Sekian Lama Menikah : Part 2

1488 Kata
“MAJUUUUUU Aaaaaaak!” Agha kecil terkekeh. Anak lelaki pertama Akib itu sedang diajari menaiki sepeda roda dua oleh Abinya. Ia mulai mengayuh sepedanya walau di belakangnya, abinya memegang sepedanya seraya mendorongnya. Airin tertawa kecil melihat dua laki-laki itu bergerak jauh dari rumah. Anak lelakinya yang berusia tujuh tahun itu memang terus menagih untuk diajari naik sepeda. Katanya biar bisa ke masjid bawa sepeda. Airin iyakan saja tapi tentu saja harus menunggu Akib untuk urusan mengajarinya naik sepeda itu. Sementara Airin berjalan menuju kamar Aidan. Bocah tiga tahun itu akhirnya bangun dari tidur siangnya. Sedangkan anak lelaki paling kecil, Ali satu tahun, masih nampak pulas. “Yeeeee! Aaa'aaaaaak bisa Abiiiii!” serunya setelah hampir setengah jam belajar dengan didorong Akib. Kini ia mulai mengitari taman di dekat masjid meski sesekali miring ke kanan atau ke kiri hampir jatuh. Sementara Akib tampak ngos-ngosan sambil terkekeh. Lelaki itu akhirnya mengambil duduk di bangku panjang yang dipasang di trotoar depan masjid. Ia memantau anak sulungnya mengendarai sepeda itu. Ada rasa haru dan bangga tiap melihat perkembangan anak-anaknya. Walau hingga kini ia masih belum memiliki anak perempuan dan sangat menginginkannya hingga terus meminta pada istrinya. Toh Airin juga tak keberatan. “Jangan terlalu ke tengah, Aaak!” teriaknya saat ia melihat Agha berbelok masuk ke jalan. Meski sore begini lalu lintas kendaraan agak sepi, Akib tetap was-was. Ia perhatikan anak sulungnya yang sedemikian tumbuh. Meski baru tujuh tahun tapi pikiran-pikirannya lebih dewasa dibanding anak-anak seumurannya. Mungkin efek terlalu sering bermain dengan Farrel dan Ando. Walau yah, tidak sependiam mereka. Agha itu bukan tipe bawel sepertinya juga. Dia banyak bicara dan bisa diajak bercanda. Lalu bisa diajak mengobrol serius tentang banyak hal. Akib juga pernah mengajaknya mengobrol tentang adik. Agha malah antusias menyambutnya. Ia bilang, ia suka punya adik yang banyak. Yeah, hal yang membuat Akib tenang tentu saja karena sedari kecil pun Agha bisa diandalkan. Bahkan hingga kini, ketika usianya 12 tahun. Ia lebih besar dibanding lima tahun lalu dan Akib terus mengawasinya. Sejak masuk kelas 4 SD, anak lelakinya itu dipindahkan ke pesantren. Menjelang masuk SMP ini pun, rencananya akan tetap lanjut di pesantren yang sama. Katanya betah dan asyik. Meski kadang rindu adik-adiknya. Terutama dua adik terkecilnya, Adel dan Adeeva yang tampak sangat menggemaskan. Kalau sedang mendapat izin untuk menghubungi keluarga, Agha tidak pernah lupa video call dengan bayi lucu itu. Kini Akib baru saja selesai memperbaiki sepeda pertama Agha yang dibeli lima tahun lalu untuk dipakai Aidan yang tampak cemberut karena mendapat yang bekas bukan yang baru. Akib hanya ingin membinasakannya untuk menggunakan barang yang ada apabila barang itu masih bisa digunakan. Toh fungsinya sama meski performanya sudah menurun. Sore ini ia baru saja hendak keluar bersama Aidan untuk mencoba sepeda bekas milik Agha itu. Hingga.... “Biiiiiii!” Gadis kecil dua tahun itu memanggil. Rambut keritingnya yang lucu mengayun-ayunkan mengikuti langkah kaki kecilnya yang lincah. “Masuk, naaak. Abi keluar dulu sayang,” tuturnya lantas hendak menghampiri Adel yang kini malah berlari ke arahnya dan masuk ke dalam gendongannya. Akib terkekeh. “Masuk duluu, nanti main sama Abi,” tuturnya sambil menaruh Adel ke dalam rumah lantas menutup pintu yang tingginya hanya sepinggulnya. Gadis kecil itu menangis. Walau tak lama.... “Adeeeeeel!” Dua ponakannya muncul. Akib terkekeh sambil berkacak pinggang. Sejak kakak iparnya tak diizinkan mempunyai anak lagi, Adel sering diculik. Dan dua orang ini datang menjemput. “Adel mana Oom?” si gadis bertanya. Akib tersenyum lantas melempar pandangan ke arah pintu di mana Adel menangis. “Ucuuuk ucuuuuk adeknya Farraaaas,” tuturnya sementara Ferril baru saja membalik sepeda. “Abiiii!” Aidan sudah memanggil dari kejauhan sana. Tak sabar mencoba mengendarai sepeda beroda dua. “Hati-hati bawa sepedanya, Riil!”pesan Akib yang diancungi jempol oleh Ferril. Lelaki itu berjalan menyusul Aidan sementara Ferril melirik ke arah pintu. “Buruan lo Raaaas!” teriaknya. Farras cuma bisa mendumel dari dalam sana. Gadis itu sedang memasukan beberapa baju Adel ke dalam tas lalu membawa beberapa botol s**u kemudian pamit pada tantenya yang pasrah karena anaknya dibawa lagi. Lama-lama Adel akan terdaftar dalam kartu keluarga kakaknya kalau begini terus. Meski Fadlan pernah membicarakannya tapi Akib menolak. Tentu saja. Bagaimana pun Adel kan anak kandung mereka. Kalau menginap tak masalah. Meski kadang dalam satu minggu hanya sehari di rumah mereka. Tapi kalau Icha bekerja, Adel akan dipulangkan ke rumah ini tentunya. “Riiil! Bantuin bawa tasnya!” teriak Farras. Ia sudah rempong membawa Adel meski gadis kecil itu malah tampak senang-senang aja karena tahu akan diajak keluar. Ferril berdesis walau tak urung, ia memasang kaki sepeda Farras lalu menyusul ke dalam rumah. Ia mengambil tas yang berisi baju dan botol s**u itu lalu pamit pada Airin yang kini berdadah ria pada anaknya yang tampak girang. Ia tertawa kecil saat melihat ayunan sepeda yang berjalan meleng kiri- kanan itu. Apalagi kepala anaknya juga mengikuti irama. Ia geleng-geleng kepala. @@@ “Rasanya tetap aja kosong,” tutur Airin sambil menatap box bayi Adel. Akib terkekeh. Tadinya ia berencana untuk menambah satu anak lagi tapi mengingat tatapan tajam Fadlan dan Fadli, ia mengurungkan niatnya. Dari pada ia dihajar habis-habisan oleh kakak iparnya itu, ia menyerah. Barangkali memang Adeeva yang terakhir. “Si Aa'aak masih pengen lanjut pesantren. Katanya sampai SMA gak apa-apa.” Airin menghela nafas. Ia sebetulnya tak bisa jauh dari anak tapi apa daya? Untuk sebuah kebaikan kan tak masalah. “Nanti SMA-nya di sini aja, Bi.” Akib menoleh. Lelaki itu sedang melipat baju anak-anak mereka yang baru saja tadi sore diangkat Airin dari jemuran. “Kenapa?” “Farrel sama Ferril juga SMA di sini. Lagi pula si Aa'aak insya Allah anak soleh, Bi. Jadi bisa diandalkan.” Akib tersenyum kecil. Ya memang. Sedari dulu bukan? Sosok Agha sangat mengayomi adik-adiknya. Hal yang membuat Akib teringat kakaknya yang sudah lama meninggal. Haaah. Ia rindu sekali dan rasanya sudah lama tak datang ke makamnya. “Dia ada cerita sesuatu,Bbi?” “Soal cewek?” isengnya yang membuat Airin melotot sementara ia terkikik. “Nanti kamu kaget kalau dia curhat tentang itu.” Airin mengerucutkan bibirnya. Perempuan itu datang dari dapur membawa dua gelas teh manis. Lalu menyodorkan satu gelasnya untuk Akib. “Dia masih kecil, jangan kamu racuni dengan pikiran semacam itu,” tuturnya agak-agak sebal. Ia tak mau anak lelakinya pacaran diusia yang sangat muda. Astaga, bahkan Agha baru akan lulus SD. Akib malah terkekeh. Ya, tapi ia juga tak bisa melarang perasaan anaknya. Jatuh cinta kan hal yang lumrah. Meski ia juga setuju kalau usia Agha itu masih sangat-sangat muda. Tapi melihat tipikal anaknya, Agha tidak akan menyembunyikan apapun darinya. Lihat saja nanti, kalau Agha tertarik pada perempuan, ia pasti akan menceritakannya pada Akib. Apalagi Akib terlihat seperti teman sebaga bagi Agha bukan hanya seorang ayah. Akib memang asyik dan dia selalu mengikuti perkembangan anak-anak jaman sekarang. Selain itu, bisa dibilang ia ayah gaul maka tak heran kalau anak-anak lelakinya begitu menempel padanya. Akib juga selalu tahu kisah apa saja yang terjadi di sekolah Agha, Aidan dan Ali. Kalau Adrian kan baru masuk TK. Bocah yang satu itu sering usil dan buat masalah. Adshilla juga sama. Kembar tengil, itu julukan mami pada keduanya. Akib cuma bisa berdoa semoga tak separah Ardan dan Dina yang tengilnya benar-benar bisa bikin Aisha kena hipertensi. Hahahaha! “Kamu gak usah khawatir. Aa'ak bisa diandalkan. Insya Allah, dia bisa jadi pemimpin bagi adik-adiknya,” ucap Akib dengan serius. Meski kadang ia tampak kekanakan, tengil dan sembrono namun jika urusannya obrolan tentang anak, ia sangat serius. “Aku kepikiran untuk sekolahin Agha di luar negeri suatu saat nanti.” “Kayak Abi?” Akib mengangguk. “Aku dengar dari Bang Fadlan, Farrel dan Ferril sudah dapat kampus di luar.” Airin mengangguk. Ia juga tahu tentang itu. “Tadinya aku pikir, mereka akan meneruskan di sini.” Airin pikir Farrel mungkin akan mengambil kedokteran menilik anak lelaki itu cerdas seperti kakak lelakinya itu. Tapi ternyata tidak. “Farrel kurang cocok jadi dokter, Ai. Dia gak se-humble Bang Fadlan yang lihai dengan pasien.” “Tapi setiap orang bisa berubah.” Akib menoleh ke arah istrinya yang tampak serius itu. Akib terkekeh. Ya, ia juga tak menyangka kalau perempuan yang dulu tampak pendiam dan jutek di hadapannya ini akan memilih menjadi dokter. “Kalau si aa'aak akan jadi apa nanti ya, Ai?” Airin mengendikan bahu. Anak sulungnya itu bisa jadi apa saja. Bahkan Airin tak keberatan sekalipun menjadi politisi. Ia bisa melihat bakat bicara dan pertanyaan kritis milik Agha untuk anak seusianya. “Aku kepengen dia nerusin perusahaan keluarga,” tutur Akib. Tentu saja itu keinginan utamanya. Lelaki itu tampak menguap sambil melipat baju-baju terakhir yang kini juga dibantu Airin. “Dia bahkan masih kecil sementara kita sudah mikir jauh ke sana.” Akib terkekeh. “Tapi melihatnya tumbuh sedemikian besar, membuatku sadar satu hal, Ai.” “Apa?” “Ternyata kita sudah lama bersama.” Airin tersenyum kecil. Ya ya ya, karena waktu berjalan sekian lama, ia juga tak menyadarinya. “Rumah kita sangat ramai sekarang, dari yang hanya berdua,” tambahnya lantas mulai bermanja dengan merebahkan kepala di pangkuan Airin. Hal yang membuat Airin tertawa. Dasar tukang cari kesempatan. “Omong-omong Ai, kita sudah lama tak seperti ini,” lanjutnya lagi sebelum menguap dan mulai menutup matanya. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN