After Married : Part 2

1602 Kata
"Baaang," rayunya. "Dua minggu doang!" rengeknya kini sambil mengedip-edip. Ia menoel-noel dagu lelaki itu. Feri nampak memejamkan matanya sekilas lalu menghela nafas. Tiba-tiba ia malas pulang menilik istrinya masih betah di sini. Ia tahu kalau ia tak boleh egois tapi sekarang, Sara adalah istrinya meski wanita itu masih memiliki Abinya. Tapi tanggung jawab perempuan itu, kini ia yang memegang sepenuhnya. Lelaki itu bimbang seketika. Ia tak enak mengemban Fadli dengan tugas yang banyak yang seharusnya menjadi bebannya. Tapi ia juga tak mau pulang sendirian tanpa Sara. Apa yang harus ia lakukan? Ia galau seketika. Wanita di sebelahnya ini masih kekeuh merayunya. Ia tak bisa menolak tapi tak bisa juga menerimanya. Akan bagaimana sepinya ia di perjalanan nanti? Oke-oke, selama beberapa tahun belakangan pun ia sendiri. Tapi semenjak bertemu lagi dengan Sara.... "Abang kasih satu minggu. Gak lebih dan gak kurang." tawarnya yang sebenarnya bukan penawaran. Itu keputusan mutlak yang harus Sara patuhi. Sara nampak mengerucutkan bibirnya. Satu minggu terlalu cepat dan tidak cukup untuk meluapkan rasa rindu yang tertahan selama setahun belakangan. "Bang," panggilnya. Feri malah beranjak darinya. Lelaki itu meletakkan ipad-nya di nakas lalu berjalan menuju kamar mandi. "Nanti kita bisa ke sini lagi kalau Tiara libur sekolah," tuturnya dengan sedikit emosi saat menjejak kaki di kamar mandi. Sara terhenyak mendengarnya. Ia diam saja. Apa ia keterlaluan? Apa salahnya meminta? Bagaimana pun ia masih merindukan Abinya. Dan lagi, toh ia tetap harus bersama lelaki itu kan? @@@ Usai solat subuh berjamaah, Feri segera memberesi baju-bajunya. Ia merapikan sendiri baju-bajunya dan memasukkannya ke dalam koper. Sebenarnya lelaki itu marah karena istrinya tak mau menemaninya pulang. Tapi ia juga tak mau egois. Jadi dari pada bersuara, ia memilih diam saja. Semalam, saat emosi sedang tinggi menyerangnya, ia memutuskan untuk membeli tiket pagi sekitar jam delapan dari Kabul. Selain penerbangannya lebih singkat, ia juga tak mau berlama-lama di sini meski hatinya masih ingin. Ia masih gondok karena Sara masih betah di sini dan tak mau ikut pulang bersamanya. Disisi lain ia juga tak boleh egois. Sara punya hak untuk bersama keluarganya bukan? "Biar Sara aja yang rapiin. Abang ke bawah aja. Abi nunggu di ruang makan," tutur wanita itu setibanya di dalam kamar. Ia tahu kalau Feri marah tetapi ia diam saja. Ia tak mau memprovokasinya menjadi kemarahan yang lebih besar. Karena ia terlalu mengenal lelaki itu. Kalau ia tak betah berada di sisi lelaki itu mana mungkin mereka sempat berhubungan selama hampir tujuh tahun? Itu bukan waktu yang singkat bagi Sara. Lelaki itu manut saja. Ia langsung bergegas pergi menghampiri mertuanya. Sara menghela nafasnya. Wanita itu menatap koper Feri. Lelaki itu menjejal-jejal baju ke dalam koper dengan asal. Itu pasti karena marah padanya. "Jadi pulang, Fer?" tanya lelaki itu. Aksen British-nya yang kental membuat Feri mati-matian berbicara bahasa inggris yang sopan. Ia tak bisa beraksen british. Hidup di Amerika selama hampir tujuh belas tahun tentu tak mudah mengubah aksennya yang khas American. "Iya, Bi. Feri titip Sara," ucapnya. Abi mengangguk. Beliau senang karena putrinya akan menginap disini lebih lama. Tadinya beliau pikir, Sara akan pulang bersama Feri. Ia sih tak keberatan. Malah senang sekali karena anak perempuannya ada yang menjaga. Jadi, ia tak khawatir lagi ketika Sara tinggal jauh darinya. Selain itu, ia juga sudah lama mengenal Feri kan. "Abi punya bisnis di sini. Sebenarnya kemarin hendak Abi serah kan pada Faiz. Tapi, ia telah meninggal," tutur lelaki itu. Feri mendongak ketika mendengar nama sahabatnya disebut. Ia tak cemburu tapi agaknya ada suatu hal yang hendak Abi sampaikan padanya. "Abi punya dua toko besar di sini. Hanya toko kain biasa. Kalau Sara tak menikah denganmu, rencananya Abi akan menyerahkan padanya. Tapi setelah ia menikah denganmu, Abi ingin bertanya pendapatmu," tutur lelaki paruh baya itu. Feri menyimaknya baik-baik. Mungkin akan ada resiko yang diambilnya karena menikahi anak satu-satunya lelaki paruh baya ini. "Sara tak mungkin Abi tahan di sini selamanya hanya untuk mengurus bisnis Abi bukan?" tanya lelaki itu. Feri mengangguk paham. Ia menghela nafas lega. Untung mertuanya ini pengertian. Kalau tidak, mana bisa ia tinggal berjauhan dengan Sara. Ia meminta maaf di dalam hatinya karena sudah berpikir macam-macam. "Jadi, bagaimana caranya agar bisnis Abi tetap berjalan dan Sara bisa tetap disampingmu?" tanyanya. Feri mengangguk paham titik permasalahannya. "Sementara fisik Abi sudah tak mampu, Fer. Kau tahu sendiri, Abi tak bisa berlama-lama berdiri dan berjalan. Untuk naik tangga saja, Abi harus dibantu." Feri nampak berpikir keras. Abinya benar. Tapi ia masih bingung bagaimana solusinya. Ia memang pembisnis tapi kalau bisnis toko ini ia bingung apakah akan sama manajemennya dengan mengatur perusahaan? Sementara Sara tak beda jauh dengannya. Wanita itu lulusan perbankan syariah. Tapi menilik wanita itu pernah mengurus butik milik Faiz yang kini pindah tangan ke Akib, mungkin Sara bisa mengelolanya. Tapi yang jadi masalah, toko itu ada di Kabul bukan di Jakarta. Ia tak mungkin pindah ke sini karena memegang tanggung jawab perusahaan di Jakarta. Tinggal berjauhan dengan istri baru, mana ia sanggup? Jadi apa yang harus ia lakukan? "Selama ini yang memegang tanggung jawab adalah orang kepercayaan Abi. Ia memegang tanggung jawab sejak Abi mulai sakit-sakitan lima tahun lalu. Namanya Abdul. Sayangnya tahun ini ia akan menikah dan pindah ke tempat istrinya. Ia akan tinggal bersama istrinya di Kairo menempati rumah mertuanya," jelas Abi. "Feri paham, Abi. Nanti Feri coba musyawarahkan dengan keluarga di Jakarta. Siapa tahu ada yang mau membantu atau mungkin mengalokasikan bisnis ini," tuturnya yang diangguki Abi Sara. Putrinya memang tak salah pilih suami. "Tapi jangan terlalu lama. Karena Abdul akan menikah dua minggu lagi," pesan Abinya yang menambah beban di kepala lelaki itu. Haaah. Ia hanya bisa menghela nafas. @@@ "Abang...," panggilnya lalu memeluk pinggang lelaki itu. Ia agak tak rela ditinggal Feri tapi juga tak mau ikut. Jadi maunya apa? Feri hanya menghela nafas lalu perlahan memeluk perempuan ini. Dulu yang tahu Sara itu agresif hanya dirinya. Meski ia terlihat pemalu saat pertama kali bertemu tapi itu hal wajar. Siapa pun akan begitu jika baru bertemu dengan orang asing. Apalagi kalau tiba-tiba jatuh cinta seperti Sara. Hihihi. "Jangan marah lagi dong," ucapnya lalu mendongak. Feri hanya mengangguk lemah. Ia mana bisa marah kalau perempuan ini seperti ini. Sama seperti dulu. Tapi tak ada peluk-pelukan seperti ini. Dari dulu sampai sekarang Sara memang paling pandai merayunya. Perempuan itu mencium bibirnya sekilas lalu terkekeh geli. Ia mengelus dagu yang ditumbuhi sedikit bulu itu sambil menatap Feri dalam-dalam. Ia mencintai lelaki ini, sungguh. Ia sangat menyayangi lelaki ini. Ketika kepala Feri hendak mendekat, muncul suara langkah sopir taksi yang dipersilahkan masuk oleh Ummi untuk membawa koper Feri. Keduanya langsung saling menjauh. Malu kalau ada yang melihat. Feri membiarkan saja sopir taksi itu mengambil koper kecilnya lalu mengajak Sara berjalan ke teras rumah. Ummi dan Abi sudah menunggu di luar. Sara tak berhenti memeluk pinggang lelaki itu meski di depan orangtuanya. Malah Feri yang tak enak karena Sara tak mau melepas pelukannya. Lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal, salah tingkah ketika Ummi dan Abi saling melirik paham. Maklum lah, namanya juga pengantin baru. Mau judulnya duda yang menikah sama janda pun akan tetap sama. Feri pamit pada mertuanya. Ia menyalami mereka dan terakhir Sara menyalaminya. Wanita itu sempat-sempatnya mengelus wajahnya sebelum melepas ia masuk ke dalam taksi. Lalu melambaikan tangan pada ketiganya. Aih, rasanya berat sekali meninggalkan tempat ini. Tapi apa boleh buat, ia masih punya tanggung jawab. Lagi pula Sara juga aman di sana. Jadi, apa yang perlu ia khawatirkan? @@@ Begitu tiba di Indonesia, jangan ditanya. Feri diledek habis-habisan oleh keluarga besarnya. Ternyata rumahnya sudah dipenuhi adik-adiknya. Semuanya kompak mem-bully-nya karena lelaki itu pulang sendirian. Namun yang paling heboh mem-bully tentu saja Fadli dan istrinya. Keduanya kompak meledek Feri sampai wajah lelaki itu berubah masam. Mami hanya bisa menggelengkan kepala saat melihat tingkah anak-anaknya tapi ikut mem-bully juga. Biar kata mereka sudah dewasa, kadang ada juga sikap kekanakan yang masih melekat. Namanya juga manusia meski kadang tak sadar usia. Lelaki itu memilih istirahat karena perjalanan yang ditempuhnya lumayan lama. Tak lupa ia menghubungi istrinya sekali pun biaya telpon ke sana tak murah. Pulsa dua ratus ribu hanya cukup bicara dua puluh menit. Tak apa, pikirnya. Seminggu lagi Sara sudah akan di sini, hiburnya dalam hati. Wanita itu harus pulang karena kini Tiara sudah bertanya keberadaannya. Nyaris saja ia melupakan bocah ini. Jujur saja, dua hari menikah dengan Sara ia tak menghubungi anaknya sama sekali. Ckckck. "Mending Fadlan ya, Mi. Icha langsung Fadlan bawa pulang ke rumah," nyinyir Fadlan ketika makan malam tiba. Lelaki itu tertawa terbahak-bahak bersama saudara-saudaranya ketika melihat wajah masam milik Feri. Yang jadi bahan cerita dari sejak Feri sampai di rumah masih sama. Soal nikah dadakan dan istri yang tak dibawa pulang. "Tapi maksa!" cibir Icha, tak terima. Kalau ingat kenangan menikah dadakan itu, ia merasa agak-agak jengkel juga. Tapi disisi lain, ia merasa bersyukur. Bersyukur karena lelaki itu memang niat sekali untuk menikahinya bukan? Papi dan Mami terkekeh melihat kelakuan suami dan istri itu. Aisha tak kuat menahan tawanya. Wanita itu tersedak akibat kata-kata dari kakak iparnya yang menurutnya, begitu lucu. "Alibi," cibir Fadlan, membalas. Kadang kalau lagi mesra-mesranya yaaaaaa....mampu membuat pasangan mana pun yang ada dunia ini akan mengontrak untuk tinggal di bumi lain. Hihihi. Kalau lagi berantemnya....jangan ditanya. Kelakuan kedua orang yang terikat dalam pernikahan itu persis anak kecil yang suka bertengkar. Fadli menelengkan kepalanya. Jarang-jarang melihat mereka adu mulut. Biasanya yang suka tak akur itu ia dan istrinya bukan pasangan romantis ini. Icha memilih bungkam karena kalah. Ia memang tak pernah menang dari Fadlan bukan? Dari sejak pertama kenal lelaki ini memang lelaki ini sangat lah menjengkelkan. "Jadi Kak Sara kapan ke sini, Bang?" Caca mulai bersuara. Feri berdeham. "Seminggu lagi," tuturnya yang disambut riuh satu rumah. "Alamat puasa lagi nih!" Celetuk Fadli yang mengundang tawa satu rumah. Rasanya Feri ingin balik ke Kabul saja dari pada di-bully tiada akhir oleh keluarganya sendiri. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN