bc

DAVINAYA (Sequel of Davino)

book_age18+
465
IKUTI
1.8K
BACA
billionaire
pregnant
dominant
goodgirl
student
drama
sweet
campus
wife
husband
like
intro-logo
Uraian

Rate : Young Adult

Petemuan kembali setelah sekian lama antara Davi dan Naya membawa mereka pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Bagi Davi, Naya masih segalanya. Tapi bagi Naya, Davi bukan lagi poros hidupnya.

“Slept with Geri” adalah fakta yang dibawa oleh Naya, akan tetapi tidak menghancurkan Davi sedikitpun. Melainkan keputusan gadis itu untuk meninggalkannya dan berlari ke pelukan Gerilah yang membuat hati Davi luluh lantak tak terelakkan.

Haruskah pertemuan setelah sekian lama itu kembali memisahkan Davi dengan Naya? Kembali membuat Davi kehilangan gadis itu untuk yang ketiga kalinya? bahkan disaat Davi menerima gadis itu tanpa tapi, tanpa syarat apapun, tanpa keraguan sedikitpun dan tanpa memandang Naya sebagai gadis yang rendah, haruskah Davi tetap kehilangan?

Tapi Davi adalah Davi. Ketika ia telah mengklaim Naya sebagai hidupnya, Davi tidak akan pernah membiarkan gadis itu terlepas dari genggamannya apapun caranya.

chap-preview
Pratinjau gratis
Bg. 1 | Pertemuan Kembali Setelah Sekian Lama
Pagi ini, langit terlihat sangat cerah. Matahari terasa hangat menerpa kulit. Tak terasa, 2 tahun berlalu begitu cepat. Banyak hal yang sudah terjadi dalam hidup Naya termasuk hubungannya dengan Davi yang harus berakhir begitu saja. Berakhir dalam artian yang sebenarnya. Tapi, Naya bersyukur karena Davi pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik darinya. Perempuan sempurna yang juga akan menyempurnakan seorang Davino. Naya hanya berharap jika ia tidak akan pernah bertemu lagi dengan Davi apapun alasannya. Sekalipun dipertemukan, Naya harap sudah ada orang lain yang menggenggam tangan Davi. Sungguh, ia tidak apa-apa jika itu terjadi. Satu hal yang selalu Naya panjatkan dalam doanya, di mana pun cowok itu berada semoga Davi tetap baik-baik saja. Setelah 15 menit menunggu, bus yang Naya pun datang. Ia langsung menaiki bus tersebut dan duduk di samping jendela. Kebiasaannya tidak berubah. Naya masih Naya yang dulu. Pulang pergi naik bus dan duduk di tepi jendela. Yang berbeda kini hanyalah tempat. Saat ini Naya berada di kota Jakarta. Setelah melalui proses yang begitu panjang, akhirnya Naya di terima disebuah universitas ternama di kota Jakarta. Meskipun awalnya mamanya tidak setuju dan berkata jika universitas di Jogja pun tak kalah bagusnya, Namun Naya tetap berusaha meyakinkan sang Mama jika ini bukan tentang bagus atau tidaknya sebuah universitas. Tapi ini tentang keinginan seorang Naya Prasasty yang sejak dulu sudah memimpikan bisa kuliah di salah satu kampus di Jakarta. Naya sudah berusaha keras untuk bisa lolos saat seleksi. Dan untunglah, ia memiliki Ayah yang bijaksana. Hingga akhirnya, Mamanya pun menyetujui Naya kuliah di Jakarta. Bus berhenti tepat di depan gedung sebuah universitas. Naya buru-buru turun dan memasuki halaman kampus. Pagi-pagi begini banyak mahasiswa yang memilih untuk duduk-duduk di bangku taman sambil menunggu jam mata kuliah. Kadang, Naya merasa miris sendiri ketika sadar tidak seberuntung mereka-mereka yang mempunyai seseorang di hidupnya. Tapi mau bagaimana lagi? Seberapa keras pun dirinya meminta pada Tuhan untuk meminta dikembalikan, tetap tidak akan bisa. Naya berjalan memasuki gedung fakultasnya sambil mengeluarkan ponsel. Saat membuka w******p, ternyata ada pemberitahuan jika kelasnya dipindah ke lantai dua. Untunglah Naya belum memasuki ruangan 1.05 yang sudah di depan matanya. Buru-buru ia berbalik dan berjalan menghampiri tangga menuju lantai dua. Setelah mendapatkan pesan dari sekretaris kelas yang mengatakan jika dirinya izin hari ini, Davi langsung berdiri dari posisi duduknya untuk mengambil absen di ruang dosen. Saat keluar dari ruangan, ia melihat sosok dengan perawakan mungil dan rambut sebahu berjalan menghampiri tangga. Alisnya mengerut, merasa tidak asing dengan sosok tersebut. Namun, saat hendak mengejar, Davi memilih untuk mengurungkan niatnya. Itu pasti bukan Naya. Paling cuman mirip aja, pikirnya. Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Sekalipun gadis itu kembali ke hadapannya, Naya pasti sudah melupakannya. Gadis itu pasti sudah menemukan seseorang yang lebih baik darinya. Davi menghela napasnya lalu berjalan Mungkin cuman gue yang sampe saat ini belum bisa lupain elo Nay, gumamnya dalam hati. Perpisahannya dengan Naya yang bisa dibilang sepihak, menimbulkan banyak tanda tanya dalam benaknya sampai detik ini. Bukannya tidak ingin mencari kejelasan, Davi sudah berusaha mencari tahu, berusaha menghubungi gadis itu di semua akun media sosialnya. Tidak ada satupun respon yang bisa membawanya pada Naya membuat Davi tidak bisa melakukan apa-apa selain pasrah pada takdir Tuhan. Nomor Nata — adiknya Naya pun tiba-tiba saja tidak bisa di hubungi. Hal itu semakin menambah frustasinya. Sampai di ruangan, Naya langsung menghampiri Sasty dan Sam, dua teman yang ia kenal saat PKKMB tiga minggu yang lalu. "Udah pada sarapan belum? Sarapan yuk, Sast?" ajak Naya dengan nada manja seperti biasa. "Yah telat lo ... gue tadi abis sarapan," timpal Sasty. "Ish jahat banget sih lo gak nungguin gue," protes Naya cemberut. "Sorry deh ... abis gue keburu laper sih," cengirnya dengan wajah yang tanpa dosa. Naya langsung beralih pada Sam yang duduk di sampingnya. "Sam, lo udah sarapan juga?" "Udah, sih. Tapi kalo lo mau, ayo gue temenin ke kantin. Sekalian gue mau fotocopy. Mumpung masih ada waktu," katanya sambil menutup aplikasi game online di androidnya. "Mau mau mauuuuuu. Daripada gue kelaperan nanti pas mata kuliah terus gak konsen, kan gak lucu," ujar Naya semangat 45. "Yuk?" Sam meraih tas dan memakainya di satu punggung. "Yuk." "Sas, kalau gue lama terus dosen masuk duluan. Kabarin, ya?" "Siap." Sampai di pintu, dengan nada yang lebih rendah, Sasti memanggil Sam. Mwmbuat cowok itu menoleh. "Sam, sukses, ya!" ujarnya. Sam yang tidak mengerti refleks mengerutkan alis. Membuat Sasty terkekeh geli. "Sukses apaan, Sam?" tanya Naya yang sama sekali tidak mengerti. "Nggak. Bukan apa-apa. Udah buruan yuk, entar keburu datang dosennya. Omongan Sasti sih gak usah di denger." Sam buru-buru mendorong punggung Naya yang berdiri di hadapannya. Sebelum berlalu, Naya melirik ke arah Sasty, memberi isyarat pada cewek itu seraya berkata, 'apaan, sih?' Bukannya memberitahu, Sasty malah menaikkan kedua bahunya tanda ia tidak tahu. Bukan, bukan tidak tahu tapi lebih kepada tidak ingin memberitahu rahasia yang hanya dirinya dan Samudera yang tahu. Teman terbaik kan Sasty ini? Sampai di kantin, Sam langsung berjalan ke arah tempat fotocopy sedangkan Naya memasuki kantin dan memilih menu apa yang enak di makan untuk sarapan. Pilihannya jatuh pada nasi kuning yang berjejer rapi di atas etalasi. Ia pun mengambil salah satunya, kemudian beralih pada tumpukan risol. Setelah itu, berjalan ke sebuah meja dan mulai menikmati sarapan paginya. Tak berselang lama, Sam datang dan tanpa meminta izin pada si penghuni meja, ia langsung duduk tepat di hadapan Naya dengan setumpuk potocopy-an serta dua botol air mineral yang kemudian salah satunya ia berikan pada Naya. "Kalau makan itu, minumnya jangan lupa," celetuknya yang langsung ditanggapi cengiran oleh Naya. "Lupa," katanya singkat. Sam terkekeh. "Bukan lupa. Kebiasaan elo sih," ralat Sam. Tangannya terulur dan refleks mengacak-ngacak rambut Naya. Hal itu seketika membuat Naya berhenti dari aktivitasnya mengunyah nasi dan menatap Sam dengan tatapan yang sulit diartikan. Melihat itu, raut wajah Sam berubah seketika. "Sorry Nay refleks. Gue ... nggak bermaksud lancang. Lo ... nggak suka, ya?" Seolah tersadar, Naya sedikit salah tingkah kemudian tersenyum. "Nggak. Nggak papa," katanya berusaha menetralkan perasaannya. Bukannya Naya nggak suka. Tapi, perlakuan Sam barusan mengingatkan Naya pada Davi. Dulu, cowok itu selalu mengacak-ngacak rambutnya. Tiap Naya tanya, jawabannya pasti 'Aktifitas favorite gue' katanya dengan enteng. Naya selalu senang saat Davi melakukan itu, karena ia merasa disayang. Dan sekarang, hal itu terulang lagi. Bedanya dia bukan Davi. Ada rasa rindu yang kini terselip dalam benak Naya. Rindu terlarang yang tak seharusnya ada. "Mata kuliah hari ini saya cukupkan sampai di sini. See you next week, assalamu'alaikum wr.wb." "Waalaikumsalam wr.wb." Semua mahasiswa yang ada di ruangan tersebut mulai mengemasi barang-barangnya termasuk Davi. Hari ini mata kuliah hanya sampai jam 2 siang dan yang barusan adalah mata kuliah terakhir. "Dav, abis ini jadi kumpul?" tanya Nino. "Kata bang Gara sih, jadi. Tapi gue mau ke perpus dulu ada urusan. Lo mau ikut atau duluan?" "Mau cari bahan buat research paper lagi?" Davi mengangguk. "Gue duluan aja deh. Ikut sama lo terus lama-lama bisa pinter gue," ujarnya sambil tertawa. Davi ikut tertawa. "Ya bagus lah. Biar IP lo naik gak mentok di angka 2 mulu." "Yang penting judulnya lulus," bisiknya lalu melenggang pergi. Davi hanya terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Temannya yang satu itu memang yah sedikit gila. Bayangkan, Nino rela mengeluarkan uang untuk ikut SP padahal nilainya sudah lumayan demi bisa PDKT dengan dosen muda yang super cantik dan single. Setelah membersekan buku-bukunya, Davi melangkah keluar ruangan menuju perpustakaan. Di jam-jam seperti ini, perpustakaan memang sedikit ramai sehingga Davi harus mengantri untuk sekedar memasukan NPM di daftar pengunjung. Davi mulai mengitari rak-rak berisi skripsi dari tahun ke tahun. Dari yang paling tebal sampai yang paling tipis. Sejak SMA, Davi bukan tipikal cowok yang suka membaca tapi semenjak kuliah, ia dituntut untuk banyak membaca apalagi sekarang dirinya sudah semester 5. Di saat kedua sahabatnya—Gilang dan Reno mengambil jurusan teknik dan managemen, Davi memilih jurusan keguruan prodi bahasa inggris. Alasannya? Ia ingin mewujudkan cita-cita sang Kakak. Dulu, kakaknya pernah mengatakan jika ia ingin menjadi seorang guru suatu hari nanti. Tapi, impiannya harus kandas bahkan sebelum kakaknya menginjak bangku kuliah. Davi mengambil salah satu skripsi dan membaca judulnya. Seketika senyumnya mengembang. Menganalisa sebuah film? Sepertinya menarik, batinnya. Ia membuka lembaran demi lembaran skripsi itu sambil berjalan ke sebuah meja. Namun, seseorang tiba-tiba menabraknya membuat skripsi serta sejumlah buku terjatuh. Davi buru-buru menyisikan skripsi itu dan membantu mengambil buku-buku tersebut dan menyerahkannya kepada si pembawa. "Sorry gue nggak—" Davi tidak melanjutkan ucapannya ketika melihat sosok di hadapannya. Ia terkejut. "Na—Naya?" "Da—Davi?" Saat ini Davi dan Naya berada di taman kampus. Keduanya saling diam. Lama tidak bertemu nyatanya memberikan efek canggung yang luar biasa untuk Naya. Sedangkan Davi, cowok itu masih belum bisa percaya jika cewek di sampingnya saat ini adalah Naya. Nayanya. "Dav." "Nay." Keduanya tersenyum. "Lo dulu," ujar Davi. "Lo dulu," kata Naya. Davi terkekeh. Tangannya terulur mengacak-ngacak rambut Naya. "Gue kangen," ungkapnya. Membuat wajah Naya merona seketika. "Gue juga, Dav. Tapi gue udah gak ada haklagi buat kangen lagi sama lo. Gue ... gak bisa ..." ujar Naya dalam hati. Hatinya seketika berdenyut nyeri. Tangan Davi beralih pada pipi Naya. "Yang ada di depan gue sekarang, ini beneran elo kan, Nay? Nayanya gue?" Wajah Naya semakin merona kala Davi mengatakan 'Nayanya gue.' Belum sempat menimpali, Davi lebih dulu menarik Naya ke dalam pelukannya. "Gue kangen sama lo, Nay. Kangen banget ..." ungkapnya lagi. Dari suaranya yang terdengar berat, Naya bisa merasakan betapa cowok itu begitu merindukannya. Naya juga sama. Ia amat sangat merindukan Davi. Tapi di satu sisi, sungguh ia merasa sangat bersalah. Entah kenapa pertemuan ini terasa salah di mata Naya. Tidak seharusnya pertemuan ini ada. "Tuhan ... takdir seperti apa yang yang sebenarnya engkau gariskan?”protes Naya dalam hati. Cukup lama Davi memeluk Naya, ia kemudian merenggangkan pelukannya dan menatap Naya kaget ketika melihat gadisnya menangis. "Lo nangis?" "Ya Tuhan aku harus bagaimana bersikap di hadapan Davi?" Lagi-lagi Naya mengeluh pada Tuhan dalam hati. Naya tersenyum. Mencoba bersikap biasa dan sewajar mungkin "Gue nggak nangis. Gue terlalu seneng. Nggak nyangka bisa ketemu lo lagi," ungkapnya jujur. Ia memang senang tapi entahlah ... Naya merasa pertemuan ini akan bukanlah sesuatu yang benar. Davi ikut tersenyum. "Gue juga. Lo kemana selama ini? Hm? Kenapa tiba-tiba ngilang nggak ada kabar? Nomor lo nggak aktif? Medsos lo juga nggak ada yang bisa gue hubungin," ujar Davi sambil mengelus rambut Naya lembut. Naya menggigit bibir bawahnya. "Itu dia. Ponsel gue sempet ilang dan gue juga lupa gmailnya jadi, semua akses medsos gue nggak bisa dipake lagi. Gue udah coba DM lo di i********: tapi lo sama sekali nggak nanggepin pesan gue. Di baca aja nggak. Saking banyaknya DM masuk kali, ya? Gue sempet sedih waktu itu dan ya, berhenti buat hubungin lo. Gue pikir lo juga mungkin udah lupain gue," papar Naya panjang. Apakah saat ini Naya sudah bisa disebut sebagai aktris yang pintar ber-acting? Naya memang sempat mengirim DM saat itu, tapi jika hal itu di bahas saat ini, sepertinya adalah sebuah hal yang tidak perlu. Karena Naya tahu pasti keadaannya sudah berubah sekarang. "Maafin gue, Nay. Gue emang jarang buka DM. Tapi, itu gak penting lagi sekarang. Karena sekarang lo udah ada di hadapan gue. Dan itu lebih dari cukup," papar Davi dengan senyum yang sepertinya tak bisa lepas dari bibirnya. Seketika ia teringat sesuatu. "Jadi, cewek yang tadi pagi itu beneran Naya?" gumamnya dalam hati. Hatinya menghangat seketika. Ternyata Tuhan mempunyai caranya sendiri untuk mempertemukannya kembali dengan Naya. Dan ia sangat bersyukur pada Tuhan atas itu. "Abis ini masih ada kuliah?" tanya Davi kemudian. "Nggak ada. Kenapa?" "Ikut gue, ya." "Kemana?" "Nanti lo juga tahu. Ada Reno sama Gilang juga. Lo pasti kangen sama mereka." "Serius?" Naya terkekeh. "Kalian masih barengan?" Davi mengangguk. "Cuman beda jurusan." "Ckckck! Sahabat terbaik emang," puji Naya. "Yuk?" ajak Davi. Ia bangkit dari duduknya di susul okeh Naya. "Yuk." Dan seperti kebiasaan Davi, ia merangkul Naya dengan seenak jidatnya lalu membisikan sesuatu. "Mulai hari ini lo jangan jauh-jauh lagi dari gue, Ok?" "Kenapa?" "Karena lo pacar gue," jawab Davi dengan entengnya. "Sejak kapan?" "Sejak dulu. Sejak dulu lo itu pacar gue. Ya anggap aja yang kemaren itu lo ilang. Sekarang kan udah balik lagi." "Tapi Dav—" "Gak ada tapi-tapian. Pokoknya lo pacar gue, titik. Mau nggak mau. Terima gak terima," katanya dengan intonasi memaksa seperti biasa. Naya hanya tersenyum kecil. Harapannya hanya satu, semoga semuanya akan tetap baik-baik saja. Dav ... gue gak pantes jadi pacar lo ...

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

The CEO's Little Wife

read
653.1K
bc

Hasrat Istri simpanan

read
15.0K
bc

Revenge

read
27.7K
bc

BELENGGU

read
67.9K
bc

After That Night

read
13.3K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
80.2K
bc

Istri Lumpuh Sang CEO

read
3.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook