"Bunda mau ke rumah sakit. Tante Caca masuk rumah sakit. Abang nyusul sama kakak dan adek ya?"
Ucap wanita itu sambil menyetir dengan panik. Pasalnya, ia baru melihat pesan dari Mami lima menit lalu. Padahal pesan itu sudah lama terkirim yaitu sejak beberapa jam yang lalu saat ia sibuk mengawasi mahasiswanya yang sedang praktikum di laboratorium. Sementara Farrel hanya berdeham lalu mengucap salam dan menutup ponsel. Ia langsung bergerak keluar dari ruang OSIS. Niatnya untuk menunggu kakak kelasnya yang menjabat ketua OSIS untuk berguru, ia batalkan dengan mengirimkan chat kepada lelaki itu.
Ia langsung berjalan menuju kelas Ferril sebelum ke kelas Farras. Namun langkahnya terhenti saat telinganya mendengar suara cekikikan dari lapangan basket. Seperti biasa, gadis berkerudung itu membuat onar dengan mengganggu para atlet basket yang sedang latihan.
"KIA! YAK! ZAKIYA! BERHENTI LO!" salah satu dari mereka mengamuk.
Bibir Farrel sampai berkedut-kedut menahan tawa. Ia menggelengkan kepala lalu hendak melangkah lagi ketika gadis yang sedang dikejar-kejar atlet basket putri itu berlari menujunya.
"Farrel! Farrel tolongin gue!" Teriaknya lalu bersembunyi di belakang lelaki itu.
Para gadis atlet yang hendak mencincangnya langsung mencicit ketika tahu gadis itu berlindung pada siapa. Mereka langsung menyoraki keduanya sementara wajah Farrel sudah memerah. Lelaki itu hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Jangan suka bikin ulah lagi," tegurnya lembut pada gadis yang kini cengengesan.
"But thank you!" Seru gadis itu lalu mengerlingkan matanya dan terkikik-kikik menjauhi Farrel.
Farrel sempat menahan nafasnya beberapa saat. Ia memang selalu tak bisa bersikap normal jika sudah bersama gadis itu. Ia berusaha menepis perasaan yang kian muncul. Karena logikanya selalu berasumsi, ia ingin wanita pendamping seperti Bundanya. Dan Bundanya tidak pecicilan seperti gadis itu. Mengingat itu hanya membuatnya menarik nafas dalam-dalam untuk tidak tersenyum. Tapi sayangnya, bibirnya selalu mengkhianati. Ia bahkan nyaris menyemburkan tawanya.
"Abang!"
Farras dengan wajah panik berteriak dari kejauhan. Gadis itu masih menggemgam ponselnya yang kini ia acung-acungkan untuk memanggil Farrel. Farrel segera tersadar dan menghampirinya.
"Mau bareng abang atau Ferril?" Lelaki itu menawar.
Farras berdecak lalu dengan songongnya mendepak kepala Farrel yang membuat lelaki itu berdecak sekaligus melotot. Ia malah terkikik. Seharusnya lelaki itu tak perlu bertanya karena ia jarang akur dengan Ferril.
"Bareng abang!" Serunya manja lalu segera menggeret lengan Farrel. Selain pada Fadlan, ia memang akan manja pada lelaki ini. Karena lelaki ini persis papa mereka. Duplikatnya Fadlan.
"Tapi abang belum bilang ke Ferril."
"Biarin aja. Dia pasti baca sms dari Bunda!"
Farrel terkekeh. Lelaki itu merangkul Farras menuju kelasnya sebelum berjalan ke parkiran setelahnya.
@@@
"Enggak! Enggak! Turun lo!" Ardan berdecak di atas motor. Ia berusaha menurunkan Dina dari motornya tapi gadis itu ogah turun. Kini malah menggaet tangannya.
"Ayoooo dong, Daaaaan!" Ia masih kekeuh. Kini sambil terpingkal-pingkal. Tapi Ardan masih kekeuh duduk di atas motornya. Hingga saat lelaki itu lengah, Dina melompat lalu mencabut kunci motornya kemudian lari cekikikan memasuki halaman rumah sakit. Ardan panik lalu berteriak-teriak memanggilnya. Tapi gadis itu tak berhenti. Dengan kesal ia turun dari motor lalu berteriak pada satpam untuk menitipkan motornya kemudian mengejar Dina yang cekikikan sambil mengacung-acung kunci motornya.
"Dokter Irwan! Dokter Irwan!" Gadis itu berteriak saat memasuki lobby. Para petugas langsung mengalihkan perhatian padanya yang sedang berlari-lari--masih sambil cekikikan. Anak dokter mereka yang satu itu memang sering membuat onar di rumah sakit. "Ada Ardan niih! Itu loh yang dulu suka lari-lari gak pakek baju kesini!" Pamernya yang membuat semua orang yang mendengarnya terbahak.
Ardan yang baru tiba langsung mencicit. Para petugas sudah cekikikan saat melihatnya. Beberapa dari mereka berusaha menghentikan tawa tapi tak bisa. Dokter Irwan kebetulan melintas langsung terkikik geli. Dokter itu tahu jika Ardan tak suka padanya. Karena ia selalu mengingatkan Ardan pada aib masa lalu yanh dikunci rapat-rapat oleh Ardan. Jangan sampai teman-teman di sekolahnya tahu apalagi gadis yang ditaksirnya. Bisa malu setengah mati kalau sampai itu terjadi. Sementara Dina segera menghampiri dokter yang hampir pensiun itu.
"Dokter! Dokter! Itu tuh Ardan yang dulu gak pakek baju terus lari-lari disini! Masih inget gak dooooook?"
Panas. Emosi bocah lelaki itu langsung naik. Ia memang masih trauma soal kejadian titit itu. Ia juga malu walau ia sudah lupa akan kejadian penuh aib itu. Makanya ia tak pernah mau datang ke rumah sakit lagi. Sebab semua orang disini hanya akan menertawakannya. Menjadi bahan candaan itu sangat tidak mengenakan. Apalagi Dina memang senang sekali memojokannya disini.
Tanpa tendeng aling, ia menghampiri Dina yang masih cekikikan lalu diambilnya kunci itu secara paksa. Kemudian berjalan keluar dari rumah sakit. Ia tak suka orang-orang menertawakannya.
Sementara Dina masih cekikikan hebat sambil memegang perutnya erat-erat. Tak menyadari kalau kali ini Ardan benar-benar marah padanya.
@@@
Hampir seluruh keluarga berkumpul kecuali Airin yang masih dalam perjalanan. Suasana riuh dan penuh ledekan pada Fadli itu tak terasa di telinga Icha. Sejak mendengar kabar hamil itu, wanita itu mati-matian menahan keirian dan kekesalan yang perlahan timbul pada suaminya. Ia merasa seharusnya ia yang hamil bukan Caca. Karena nyatanya ia bisa menangkap Caca yang tak begitu bersemangat pada kehamilannya. Ia yang justru ingin hamil malah tak bisa.
Begitu lah Allah mengujinya. Apa yang ia ingin malah orang lain yang dapatkan. Tapi bukan karena Allah tidak menyayangi. Malah sebaliknya. Dia nguji artinya Dia semakin cinta. Icha berusaha memupuk diri dengan kata-kata itu untuk mendamaikan hatinya agar tak mendengki. Tapi apalah daya. Ia hanya mempunyai hati manusia bukan hati malaikat. Maka saat suasana semakin gaduh dengan kehadiran Dina yang tak henti bercerita soal Ardan tadi, wanita itu hanya diam.
Farrel hanya terkekeh ringan. Lelaki itu berdiri di dekat pintu aambil melipat kedua tangannya di depan d**a. Farras sudah terpingkal-pingkal bersama Rain. Sementara Ferril belum nongol sama sekali. Lelaki itu sibuk dengan bandnya. Icha yang semakin tak bisa mengontrol perasaannya memilih keluar. Mungkin ini yang namanya perasaan tak suka akan kebahagiaan orang lain. Walau itu bukan kehendaknya. Bukan inginnya untuk seperti ini. Sungguh ia senang mendengar kabar kehamilan itu namun disisi lain ia iri karena menginginkannya.
"Yang!" Fadlan yang baru saja keluar ruang rawat usai memantau pasiennya berteriak memanggil istrinya yang berjalan gamang menuju taman.
Wanita itu duduk dengan lesu. Memandang sekitar tanpa nafsu sama sekali. Hanya kegamangan. Ada kekesalan yang mati-matian ia tahan.
Airin baru saja tiba. Wanita itu datang usai menjemput Agha dan Aidan dari sekolah. Ia berjalan kecil sementara Agha dan Aidan sudah berlari begitu tahu dimana Caca dirawat.
"Kak! Kak Icha!" Wanita itu berteriak. Icha menoleh dengan malas. "Udah liat Kak Caca? Dia sakit apa?" Wanita itu bertanya dari ujung koridor sana.
Icha menjawab dengan lemas. "Lihat saja disana."
Airin mengangguk lalu segera melangkah cepat menyusul anak-anaknya. Namun tak jadi saat Icha berteriak.
"Adel gak dibawa, Rin?"
Wanita itu menggeleng. "Sama Mama di rumah." Ia balas berteriak kemudian balik badan.
Icha yang hendak berkata lagi malah mengurungkan diri. Wanita itu bangkit lalu berjalan menuju parkiran. Meninggalkan rumah sakit.
@@@
"Hooon jangan marah gitu doong," ia berusaha merayu sambil menuil-nuil pipi istrinya. Mereka sudah tiba di rumah sejak sore. Tapi wanita itu masih enggan membuka mulutnya hingga malam ini. Fadli berdecak. Bebannya berat sekali karena ada tanggung jawab lain yang dipegangnya. Masalah kantor apalagi.
"Aku tanggung jawab kok!" Serunya yang membuat Caca memutar mata--jengah. Ya iyalah! Ia kan suaminya! Emang kudu tanggung jawab! Perkataan macam apa itu? Caca mencibir dalam hati.
"Hooon.... ayolah jangan marah." Kali ini ia mendekat. Memeluk istrinya dari belakang. "Siapa tahu anak kita yang ini cowok. Iya gak?" Kali ini ia berusaha mengajak bercanda.
Sementara Caca berdecak. "Terus nanti playboy kayak kamu gitu? Amit-amit!" Ketus wanita itu lalu mengelus-elus perutnya.
Fadli terkikik. "Tapi kan ganteng kayak ayahnya." Godanya yang membuat Caca membuang nafas kasar. Lelaki itu terkikik lagi. Ia tahu jika sekarang istrinya sibuk berdoa supaya anak mereka kelak bukan laki-laki. Bukan apa-apa, Caca memang selalu was-was setiap hamil karena takut anaknya seperti ayahnya yang menel ini.
"Udah ih! Lepas-lepas!" Wanita itu melepas belitan tangan dipinggangnya lalu bangkit dari tempat tidur. Lama-lama di tempat tidur dengan lelaki ini amat bahaya. Kemudian ia keluar dan menjumpai Fasha dan Rain yang sedang bertengkar gara-gara selimut. Wanita itu berdecak lalu mengomeli keduanya. Dua bocah itu menunduk patuh. Pasalnya, ibunya sedang tak bisa diajak kompromi jadi tak ada jalan lain selain mengiyakan saja. Dan kali ini Fasha terpaksa mengalah tapi tentu saja dengan menarik rambut Rain sebelum kabur ke kamar. Meninggalkan Rain yang berteriak kencang karena kesal.
Fadli yang baru keluar kamar menggelengkan kepala dramatis. Heran pada kelakuan dua anaknya yang jarang akur itu. Matanya mengode Rain agar segera mengangkut selimut itu ke kamar. Namun sebelah matanya naik saat Rain malah berjalan ke arahnya.
"Tadi ibu bilang kalo kakak sama Rain mulai malam ini tidur di kamar ini." Ujarnya lalu menunjuk pintu kamar yang berada tepat di belakang Fadli. Lelaki itu menoleh ke belakang dan langsung menyadari jika kamar yang ditunjuk adalah kamarnya dan Caca. "Sabar ya, Ayah!" Hibur bocah itu lalu terkikik sambil berlari memasuki kamar itu.
Fadli berdecak. Lelaki itu segera menuruni tangga. "Hooooooon," ia.memanggil dengan manja namun tetap diacuhkan Caca.
@@@
"Yaaaang!" Baru turun dari mobil, lelaki itu langsung berteriak. Namun tak ada yang menjawab panggilannya seperti biasa. Apalagi suara langkah kaki yang mendekat. Malah suara langkah terburu-buru dari pintu gerbang yang terdengar lalu diiringi suara cekikikan Farras. Gadis itu langsung berteriak saat melihat papanya yang baru pulang dari rumah sakit.
"Habis dari mana?"
"Habis beli bakso sama abang di depan sana, Pa!" Lapor gadis itu setelah menyalami tangannya dan menciumi pipinya.
Kini mata Fadlan mengarah pada Farrel yang hanya mengangguk tipis. Mengerti arti tatapan itu. "Ferril udah pulang?"
Farrel langsung memberi kode pada Farras. Farras yang mengerti hanya mampu menghela nafas. Lalu mengeluarkan ponselnya dan segera mendial nomer Ferril. Kemudian dilanjutkan dengan omelannya yang panjang dan memekakan telinga Ferril ketika mengangkatnya. Gadis itu memang lebih cerewet dari Bundanya. Apalagi kalau ia keluyuran sampai malam. Omelannya lebih panjang dari pada gerbong kereta api.
Fadlan menggelengkan kepala lalu berjalan memasuki rumah. Tapi kosong. Lengang yang ia rasa ketika memasuki ruangan demi ruangan. Dalam sekejab saja ia tahu kalau istrinya tak ada.
"Bunda kemana?"
"Farrel telepon gak diangkat."
Fadlan menarik nafas. Ia memilih duduk di ruang keluarga sementara Farrel membawa bungkusan bakso ke dapur. Kini Fadlan baru sadar kenapa anaknya membeli makanan di luar. Tentu saja karena istrinya tak ada di rumah. Ia mengeluarkan ponselnya tapi malah operator yang menjawab panggilannya. Ponsel wanita itu mati. Dalam sekejab saja, kekhawatiran itu tumbuh.
"Buruan pulang! Awas lo kalo gak segera pulang! Gue laporin Papa!" Gadis itu mengoceh di telepon sebelum mematikannya. Sementara di seberang sana, Ferril sibuk menirukan bibir Farras saat mengoceh lalu ditertawai teman-temannya.
"Pa....Bunda kok gak pulang-pulang sih?" Gadis itu bertanya sambil berjalan mendekat pada Fadlan yang sibuk menelepon satu per satu keluarganya. "Tadi juga tau-tau ngilang aja di rumah sakit." Ia melanjutkan keluh kesahnya lalu rebah di samping Papanya. "Padahal Farras mau ajak Bunda beli cake. Kan Bunda udah janji kemarin." Keluh kesahnya yang sama sekali tak dihiraukan Fadlan. Ia berdecak kesal namun tak berani menganggu Papanya.
"Gak apa-apa, Mi. Fadlan kira dia kesana," lelaki itu menjawab lemah pertanyaan Mami lalu dilanjutkan dengan mendial nomor kakak iparnya--Sara.
"Icha ada disana, kak?"
"Gak tahu kalau di rumah, Lan. Aku masih di jalan sama Ando dan Ann. Coba telepon Aya, siapa tahu dia udah di rumah."
Fadlan langsung senewen karena disuruh menelepon Tiara. Gadis itu bertele-tele jika menjawab sesuatu. Hal itu selalu membuatnya kesal. "Kak, telepon kak Tiara. Tanyain ada Bunda gak di rumahnya." Ia melempar tugasnya pada Farras yang hanya bisa pasrah menerima. Gadis itu mengangguk.
"Tapi nanti ganti pulsa Farras ya, Pa!" Serunya lalu nyengir saat Fadlan memutar bola mata--jengah. Dia bukannya pelit apalagi perhitungan. Tapi masalahnya ada pada orang yang ditelepon ini. Hanya bertanya satu pertanyaan aja bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Tiara oh Tiara. Cucu tertua Adhiyaksa itu memang cerewet dan bawel minta ampun.
"Ada Icha disana, Sha?"
"Rumah kami kosong, kak. Aku sama Wira dan anak-anak lagi makan malam di luar."
Fadlan mendengus. Tinggal Airin harapan satu-satunya.
"Halo assalamualaikum, kak." Wanita itu mengangkat teleponnya. Fadlan menghela nafas. Belum sempat bertanya, Airin sudah menyerocos duluan. "Cari kak Icha, kak? Ada di rumah kok!" Ucapnya yang langsung tahu kenapa kakaknya tiba-tiba menelepon.
Fadlan mendesah nafas lega saat tahu keberadaan istrinya. "Dia mana? Kakak mau ngomong sama dia."
Airin menjawab 'sebentar' lalu wanita itu berteriak memanggil kakak iparnya. Wanita itu sibuk bercanda dengan Adelina yang kini terkikik puas. Sadar jika Airin memanggilnya, apalagi kode telepon yang ditunjukan wanita itu, membuat Icha enggan menerimanya. Ia marah pada lelaki itu.
"Bilang aja, sebentar lagi kakak pulang."
Itu suara istrinya. Fadlan mengusap wajahnya. Lega. Tak masalah walaupun istrinya tak mau bicara. Karena yang terpenting adalah wanita itu segera pulanh. Lalu ia mengiyakan saja apa yang dikatakan Airin yaitu sama persis dengan ucapan istrinya kemudian beruluk salam dan menutup telepon. Saat ia menoleh, ia baru sadar kalau anak gadisnya sudah cekikikan dengan telepon. Pasti Tiara! Sementara Farrel kalem aja menikmati baksonya. Bodo amat! Perutnya lapar!
@@@