Waktu menunjukan pukul 9 malam ketika Gin baru sampai ke rumah setelah seharian ini ia menghabiskan sebagian besar waktunya di kantor.
Ia sengaja pulang malam agar saat tiba dirumah ia tak perlu bertemu dengan Harumi walau seharian ini hatinya menggila karena rindu. Tetapi Gin harus segera terbiasa untuk bisa menahan perasaannya. Melihat Harumi yang sudah benar-benar mencoba untuk move on membuat Gin terpuruk. Ia hanya ingin membiasakan dirinya sejak hari ini agar terbiasa tanpa Harumi.
“Mas, mbak Harumi belum pulang,” ucap bu Ipah saat menyambut Gin di depan rumah.
“Belum pulang?”
“Iya, dari siang udah keluar rumah, sempat nelfon nanya mas Gin bawa makan siang apa? Trus gak ada kabar lagi.”
Gin termenung, tiba-tiba hatinya gelisah memikirkan jika saja Harumi tidak pulang kerumah. Ia masih ingin bersama Harumi dirumah yang sama.
Spontan Gin mengambil handphonenya dan menghubungi sang istri. Tak lama terdengar suara Harumi dari ujung sana.
“Ya mas?”
“Dimana kamu? Sudah malam tapi kamu belum pulang,” tanya Gin dengan suara lembut dan berharap Harumi tengah berada dijalanan menuju pulang karena terdengar suara ramai lalu lintas.
“Iya ini aku lagi on the way pulang, tunggu saja.”
“Mau aku jemput?”
“Tak usah, aku lagi ingin naik kendaraan umum, enak bisa lihat-lihat Jakarta saat malam,” jawab Harumi menolak.
“Baiklah, aku menunggumu disini,” jawab Gin.
Gin segera menolehkan wajahnya menatap langit ketika melihat kilatan petir menandakan hari akan hujan.
Hujan turun sangat deras malam itu. Harumi berjalan pasrah ketika ia harus turun dari busway dan berjalan cukup jauh menuju komplek rumah mereka. Walau mereka tinggal di perumahan mewah ditengah kota Jakarta, tetapi akses dari jalan raya ke dalam komplek mereka tak tersedia kendaraan umum. Disaat hujan besar seperti ini tak ada kendaraan motor online yang mau menerima orderan untuk membawa Harumi pulang.
Tubuhnya basah kuyup tak karuan, ia bisa merasakan handphonenya bergetar berkali-kali di dalam tas tetapi tak Harumi angkat karena pikirannya hanya tertuju untuk sampai ke rumah.
Betapa terkejutnya Harumi saat di depan gerbang komplek rumahnya, Gin berdiri memegang payung sambil mencoba menghubunginya. Pakaian dan celana suaminya juga sudah basah karena terkena hempasan air dari angin kencang yang membawa hujan.
“Harumi!” Panggil Gin segera menghampiri dirinya dan merangkulnya erat dibawah payung.
Harumi segera memeluk pinggang Gin erat dan berjalan bersama suami dalam payung yang digenggam erat oleh Gin agar tak terbawa angin menuju rumah mereka.
“Bu, bawakan handuk untuk Harumi!” teriak Gin saat sepasang suami istri itu sampai dirumah.
“Ya ampun mbak, sampai basah kuyup begitu! Kenapa gak nunggu mas Gin jemput?! Mas Gin dari tadi nungguin mbak Harumi didepan komplek!” ucap bu Ipah sambil mengambilkan bathrobe handuk untuk Harumi.
Harumi terdiam sambil menggigil kedinginan.
“Ayo cepat siapkan teh panas buat Harumi! Ayo kita bersihkan dirimu dulu, kamu sudah kedinginan, bibirmu sampai biru,” ajak Gin cemas dan mengajak Harumi menuju kamar mereka.
Dengan sigap Gin segera menyiapkan shower dan mengambil piyama juga pakaian dalam Harumi dan membawanya ke dalam kamar mandi. Harumi segera membersihkan dirinya yang sangat basah kuyup. Setelah bersih ia sudah melihat bu Ipah masuk ke dalam kamar sambil membawakan teko dan dua cangkir berisi teh panas.
“Mas Gin?” tanya Harumi pada bu Ipah saat tak melihat suaminya.
“Lagi mandi dibawah, sini biar ibu keringkan rambutnya,” jawab bu Ipah cepat sambil membawa hair dryer dan membantu Harumi mengeringkan rambutnya.
“Diminum tehnya mbak, biar badannya hangat, toh ya harga diri diturunin sedikit mbak… daripada nanti sakit. Dari tadi mas Gin nungguin didepan loh, kalau mbak Harumi gak gengsi kan bisa mas Gin jemput daripada basah kuyup begini.”
“Akh, paling nungguin sebentar doang didepan,” seloroh Harumi tak suka mendengar bu Ipah membela Gin.
“Sebentar gimana?! Ibu denger kok pas mas Gin telepon mbak Harumi nanya mbak ada dimana, itu juga mas Gin baru pulang. Gak pake lepas sepatu dia langsung ambil payung dan nunggu mbak Harumi kedepan!”
Harumi terdiam. Jika Gin melakukan itu tandanya ia sudah berdiri 45 menit di depan gerbang komplek rumah mereka.
Bu ipah selesai mengeringkan rambut Harumi tepat saat Gin kembali ke kamar. Pria itu masuk sambil membawa kotak berisi obat-obatan mereka lalu mengacak-acak lemari untuk mencari kaos kaki.
“Ya sudah istirahat ya, ibu pamit dulu,” ucap bu Ipah sambil keluar dari kamar meninggalkan sepasang suami istri itu berdua.
Gin tampak sibuk meletakan bantal dikanan kiri ranjang mereka seperti biasa tetapi kali ini ia mematikan AC.
“Mas! Nanti panas ah!” protes Harumi segera menyambar remote ac dari tangan Gin dan menyalakannya kembali.
“Kamu tuh kalau kehujanan sedikit aja langsung flu, demam, batuk. Apalagi sekarang basah kuyup sampai celana dalam, aku takut kamu sakit Harumi.”
“Nggak, aku gak apa-apa … selama satu tahun ini aku juga sempat beberapa kali kehujanan kok!” jawab Harumi santai sambil menghidupkan tivi lalu duduk menonton disofa sambil menikmati tehnya.
Benar saja, 30 menit kemudian matanya terasa panas dan terus berair. Wajahnya mulai memerah karena demamnya mulai tinggi.
“Mas,” panggil Harumi pelan sambil berjalan kearah ranjang dan tampak menggigil kedinginan.
Gin yang tengah membaca buku, segera meletakan bukunya, memberikan Harumi obat dan segera memasangkan kaos kaki dikaki Harumi yang dingin walau tubuhnya terasa sangat panas.
Harumi sudah pasrah ketika Gin meletakan beberapa bantal di punggung Harumi dan segera membuka kemeja piyama mereka berdua. Gin segera memeluk Harumi yang bagian dadanya terbuka untuk ditempelkan di dadanya yang juga terbuka.
Cara seperti ini biasanya yang membuat Harumi nyaman dan segera bisa menurunkan demamnya saat ia sakit.
“Sini sayang, biar kupeluk dirimu, pindahkan saja sakitmu ini kepadaku, biar kamu cepat sembuh dan pulih,” bisik Gin sambil memeluk Harumi dan merapikan selimut mereka agar tubuh mereka yang terbuka tak terlihat.
Harumi hanya bisa diam dan memeluk tubuh Gin yang hangat erat. Tubuhnya yang terasa menggigil dan ngilu mulai terasa nyaman dalam pelukan Gin. Sedangkan Gin menatap Harumi cemas melihatnya sakit. Perempuan yang biasanya manja itu tak boleh sakit, karena ia tak akan mampu menahannya.
Bersambung.