PART [4]
Rapat hari ini hanya menyangkut masalah cashflow perusahaan, tidak begitu lama. Yang menghadiri rapat hanya dirinya yang menjabat sebagai Executive Office, mengecek semua pendataan, dua kepala bagian accounting dan keuangan, serta personalia.
“Baiklah, kita akhiri rapat hari ini, terimakasih.” Mengakhiri rapat, Arka merenggangkan seluruh tubuhnya yang tegang, saat ruang rapat kini nampak sepi. Tubuh tegap itu beranjak dari kursinya.
‘Kenan, pasti sudah menunggu,’ batinnya sekilas, bisa Ia bayangkan bagaimana putranya itu memperlihatkan wajah cemberut dan marah karena harus menunggunya selama ini.
Berjalan menuju ruangan, mengambil tas dan jas berwarna hitam. Laki-laki itu sengaja melepaskannya, merasakan gerah saat berada di luar ruangan. Membiarkan baju berwarna putih itu sedikit mencetak tubuhnya.
Dia terlalu lelah hari ini, mengacak sedikit rambutnya, dan berjalan menuju lift. Apa Kenan belum makan? Waktu sudah hampir menunjukkan pukul 7 malam,
.
.
.
Berjalan menuju lobby, melihat bagian resepsionis sekarang nampak sepi. ‘Mungkin dia sudah pulang,’ batin Nara lega, dia jadi punya kesempatan untuk melihat-lihat.
Sembari berjalan, membenarkan letak kacamata bulatnya, melihat sekeliling, interior lobby yang cukup menakjubkan. Ruangan yang terkesan simple modern, dengan fasilitas yang mahal. Tanaman yang dihias di beberapa tempat membuatnya sempurna. Beberapa lampu sudah dimatikan, hanya lampu lobby, pantry dan area luar saja yang masih hidup. Sisanya mereka menggunakan lampu terang yang kecil wattnya.
Bagus tentu saja, berdecak kagum. Meskipun perusahaan ayahnya juga termasuk besar. Seperti yang Ia katakan tadi, level di sini berbeda. Tanpa sadar pandangannya tertuju ke arah sebuah televisi elektronik yang khusus menayangkan beberapa pekerjaan perusahaan dan pemilik tempat ini-
Meskipun hanya sekilas, manik Ambernya melihat sosok yang familiar di sana. ‘Hm?’ Menjengitkan alisnya penasaran.
Sosok tegap, yang terpampang nyata di sana. Sebuah foto laki-laki dengan postur tubuh sempurna, wajah tampan dan senyuman-lalu-
‘Rasanya aku kenal,’ Mencoba mendekatkan langkahnya, memperhatikan lebih jelas. Sebelum slide layar itu berganti dengan beberapa foto proyek. “E-eh, tunggu dulu aku belum selesai!” gumamnya tanpa sadar, bergerak makin mendekat.
Suara lift yang terdengar nyaring sukses menegangkan tubuh Nara. Kaget, Nara reflek menjauhkan tubuhnya. “Astaga, ada yang datang-” Kembali bergumam, melangkahkan kakinya cepat keluar dari ruangan.
.
.
Menunggu pintu lift terbuka, hal yang pertama Arka lihat adalah seseorang yang berjalan keluar dari area lobby. Alisnya bertaut, ‘Siapa? Aku tidak pernah melihatnya di sini,’
Wanita menggunakan jaket, dia sudah berada di luar sebelum Arka bertanya keinginannya datang ke sini. Tidak mungkin juga satpam di depan membiarkan orang aneh masuk ke dalam gedungnya kan'? Memastikan sekali lagi, laki-laki itu melangkahkan kakinya keluar lobby.
“Oh, selamat malam, Tuan Damian!”
Pandangan Arka tertuju pada mobil yang baru saja keluar dari area kantornya. “Siapa tadi? Dia bukan pegawai di sini kan?”
“Dia yang mengantar Tuan Kenan tadi, Nona Nara kalau tidak salah namanya.” jawab satpam itu cepat.
Alisnya makin bertaut, “Nara?” Memandang mobil yang perlahan semakin menjauh. “Ada apa memang, Tuan?” Suara satpam itu kembali mengalihkannya.
“Tidak apa-apa, jadi bukan Melly yang mengantar Kenan tadi?” Bertanya sekali lagi.
“Bukan, Tuan,”
Mengangguk singkat, Arka kembali masuk ke dalam lobby. Pikirannya teralih saat melihat lampu dari arah Pantry bersinar terang, melangkahkan kaki. Mendengar suara Melly tengah berbicara dengan putranya.
“Kenan?” Masuk ke dalam Pantry, memanggil putranya. Sosok mungil itu langsung saja turun dari sofa. Berlari ke arahnya dengan senyuman mengembang. Tidak seperti bayangan Arka tadi, wajah cemberut Kenan.
“Ayah, kok lama? Kenan, sudah nunggu dari tadi?” tanya sosok mungil itu tak berhenti, walaupun masih protes tapi wajah manis itu nampak tersenyum.
Bergegas menggendong tubuh Kenan, “Maaf, jagoan Ayah. Tadi ada sedikit urusan kecil, jadi Ayah terlambat. Kenan diantar pulang sama siapa? Tante Melly?” tanya Arka pura-pura tidak tahu.
Manik bulat itu mengerjap polos, “Mm itu-” Siapa yang mengira perkataan Kenan dihentikan oleh Melly. Wanita itu berjalan mendekati mereka, dengan kedua tangan bersidekap di depan d**a.
“Dummy, kau harus ingat Kenan memanggilku, Ibu Melly. Ingat itu!” tukasnya memasang wajah kecut.
“Hh, terserahmu saja, Melly.” Menatap kearah Kenan lagi, “Bagaimana, hm?”
“Tadi Kenan senang diantar sama Ibu Melly, benar kan?” Satu kebohongan muncul dari bibir Melly, wanita itu tersenyum anggun, mengelus rambut Kenan. Alis Arka bertaut.
Sementara pemuda kecil itu menunduk, dia hanya mengangguk kecil dan memeluk leher Ayahnya. Manik Arka menatap wanita itu tajam, memberikan isyarat, “Dia kenapa?”
Sementara Melly hanya menggeleng tidak tahu, “Aku tidak tahu,” jawab wanita itu santai, tatapan tajam Arka tidak mempan untuknya.
Mungkin Arka akan menanyakannya lagi nanti, sekarang dia perlu menaikkan mood putranya yang sedikit terganggu. “Hm, bagaimana kalau kita makan malam sekarang di restaurant tema spiderman kesukaanmu?” ujarnya lembut, mengucapkan kalimat itu sejelas mungkin.
Tubuh Kenan bergerak, menjauhkan tubuhnya, “Restaurant Spiderman?!” Maniknya berbinar,
“Kalau putra Ayah tidak cemberut, Ayah mau mengajak Kenan ke sana.”
Menggantikan wajah cemberut itu dengan senyuman lebar, “Mau!!” teriaknya antusias.
Di sebelah mereka, Melly masih bersidekap. Menghela napas panjang, mengharapkan makan malam romantis tadi dan harus digantikan dengan restaurant Spiderman? Lihatlah sekarang, sosok dingin yang tadinya enggan tersenyum pada siapapun bahkan dirinya.
Sekarang justru tersenyum, mencium dan bercanda dengan putranya. Membuang wajah dingin dan kakunya tadi.
‘Hh, jalanku masih jauh. Setidaknya aku sudah meminta Kenan menyembunyikan masalah Nara,’ batinnya sedikit lega. Masalah Nara memang harus dikubur dalam-dalam dari ingatan Arka.
.
.
.
Masih dalam perjalanan, mencoba mengingat kembali. Wajah laki-laki tadi, kepalanya terasa sakit walaupun hanya sebentar. “Hh, mana mungkin kan dia-” Merasa kebetulan. Laki-laki itu seharusnya kan single, tanpa pasangan.
Kalau Tuan tampannya ternyata punya pasangan atau bahkan anak. Mungkin Nara akan terpuruk selama beberapa hari. Bagaimana tidak? Kan' tabu hukumnya mengintip laki-laki yang sudah menikah! Jadi kalau dia masih single Nara masih ada hak untuk mengintipnya!
‘Sarapan pagiku,’ rajuk wanita itu kecewa, sedikit memijat keningnya yang sakit, berharap saja tadi hanya bayangannya saja. Dia sendiri tidak yakin laki-laki itu single.
Mengingat dirinya hanya mengintip saat pagi karena tirainya pasti terbuka, kalau malam hampir tidak pernah. Laki-laki itu termasuk sosok super sibuk yang selalu pulang malam, bahkan saat Nara tidur pun, kadang dia tidak pulang.
“Ah, tidak mungkin,” Mendesah panjang, meskipun ini salah satu aib terbesarnya. Setidaknya dia bisa mendapatkan semangat dari pemandangan tubuh indah itu!!
‘Hh, aku ingin pulang, setelah itu mandi air hangat dan berbaring,’ batin Nara lelah. Jam masih menunjukkan pukul tujuh malam. Masih jauh dari waktu tidurnya, tapi Nara merasa tubuhnya sangat lelah dan bisa tumbang kapan saja.
.
.
.
Dalam perjalanan mereka, Arka menoleh ke arah putranya yang tengah duduk di belakang. Dia memang lebih suka menyetir sendiri dibandingkan mempekerjakan supir. Kenan nampak terantuk di sana, menahan agar tidak tidur.
Memastikan keadaan aman, berbicara setipis mungkin. “Kenapa kau membuat Kenan berbohong tadi?” tukasnya tiba-tiba
Melly masih fokus dengan handphonenya, raut wajahnya masih tenang, “Maksudmu?” balas wanita itu singkat.
“Siapa yang mengantar, Kenan?” tanya Arka untuk yang kesekian kalinya. Manik wanita itu melirik kearah laki-laki di sampingnya. “Kalau aku bilang Nara bagaimana? Kau terkejut?” sindir Melly tipis. Sedikit kagum dengan akting Arka. Masih tetap tenang di situasi seperti ini.
“Jangan mengajarinya berbohong, Melly.”
Melly masih nampak santai, menyampirkan anak rambutnya ke telinga, tersenyum anggun. “Aku hanya melakukan yang terbaik untuk kalian berdua.” ujarnya penuh arti.
Arka mengerti maksudnya, laki-laki itu lebih memilih diam. Fokus kembali ke depan tanpa mengatakan apapun. Yang pasti semua perkataan Melly tadi sudah cukup membuatnya bungkam.
.
.
.
Getaran di dekatnya sukses mengalihkan perhatian Nara. Kebetulan mobilnya berhenti karena lampu traffic berwarna merah, mengambil handphonenya. Melihat siapa yang menghubungi. Tidak mungkin juga dari ibu atau ayahnya.
“Bella?” gumam Nara tanpa sadar, sosok sahabat dengan rambut ikal pendeknya yang khas, dan suara cemprengnya mengagetkan Nara begitu saja.
“Kei!!” Menyebut nama panggilan khusus untuknya. “Suaramu seperti nenek lampir, Bel. Kecilkan sedikit!” protesnya kesal, telinga Nara jadi berdengung karena suara cempreng Bella.
Bella Christie, wanita yang menjadi sahabatnya sejak SMA dulu, ciri khas rambut hitam pendek yang ikal, kulit sawo matang, bibir tebal dan tubuh yang cukup tinggi. Ia akui pekerjaan sahabatnya itu cukup meyakinkan. Menjadi seorang dokter spesialis yang cukup hebat di usianya yang ke- 28 tahun.
Saat dirinya pindah ke sini, wanita itu justru ikut pindah dengan alasan ada pekerjaan. Meskipun Nara tahu, Bella ke Jakarta untuk terus memantau kondisinya selama ini. Dia berterima kasih karena itu.
Mendesah panjang, setengah terkekeh, “Kenapa lagi? Pasienmu sakit parah?” ujarnya menebak dengan asal.
Bella menggerutu di seberang sana, “Bukan! Bagaimana kabarmu? Seminggu ini aku belum sempat bertemu denganmu karena pekerjaan di luar kota,”
Mendesah sekilas, Nara tersenyum. Menjalankan kembali mobilnya saat lampu berwarna hijau. Tidak buruk juga berbincang dengan sahabatnya, menghilangkan sepi di dalam mobil.
“Kondisiku baik-baik saja, sampai kapan kau ingin mengkhawatirkanku seperti ini?” See? Tidak bertemu berapa hari saja Bella sudah cerewet menanyakan keadaannya.
“Hm, luka di perutmu masih sakit?” Bella tidak pernah absen menanyakan luka di perutnya. Jahitan yang cukup panjang, akibat kecelakaannya beberapa tahun lalu. Satu pengemudi truk yang tengah mabuk, menerjang beberapa orang yang tengah menyebrang jalan. Nara ada di sana tentu saja.
Tidak bisa menghindar, salah satu besi yang sedikit patah akibat tabrakan itu sedikit menancap di bagian perutnya. Merobek sedikit hingga membuatnya shock, dan pingsan berhari-hari.
Pengemudi meninggal di tempat, hanya dia yang selamat di sana. Tiga orang yang ikut menyebrang bersamanya ikut meninggal. Walau Nara tidak pernah tahu kenapa ini berhubungan dengan ingatannya yang hilang. Bella bilang kepalanya sempat terbentur aspal cukup keras. Nara sangat mempercayai Bella. Wanita itu sudah menjadi sahabat terbaiknya sejak SMA dulu.
“Masih sedikit sakit kalau aku menundukkan badan terlalu keras, tadi pagi sempat perih lagi, tapi sekarang sudah membaik.” jelasnya selengkap mungkin. Bella benar-benar sudah menjadi dokter pribadinya.
“Kan' sudah kubilang jangan menundukkan tubuhmu terlalu sering, Kei.” tegur wanita itu gemas.
“Kau dimana sekarang?” Mengalihkan pembicaraan mereka,
“Hm, baru saja kembali dari Surabaya. Ada apa? Pasti kangen dengan kecantikanku kan?” ledek Bella di seberang sana. Sahabatnya yang tidak pernah berubah. Selalu lucu dan perhatian.
“Ayo ketemu sebentar, aku ingin bercerita banyak!” ajak Nara,
“Kemana bagusnya,” Bella nampak berpikir di seberang sana. Sementara Nara sudah memikirkan lebih cepat kemana mereka harus pergi. Satu rahasia lagi yang Ia sembunyikan dari semua keluarganya.
Siapa yang menyangka sosok penurut yang nampak culun dan cupu dalam modis ternyata menyukai Club Malam?
“Kita ke Blue House! Aku rindu jus apel di sana!” ujarnya penuh semangat. Tapi tenang saja, biarpun dia agak nakal karena senang berdansa di tempat seperti itu. Nara sangat menghindari yang namanya alcohol. Dia hanya menyukai jus apel di sana, tempat yang sempurna melepaskan penatnya. Berdansa dan tertawa tanpa harus mengekang pribadinya.
“Hah?! Kau gila?! Ah, aku tidak mau!”
“Kenapa?! Bukannya dulu di Surabaya kita sering ke sana, kebetulan di sini ada cabangnya. Ayolah~” dengan nada memohon. Berharap kalau permohonannya dikabulkan.
“No!! Any places? Jangan yang itu, kita cari makan atau tempat nongkrong di restaurant saja gimana?” tegas Bella sekali lagi.
Mengerucutkan bibirnya kesal, “Kau ini kenapa sih?! Sejak tinggal di sini, jadi jarang bisa kuajak pergi ke sana!”
“Oh, ayolah Kei, tempat yang lain saja oke?” Entah apa yang membuat sahabat yang dulu sempat Ia ajak jadi berandal bersama sekarang berubah alim.
Nara menyerah, keras kepala Bella mengalahkannya, “Hh, baiklah. Tapi lain kali kau harus mau kalau kuajak ke sana,” ucap Nara setengah menggerutu.
“Iya, iya berharap saja orang itu sedang pergi keluar kota yang jauh,”
“Ha? Siapa? Kamu ngelantur, Bel?” Sering kali Nara mendapati sahabatnya itu bicara keluar jalur. “Kalau kau mengantuk, besok saja kita ke sana,” celetuk wanita itu polos.
Terdengar suara tawa di seberang sana, “Haha, maaf-maaf. Oke nanti kita ketemu langsung di tempat saja, kutunggu jam Sembilan,”
“Oke!” Rasa lelah dan mengantuknya menghilang begitu saja. Setidaknya bertemu dengan Bella setelah seminggu tidak bertemu lebih baik daripada guling-guling tidak jelas di atas kasur.
Siapa yang tahu bahwa sesampainya di rumah, mood Nara akan kembali turun drastis, bahkan lebih drastis lagi.
.
.
.
“Jagoan Ayah mau pesan apa?” Pandangan Arka tidak pernah teralih dari putranya. Sosok mungil itu masih antusias memandang interior di dalam ruangan yang penuh dengan kartun hero favoritenya. Spiderman. Warna merah dan biru mendominasi.
“Kenan, ayo pesan dulu,” Melly yang duduk di samping Kenan berusaha menginterupsi pemuda kecil itu.
Sedikit enggan, tapi begitu merasakan perutnya berbunyi, pandangannya menatap ke arah Buku menu, “Hm,” Mencoba membaca dengan super hati-hati.
“Na---si—oyster, yang ini!” jawab pemuda kecil itu meskipun sedikit pelan, jemari mungilnya menunjuk ke sebuah gambar nasi Oyster dengan saus blackpepper yang manis, dilengkapi dengan telur dadar dan nasi berbentuk kepala spiderman.
Semua menu di sini memang bertema family, tidak seperti restaurant mewah berkelas. Di sini khusus bagi para orangtua yang ingin mengajak anak-anaknya bersantai.
“Kau mau pesan apa?” Bertanya pada Melly, wanita itu masih bingung memilih menu.
“Caviar—ah tidak ada, aku minta chicken salad with caesar salad saja dan air putih.” balas Melly yakin, setelah menghabiskan waktu mereka hanya untuk memilih menu saja
Benar-benar menu diet, Arka mendengus singkat, memesankan makanan kesukaannya. Sandwhich tomat dan segelas esspreso.
“Ayah, Kenan mau main di sana dulu!” Sifat pemalu dan pendiam Kenan berubah drastis jika dia berada di dekat orang yang sangat Ia kenal, terutama Ayahnya. Tubuh mungil itu berlari menuju area bermain yang cukup luas, bersama anak-anak lainnya.
Meninggalkan Melly dan Arka berdua-
“Hh, lain kali jangan mengajarkan Kenan untuk berbohong, Melly.” tegasnya tiba-tiba. Menatap wanita yang sudah sangat Ia kenal lama. Melly hanya mengendikkan bahunya. “Aku mencoba menolongmu, Dummy.” balas wanita itu santai.
“Tetap saja-”
Pandangan Melly menatap tajam, memotong perkataan Arka, “Kenapa? Kau masih tidak lupa kan dengan janjimu dulu? Jangan karena aku memanggilmu Dummy selama ini kau benar-benar menjadi orang yang bodoh, Damian.” Menekan nama laki-laki itu dengan tegas.
Arka masih bungkam, menatap wanita di depannya. Wajah dingin itu masih nampak jelas, “Kenapa kau suka ikut campur dengan masalahku?”
Melly tersenyum tipis. “Saat kau berpikir dirimu tidak pantas untuknya, seharusnya kau bisa berpikir juga-” ujar wanita itu, bergerak menyentuh jemari Arka, menggenggamnya lembut.
“Dia mungkin tidak pantas untukmu. Ingat apa yang wanita itu perbuat padamu, semua cemohan dan tatapan yang melihatmu sebagai pecundang besar.” sambungnya sinis. Menyindir Arka tanpa takut sama sekali.
Tatapan legam itu menatap Kenan, sosok mungil yang masih bermain dengan puas. “Aku tidak tahu,” gumam Arka tipis. Memberikan jawaban tak pasti.
“Mungkin sudah saatnya kau mencari sosok yang bisa menjaga Kenan. Aku bisa membantumu,” Masih dengan senyumannya. Saat genggamannya sama sekali tidak lepas dari tangan Arka.
“Ini untuk kebaikan kalian berdua.” sarannya kembali mengingatkan bahwa laki-laki itu sudah terlalu lama sendiri.
Sosok tampan yang menjadi incaran para wanita, tidak ada yang berani mencoba untuk sampai ke levelnya. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu. Mereka wanita-wanita biasa mungkin hanya bisa memandang dari bawah.
Tapi Melly berbeda, wanita itu sangat mencintai Arka. Selama bertahun-tahun berada di dekat laki-laki itu, tidak ada yang berani mengusik Arka selain dirinya. Dibalik senyuman anggun yang mampu memikat banyak orang.
Melly hanya menginginkan satu orang, hanya Arka. Arkana Damian Ezra.