"Halo, Abang udah sampe?" Aku menjawab panggilan Eda.
"Baru masuk, kamu dimana?" Tanya Eda.
"Lagi lihat - lihat baju, ketemu di Ichiban Sushi aja ya." Saranku.
"Abang lagi enggak mau makan sushi." Tolaknya.
"Yaudah, lapangan tembak aja."
"Oke."
Aku menutup telepon. Tidak sulit menyiapkan makan untuk Eda kalau kami menikah nanti. Favoritnya cuma dua, mie dari Negara mana saja dan bakso. Kalau malas masak, tinggal tunggu mamang bakso keliling. Dia akan anteng disuguhi bakso malang, bakso urat bahkan bakso cuanki.
Tapi, karena sadar dengan gaya hidup sehat, terkadang Eda memilih menyingkirkan egonya untuk makan makanan favoritnya dan mengalah mengajakku mencari makanan yang cukup sehat.
Aku membayar dua kaos yang kuinginkan dan segera keluar dari outlet baju untuk menghampiri Eda yang sudah sampai di tempat makan yang kusarankan.
Di lokasi, mataku menjelajahi semua pengunjung mencari sosok Eda. Sampai pandanganku terhalang oleh seorang perempuan yang berdiri membelakangiku. Tubuhnya yang tinggi semampai tampak sempurna berdiri dengan sepatu heels yang membuatnya semakin menjulang. Celana kulot dengan motif strip vertikal membuat tubuh rampingnya semakin langsing dan menarik. Kemeja putih tanpa lengan itu, memperlihatkan kedua tangannya yang kecil dan mulus. Tangan kirinya diselipkan dalam kantong celana. Rambutnya dikuncir kuda tinggi - tinggi, meninggalkan beberapa helai yang kini bergerak seiring tawanya yang terdengar renyah. Tas Prada miliknya diletakkan di atas meja, yang mana kutahu adalah meja tempat Eda berada.
Mereka berdua ngobrol cukup lama, mesti keduanya dalam posisi berdiri. Yang mestinya adalah obrolan singkat, karena baik Eda maupun perempuan itu tidak ada yang mempersilakan duduk. Mungkin sepuluh menit sudah, aku mengamati mereka berdua dan belum ada tanda - tanda perempuan itu ingin menyudahi obrolan mereka yang sepertinya cukup menarik.
Aku menghela napas dan mendekati meja Eda. Perempuan itu menoleh. Jarak yang cukup jauh membuatku tidak terkena kibasan rambutnya yang bergoyang saat dia memutar kepala menyambutku.
"Ra, kenalin ini Melani. Mel, Haura." Eda mengenalkanku pada perempuan ini.
Kuulurkan tangan yang disambut dengan ramah oleh Melani.
"Melani. Saya junior Takeda di kampus dulu."
Oh junior. Kok kayak akrab banget.
"Haura. Calon istrinya Eda." Jawabku, membuat senyum Melani memudar. Namun dengan sopan dia melirik Eda dan kembali tersenyum padaku.
"Kayaknya pernah ketemu deh, datang ke pernikahan Ella dan Steven juga kan tempo hari?" Melani menunjuk dadaku yang kebetulan lebih pendek dari dadanya yang mancung, pertanyaan itu dia ajukan ke Eda.
"Iya, saya bawa Haura saat itu." Jawab Eda.
Melani kembali tersenyum. "Yaudah, Bang, aku duluan ya. Kapan - kapan ngobrol lagi. Terus , tawaran rumah sakit itu, jangan kelamaan mikirnya."
Mataku tidak lepas dari gerak - gerik Melani yang mengelus lengan atas Eda saat berpamitan.
Eda mengangguk dan tersenyum, melambaikan tangan padanya dan berpesan hati - hati.
"Junior?" Tanyaku sinis saat punggung Melani menghilang dari pandangan kami.
Eda memberikan menu dan menyuruhku memilih, tidak menggubris pertanyaanku.
"Junior pake elus - elus tangan?" Aku masih dalam mode ngajak perang.
"Kamu mau makan atau mau interogasi?" Tanyanya pelan, tanpa emosi.
"Mau cuci lengan kamu yang dipegang - pegang sama dia." Jawabku ketus.
"Aku pesan nasi goreng biasa untuk kamu ya." Eda mengambil buku menu dan memanggil waiter. "Minumnya? Teh manis hangat aja ya." Katanya lagi, tanpa menunggu persetujuanku.
Dia memesankan makanan kami, aku menatapnya galak. Eda tampak cuek dan mengabaikan amarahku.
"Capek lho, Ra, pasang wajah tegang begitu." Komentarnya saat kembali melihat wajahku yang ingin memakannya hidup - hidup.
"Kesel sama Abang!" Ketusku.
"Kenapa?" Eda mematikan layar ponselnya dan fokus menatapku.
"Kamu diem aja dielus - elus dia tadi. Tapi marah aku elus - elus."
Eda menghela napas ringan.
"Dia pamitan."
"Kalau aku?"
"Kamu yang tahu niat kamu sendiri." Jawabnya, membuatku misuh - misuh dalam hati.
"Aku cemburu. Titik." Kataku akhirnya.
Eda menatapku datar. Sedatar tatapan biasanya. Sulit menerka apa yang dia pikirkan saat ini.
Eda pamit pada ayah saat jam menunjukkan pukul sepuluh lewat dua puluh menit. Rumah Eda agak jauh dari rumahku dan ini sudah larut. Setelah berjanji akan datang di acara tujuh bulanan kakak iparku, Eda beranjak dari kursi. Aku mengantarkannya sampai pagar.
"Salam untuk mama ya, Bang." Pesanku, Eda mengiyakan.
"Jangan begadang." Eda mengingatkanku, aku mengangguk.
Aku sering mengobrol sampai pagi dengan Saira, adikku. Namanya juga anak rantau, walau jarak Jakarta - Tangerang dekat, aku jarang pulang ke rumah. Tentu saja karena jam siaranku yang tidak menentu dan kadang dapat panggilan mendadak kalau harus gantikan teman yang tiba - tiba cuti atau sakit.
Eda melajukan motornya, kutunggu sampai ia menghilang melewati portal perumahanku dan baru masuk ketika Eda sudah tidak terlihat lagi.
Di ruang tv, bunda dan Saira masih nonton sambil maskeran. Aku ikut duduk di sebelah bunda dan menyandarkan kepala di bahunya.
"Eda belum ada woro - woro soal pernikahan Mbak?" Bunda melepaskan maskernya dan mengambil tissue di atas meja untuk mengeringkan wajah, membuatku mengangkat kepala.
Aku menggeleng lesu.
"Kamu masih mau nungguin Eda sampai melamar?"
Aku melirik bunda sambil memanyunkan bibir.
Bunda melirik ke kamar, memastikan kalau ayah tidak bisa mendengar percakapan kami karena mungkin sedang sikat gigi.
"Bunda sih capek nungguinnya. Apa lagi yang dia tunggu coba? Rumah udah ada, kamu bisa bantu cicil mobil. Terus mau sampai kapan pacaran doang begitu? Gak maju - maju." Saira tertarik dengan ucapan bunda dan merangsek mendekati kami.
"Tapi cari yang seganteng bang Eda susah, Bun." Komentarnya.
"Halah, emang kamu nikah makan gantengnya? Yang penting mapan." Jawab Bunda dan kembali menoleh ke arahku. "Mau Bunda kenalin sama anak temen arisan Bunda gak, Mbak? Ada yang pilot, presenter, pengusaha. Enggak apa - apa dapat duda, asal jelas gitu lho arahnya. Mau nikah, ya nikah." Bunda semangat buka ponselnya mencari - cari foto dan menunjukkan beberapa foto pria - pria yang diceritakannya.
Aku menghela napas pelan, meluruskan kaki dan meregangkannya.
"Coba dong Mbak, elo yang inisiatif bahas pernikahan sama bang Eda. Siapa tahu, dia memang lagi nunggu sinyal dari lo." Saira mengomporiku.
"Sinyal apaan!" Bunda menjawab spontan sambil memukul lengan Saira yang sekarang menggerutu dan membalikkan badannya ke arahku lagi. "Udah berapa puluh tahun sih kamu pacaran sama dia? Kayaknya dari Saira SD sampe dia kuliah begini, enggak ada kemajuan kalian. Lihat tuh mas-mu, suka sama perempuan gak lama - lama dilamar langsung. Kasih kepastian."
"Bunda gak sabar ya mau gelar pesta lagi?" Sindirku, bunda menatap galak.
"Kasian sama kamu, dipacarin lama - lama belum juga dinikahin. Jangan sampai ternyata selama ini kamu jagain jodoh orang, kayak artis - artis itu. Pacaran bertahun - tahun sama siapa, nikahnya sama siapa." Omel bunda yang langsung bungkam saat mendengar suara batuk ayah dari kamar.
"Aku tidur deh. Pusing denger omelan Bunda." Aku beranjak dari sofa dan menuju kamarku.
"Minta kepastian, atau tinggalkan! Kamu cantik, banyak yang mau sama kamu." Teriak bunda, kututup kedua telinga sampai dalam kamar dan mengunci pintunya.
***