apa-apaan sih!?!?" Teriak Qiran kesal.
"Tapi memangnya kamu siap menghadapi singa betina seperti ini?" Tanya Martin menunjuk Qiran.
"Papi!?!?" Teriak Qiran kembali.
"Siap dong Om. Sepertinya kami akan membuat kolaborasi yang sangat baik jika sudah menikah." Ucap Rayza membuat Martin menepuk bahunya.
Sedangkan Qiran merasa suaranya tak pernah di dengar. Qiran sendiri tak bisa memahami jalan pikiran papinya. Bagaimana mungkin sang Papi dengan mudahnya menerima Rayza yang baru saja bertemu hanya karena ucapan receh pria itu. Tapi jika Qiran berdebat sekarang pun percuma, karena Papinya sudah terlanjur menyukai Rayza. Qiran pun menghentakkan kakinya dengan keras kemudian pergi ke kamar.
Setelah Qiran pergi dan berhasil menutup pintu kamarnya dengan kasar Martin dan Rayza pun tertawa bahagia. Akhirnya mereka sudah tidak perlu berpura-pura saling tak mengenal.
"Ayo masuk!" Ucap Martin.
"Terima kasih Papi." Ucap Rayza.
"Terima kasih sudah menjaga Qiran selama ini. Qiran banyak berubah. Gadis itu bersikap lebih manis. Bahkan dia memamerkan kemampuan memasaknya. Kau ingin mencicipi masakan Qiran?" Tanya Martin antusias.
"Saya baru saja makan. Sebaiknya untuk anda saja. Supaya bisa jauh lebih mencintai Qiran sebagai putri anda." Ucap Rayza.
"Entah saya harus berterima kasih seperti apa pada mu Nak... Jika kau tidak masuk dalam kehidupan keluarga kami, mungkin Papi dan Qiran masih bermusuhan. Tidak seperti sekarang. Papi benar-benar bahagia bisa merasakan indahnya keharmonisan hubungan ayah dan anak." Ucap Martin. Rayza pun tersenyum.
"Bersyukur lah kepada Allah yang mampu membolak-balikkan hati seseorang. Tanpa campur tangan Allah semuanya tak akan pernah terjadi." Ucap Rayza bijak.
"Saya jadi semakin ingin kalian cepat menikah dan memberikan saya cucu yang banyak dan lucu." Ucap Martin membayangkan sempurna nya hidup jika sudah masuk ke masa Dimana dia bermain dengan malaikat-malaikat kecil dari Rayza dan Qiran.
"Saya datang hanya ingin memastikan Qiran benar-benar ada di sini. Bukannya saya tidak percaya dengan Papi. Tapi jika tidak melihat kondisinya langsung. Hati saya masih gelisah." Ucap Rayza.
"Kau benar-benar peduli padanya." Ucap Martin bahagia.
"Saya bukan peduli melainkan menyayanginya. Karena tanpa rasa sayang tak akan pernah ada rasa peduli." Ucap Rayza tersenyum. Sedangkan Martin sudah tak bisa mengucapkan kata apapun untuk mendeskripsikan kekagumannya pada pria di hadapannya. Seorang dokter pribadinya yang tiba-tiba merelakan dirinya untuk mengubah Qiran dan mencintai putrinya dengan begitu tulus.
"Terima kasih Nak." Ucap Martin.
"Hari ini hari ulang tahun Qiran. Saya hanya ingin titip ini untuk Qiran." Ucap Rayza memberikan sebuah kotak yang dibungkus rapi dengan sebuah kertas kado bernuansa hati berwarna pink.
"Saya yang ayahnya bahkan sempat melupakan momen ini. Kau yang baru mengenal Qiran malah mengingatnya." Ucap Martin terharu.
"Mungin ini bukan hal yang mewah. Tapi saya harap Qiran akan jauh lebih bahagia saat membukanya." Ucap Rayza.
"Terima kasih Nak." Ucap Martin.
"Saya permisi Papi. Salam untuk Qiran. Katakan saya tulus padanya." Ucap Rayza.
"Kau terlalu buru-buru Nak." Ucap Martin agak kecewa.
"Banyak hal yang harus saya selesaikan. Maaf." Ucap Rayza.
Kini yang harus Rayza lakukan adalah memberikan pengertian kepada Umminya mengapa tidak membawa Qiran ikut ke rumahnya. Hal itu membuat Rayza sedikit gugup karena takut ayahnya marah. walau seperti itu, Rayza tidak mungkin memaksa Qiran untuk tetap ke rumahnya. Semoga keputusannya adalah yang terbaik untuk semua. Tapi ada hal bahagia yang menyelimuti hatinya. Hal itu adalah saat membayangkan reaksi Qiran membuka kadonya.