Bab 2. Ayo kita bercerai

1519 Kata
“Sampai kapan kamu mau bersikap seperti anak kecil?! Bahkan anak kecil pun tak akan pernah terpikir untuk hidup penuh drama seperti kamu!” gerutu Gin kesal ketika ia kembali kerumah dan Harumi lagi-lagi memulai pertengkaran dengan mengungkit hubungannya dengan Bianca. Setelah hampir 3 hari ia pergi, Gin pikir saat ia kembali, Harumi sudah lebih tenang dan biasanya ia yang merengek minta maaf. Tapi ternyata kali ini berbeda, melihat kehadiran Gin seolah menyulut api besar di hati Harumi sehingga ia kembali memancing pertengkaran. “Kamu gak perlu berbicara keras begitu padaku, mas! Kamu gak berhak marah-marah! Seharusnya aku yang marah!” pekik Harumi kesal dibentak oleh suaminya. “Kenapa?! Kamu ingin marah karena tahu aku berselingkuh dengan Bianca?! Begitu?!” “Ya! Dasar lelaki pengecut! Bisanya hanya berselingkuh dan menyalahkan aku sebagai penyebabnya!” “Memang kamu penyebabnya! Aku cape sama sikap posesif kamu! Aku capek dengan semua kecemburuan kamu yang tak ada alasan! Aku capek mentolerir semua egoisan kamu, Harumi! Kamu selalu menyepelekan aku! Kamu tak pernah mendengarkan aku!” “Ohya?! Jadi Bianca memberikan kamu segalanya! Jika kamu bermasalah denganku, harusnya kamu ceraikan aku dulu sebelum menjalin hubungan dengan orang lain! Pengecut! Ceraikan aku! Cerai!” jerit Harumi histeris. “Ohya?! Kamu yakin mau cerai dari aku?! Kamu yakin bisa hidup mandiri dan tak tergila-gila akan uang untuk memenuhi sifat borosmu yang luar biasa! Kamu selalu minta cerai dan selalu kembali dengan merengek karena aku tahu kamu gak bisa hidup susah!” ejek Gin kasar. Merasa dihina, Harumi segera mengambil apapun yang ada disekitarnya dan melemparkan semuanya kearah Gin penuh kemarahan. “Kamu gila Harumi!” pekik Gin ketika Harumi melemparkan sebuah gelas kaca dan hampir mengenai kepala Gin. Pecahan kaca itupun menggores pipi Gin sehingga sedikit terluka. “Aku benci kamu mas! Benciiii!” jerit Harumi histeris lalu hendak melemparkan gelas lainnya ke arah Gin tetapi Gin segera menghindar dan keluar dari kamar tidur mereka membiarkan Harumi berteriak - teriak histeris sambil menangis. Gin hanya bisa menutup pintu dan menahannya ketika Harumi memukul -mukul pintu itu hendak mengejarnya. “Mas, udah mas… kasihan mbak Harumi,” ucapan seseorang membuat Gin menoleh. Ada bu ipah asisten rumah tangganya yang menatap Gin dengan pandangan nanar. Gin hanya diam mencoba menenangkan pikirannya sebelum akhirnya ia beranjak pergi ketika mendengar kini tak ada lagi barang yang Harumi lempar dari dalam kamar, hanya isak tangis. Gin meremas tangannya sendiri, ia merasa kesal pada Harumi sekaligus menyesal karena telah menyakiti istrinya dengan perkataan tajamnya. Ia hanya meremas rambutnya perlahan sebelum akhirnya ia beranjak pergi kembali meninggalkan rumah dan melajukan mobilnya dengan sangat kencang. *** Gin turun dari mobil Bianca perlahan lalu menatap gerbang rumahnya yang tertutup rapat seolah tak berpenghuni. Sudah seminggu berlalu sejak pertengkaran terakhirnya dengan Harumi. Sudah seminggu itu juga ia tak kembali karena tak ingin berdebat dengan sang istri. Kali ini Gin kembali karena seminggu ini juga ia tak mendapatkan kabar apapun dari Harumi. Biasanya Harumi akan memenuhi whatsappnya dengan penuh caci maki dan teror telepon yang tiada henti. Tetapi sejak Gin meninggalkan rumah itu, tak ada satupun kabar dari Harumi. Awalnya ia merasa senang dan tinggal di apartemennya dengan tenang tanpa gangguan psikologis dari Harumi. Bahkan Harumi tak pernah tahu bahwa Gin membeli apartemen itu untuk menghindari dirinya saat tengah bertengkar dengan Harumi. Kini ada rasa cemas di hati Gin, karena ini bukan sikap Harumi yang biasanya. Ia takut Harumi melakukan hal- hal buruk. Pagi ini Bianca yang mengantarkan Gin kerumah kekasihnya karena takut Harumi bersikap yang membuat Gin kembali luluh. “Mas, kamu yakin akan baik-baik saja?” tanya Bianca ikut turun dan merangkul lengan kekasihnya karena takut jika Gin masuk ke dalam rumah itu, Harumi akan kembali merongrong dan membuat pertengkaran dengan Gin. Gin hanya diam lalu tersenyum kearah Bianca. “Tenang saja, bukan Harumi namanya kalau dia gak bikin rusuh. Aku harus bertemu dengannya untuk menyelesaikan semua ini Bianca,” jawab Gin mencoba menenangkan kekasihnya. Bianca tersenyum, ada rasa bahagia di hatinya karena Gin mencoba menyelesaikan urusannya dengan Harumi. Dengan begitu Bianca berharap Gin bisa memantapkan hatinya untuk segera bercerai dari Harumi dan mereka bisa bersama tanpa rahasia lagi. Bianca pun segera meninggalkan Gin dan mengendarai kendaraannya cepat ketika melihat Gin masuk ke dalam rumah sepi itu. Gin mencoba memanggil bu Ipah tapi tak ada yang menjawab, rumahnya terasa sangat sepi. Dan terlihat banyak sisa makanan yang dipesan online diatas meja dan tempat sampah. Gin menggelengkan kepalanya karena tercium bau tak enak dari dapur karena sampah yang menumpuk. Ia segera membuka jendela - jendela di seluruh rumahnya agar udara bersih masuk ke dalam rumah. Lagi - lagi ia memanggil bu ipah dan asisten rumah tangga lainnya tetapi tetap tak ada siapa -siapa disana. Gin bergegas menuju kamarnya, karena ia takut Harumi nekat untuk menyakiti dirinya sendiri untuk lagi-lagi mencari perhatian Gin seperti biasanya. Harumi tak akan segan untuk melukai dirinya ketika ia sudah kewalahan tak bisa membuat Gin berada disisinya. Pintu kamar pun dibuka dengan kasar dan terlihat Harumi tengah duduk disamping jendela yang tertutup dengan wajah murung. Ia hanya menoleh sesaat kearah Gin lalu kembali menoleh tak peduli ke arah jendela dan kembali melamun. “Kemana bu ipah dan lainnya?” tanya Gin sambil mengibas-ngibaskan tangannya karena aroma kamar tidur mereka berubah. Terlihat tumpukan kotak makanan bekas membuat Gin sadar dari mana bau itu muncul. “Sudah aku pecat!” jawab Harumi dingin tanpa menoleh kearah Gin. “Pecat?! Apa-apaan kamu! Bu Ipah sudah ikut dengan keluargaku begitu lama! Kamu gak punya hak memecatnya!” ucap Gin gusar mendengar ucapan Harumi. “Terserah,” jawab Arumi pelan dan tetap melamun. Gin bergerak perlahan mendekati Harumi. Ia menatap istrinya yang tampak kuyu tak bersemangat. Melihat rambut Harumi yang basah membuat Gin merasa lega, setidaknya perempuan itu membersihkan dirinya sendiri jika ia tak ingin membersihkan rumah. Mendengar Harumi memecat semua asisten rumah tangga membuat Gin sedikit terkejut. Harumi adalah gadis manja yang tak pernah bekerja, semua terbiasa dilayani dan disediakan. Kini ia memecat semua orang seolah tak peduli lagi akan ada orang yang mengurusnya. Gin hanya bisa menghela nafas panjang dan mencoba menjernihkan pikirannya. Disatu sisi ia sudah tak tahan dengan sikap Harumi yang membuatnya selalu sakit kepala, tapi disisi lain ia merasa cemas jika meninggalkan istrinya seperti ini. Harumi yang random dan impulsif selalu membuat Gin cemas apakah ia bisa mengurus dirinya sendiri jika mereka tak lagi bersama. “Kamu datang untuk mengajakku bercerai, bukan?” ucap Harumi perlahan tetapi tak beranjak dari posisinya. “Ayo kita bercerai saja,” ucap perempuan itu dengan suara lemah. “Harumi …” “Aku capek mas … aku capek mengejarmu agar menoleh padaku … aku capek mencintaimu terus menerus tetapi kamu tak pernah peduli…” “Akhhh, sudahlah kenapa kita bahas hal ini lagi … gak cuma kamu yang capek! Aku juga capek dengerin semua rengekan kamu yang seolah jadi korban dari hubungan kita!” Keluh Gin merasa Harumi akan kembali merengek seolah menempatkan dirinya sebagai korban. Mendengar ucapan Gin, Harumi hanya diam sesaat lalu menoleh kearah suaminya dan memandangnya dengan pandangan terluka. “Pergilah…,” ucap Harumi dengan suara tenang dan kali ini bangkit dari duduknya. “Kamu bisa buat surat talak kapanpun kamu mau, aku akan menerimanya. Tolong bantu aku untuk mengurus surat perceraian kita ke kantor pengadilan agama, karena kamu tahu aku gak ngerti mengurus surat begituan,” ucap Harumi berusaha tenang dan menatap suaminya dengan pandangan berkaca-kaca. Gin hanya diam, ia sedikit terkejut Harumi tidak melawannya dengan sikap impulsif seperti biasanya. Bahkan ia terlihat tenang dan pasrah, walau terlihat sedih tetapi juga terlihat raut lega dari wajahnya membuat perasaan Gin tak enak. “Sudah siang mas, kamu harus ngantor kan? Aku sudah paham dan tahu keinginanmu … pergilah…,” ucap Harumi lagi sambil membuka lemari pakaiannya dan memilah-milah pakaian tanpa menatap Gin. “Baiklah kalau kamu sudah tahu dan mengerti. Andai dari dulu kamu bisa bicara setenang ini, mungkin hubungan kita tak akan memburuk. Lusa aku akan bertemu ibumu untuk memberitahu tentang perceraian kita, biar aku yang bicara langsung padanya. Selama kamu masih menjadi istriku, tenang saja aku akan tetap menafkahimu,” ucap Gin datar. Harumi hanya mengangguk dan memalingkan mukanya. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tak meneteskan air mata lagi karena suaminya. Ada perasaan tak enak dihati Gin saat ia hendak pergi meninggalkan Harumi. Ia sempat menoleh dan menatap Harumi yang berdiri memandangi isi lemari pakaian mereka seolah mematung. Wajah sendu Harumi ternyata tak bisa menutupi wajah cantiknya. Dulu, ia begitu mencintai perempuan ini, tapi kini entah mengapa perasaan itu hilang dan hanya berubah menjadi rasa kesal jika melihatnya. “Aku pergi dulu, nanti aku kembali untuk membereskan pakaianku,” ucap Gin perlahan sebelum akhirnya ia pergi tanpa menoleh lagi meninggalkan Harumi. Mendengarkan langkah kaki Gin yang semakin menjauh, Harumi merasa lemas dan terduduk dilantai lalu menangis pilu. Ia menangis karena ternyata ia masih merasa mencintai suaminya, ia menangis karena merasa sedih saat menyadari bahwa perasaannya tak pernah berbalas dari Gin. Ia menangis karena kali ini ia yang harus pergi lebih dulu meninggalkan Gin sebelum Gin yang pergi meninggalkan dirinya, karena Harumi tak pernah sanggup jika ditinggal oleh Gin. Hatinya tak bisa bohong bahwa perasaannya pada pria itu masih sangat besar. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN