"Woy!" sapa Ben pada Eldra saat melihat sahabatnya itu duduk sendirian di tepi danau sekolah mereka saat jam istirahat siang. Di samping danau terdapat beberapa meja dan kursi yang dibuat dari semen. Pihak sekolah membuatnya dengan tujuan sekedar untuk menghilangkan kepenatan, makan siang, belajar, bahkan bersenda gurau para siswa dan siswi sekolah itu.
"Bukannya makan malah hp aja lo pelototin! Sofi, Anne, Amanda belum ke sini?"
"Belum."
Ben membuka lunch box-nya, lalu membuka milik El, menelisik sesuatu yang menarik dari dalam sana.
"Enak." ujarnya seraya mengunyah dendeng balado basah bikinan Andien - Ibu Eldra.
"Kapan sih lo bilang masakan Mama ga enak?"
Ben hanya menggumam sambil menikmati kunyahannya.
"Wih, tumben lengkap bawaan lo. Segala ada ayam panggang, biasa bawa nugget. Ibu masak?" tanya El lagi.
"Sejak kapan Ibu masak? Sisa semalam ini bawaan Ayah pulang kantor."
Eldra hanya terkekeh mendengar jawaban asal dari Ben. Memang sudah menjadi rahasia umum jika Debby - Ibu Ben adalah seorang perempuan yang terlarang memasuki dapur. Dapur akan hancur berantakan dibuatnya kala berusaha membuat satu jenis masakan, hanya menimbulkan omelan dari Borne - Ayah Ben. Bagus jika hasil masakannya enak, sayangnya yang terjadi bahkan tak layak untuk dimakan, hancur baik bentuk ataupun rasanya. Mungkin dalam sejarah, Debby hanya benar memasak kala Ben masih dalam masa MPASI dan menggoreng frozen food.
"Abang!" sapa Anne seraya memeluk Eldra dari belakang. El melabuhkan kecupan singkat di pipi adik perempuannya itu.
"Makan." perintah El seraya menyodorkan lunch box milih Anne. Setiap hari El memang selalu membawa bekal Anne, lalu menunggu adiknya itu di tepi danau untuk makan siang bersama, memastikan Anne menghabiskan makanannya.
"Anne pengen makan di kantin sesekali." ujar Anne manja.
"Iya, abisin dulu itu, baru makan di kantin." jawab El santai.
"Ya kenyang duluan, ih!"
"Makan!"
"Iya." ujar Anne seraya memberengut. Ben yang memperhatikan mereka sedari tadi hanya terkekeh.
"Amanda mana?" tanya Ben pada Anne.
"Ada latihan teather kan, jadi makannya bareng-bareng yang latihan."
Ben hanya mengangguk.
"Abang..." tegur Anne pada Eldra.
"Hmm..."
"Tadi pas istirahat pertama, Arkana nembak Anne."
'uhuk-uhuk!'
'uhuk-uhuk!'
Eldra membukakan tumbler milik Ben, meletakkan tumbler itu genggaman tangan Ben yang terus terbatuk karena tersedak makanannya sendiri.
'uhuk-uhuk!'
"Ben, ih. Pelan-pelan sih makannya." ujar Anne.
Eldra hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, menyesali ketidakpekaan adiknya itu.
'uhuk-uhuk!'
"Terus?" tanya El pada Anne.
"Terus apa?"
"Abis nembak terus gimana?"
"Ya ga gimana-gimana."
"Kamu terima?"
Anne menggeleng.
"Nanya Abang dulu makanya. Boleh ga?"
Ben mendengus kasar. Kesal mendengar percakapan dua orang di depannya.
Eldra meraih ponselnya lagi, melakukan panggilan video pada pria yang paling dikaguminya.
"Hello brother! Assalammu'alaikum!" sapa pria itu di ujung panggilan sana.
'Udah gila gue rasa bokap gue!'
"Yoi brother! Wa'alaikumsalam!" balas Eldra, sama gilanya.
"Ada apa brother?"
"Papa ngapain?"
"Makanlah."
"Kok di ruang kerja?"
"Biasa, banyak kerjaan. Kenapa, boy?"
"Papa berhenti dulu makannya."
"Lah kenapa?"
"Berhenti dulu, kalau keselek El ga tanggung jawab."
"Oke. Udah."
"Anne ditembak."
Dirga - Ayah El dan Anne terdiam di sana. Pias.
"Maksud El, ada cowo yang ngajak Anne pacaran."
Dirga menghembuskan kembali udara dari paru-parunya yang tadi sempat ditahannya.
"Ya Allah, lemes lutut Papa."
"Lah emang Papa kira apa?"
"Papa kira ditembak apa. Papa kira Anne terluka atau apa."
Eldra lupa, jika trauma Ayahnya ketika Ibu mereka ditikam di awal pernikahannya tak pernah menghilang.
"Bukan, Pa. Anne nanya El, boleh ga pacaran ceunah."
"Mana Anne?"
El menyerahkan ponselnya pada Anne yang sedang sibuk dengan bekal makan siangnya.
"Papa." sapa Anne.
"Hey princess. Masih makan?"
Anne mengangguk.
"Sambil jelasin ke Papa bisa?"
Anne mengangguk lagi.
"Siapa cowo itu?"
"Arkana."
"Oh."
"Papa tau kan orangnya?"
"Iya, tau."
"Boleh Papa?"
"Boleh apa?"
"Pacaran."
"Terus Papa gimana?"
"Ih, Papa!"
"Ya ntar Anne ga sayang lagi sama Papa. Ga mau jalan lagi sama Papa. Males-malesan diajak kencan sama Papa. Di sekolah juga ga mau lagi nyamperin Abang."
Anne memberengut.
"Emang udah siap untuk ujian? Anne udah kelas IX lho, udah matang persiapan masuk SMA?"
"Ga tau..." lirih Anne.
"Abang El bilang apa?"
"Ga bilang apa-apa. Malah nelpon Papa."
"Ben bilang apa?"
"Ga bilang apa-apa juga. Diem aja tuh dari tadi sambil nancep-nancepin sendok garpu. Kayaknya moodnya lagi jelek."
El menggelengkan kepalanya lagi.
'Persis banget emak gue. Cewe tapi ga ada peka-pekanya!'
Dirga terkekeh di ujung sambungan.
"Coba tanya Ben, boleh ga Anne pacaran sama Arkana?"
"Boleh ga Ben?"
"Boleh! Tapi Arkana aku hajar dulu sampe lupa namanya dia sendiri!" omel Ben.
"Ih!" ketus Anne. Kesal dengan jawaban Ben.
"Papa malah ketawa sih."
"Berarti ga boleh itu."
Anne memberengut.
"Emang Anne suka sama Arkana?" tanya Dirga lagi.
"Ga tau, Papa."
"Lah kok ga tau?"
"Arkana baik."
"Terus?"
"Baik aja."
Dirga mendengus.
"Kalau ga ketemu sama Arkana, misalnya weekend atau libur sekolah, kangen ga?"
"Biasa aja!"
"Kangennya sama siapa?"
"Ben."
Dirga dan Eldra tertawa geli.
'Dasar bocah!'
"Ya udah, bilang sama Arkana, temenan aja, sahabatan aja. Bilang aja Papa ga ijinin, soalnya Papa takut Anne ga mau kencan lagi sama Papa. Papa jealous! Bilang gitu sama Arkana."
"Arkana ga marah?"
"Ngga. Bilang aja yang tadi Papa omongin."
"Oke."
"Ya sudah, Papa makan dulu ya sayang? Papa belum shalat, habis ini Papa masih ada meeting."
"Oke, Papa."
"I love you guys."
"We love you, Papa." jawab Anne, El dan Ben bersamaan.
"Kak Sofi mana sih?" tanya Anne pada Eldra seraya menyerahkan ponsel Abangnya itu.
El hanya menaik turunkan bahunya.
Hingga santap siang mereka hampir tandas, seorang gadis cantik bersurai sebahu berjalan mendekati mereka, bersama seorang pria yang Eldra kenal sebagai ketua kelasnya. Begitu sampai di meja mereka, Sofi duduk di samping Eldra, sementara Reno - pria tadi duduk di samping Ben.
"Udah makan?" tanya El pada Sofi.
"Udah."
"Aku nyisain dendeng tuh. Kamu mau?"
Sofi mengangguk lalu mulai mengunyah makanan yang disimpankan El untuknya.
"Lo udah makan Ren?"
"Udah, tadi makan di kantin sama Sofi."
El terdiam.
"El..." tegur Reno lagi.
"Ya?"
"Gue barusan jadian sama Sofi."
Sontak ponsel yang sedang digenggam El terlepas dari tangannya begitu saja, mengeluarkan suara benturan antara benda pipih itu dengan meja beton di hadapan mereka. Sementara Ben dan Anne menatap iba pada Eldra.
El memalingkan wajahnya, menatap Sofi yang duduk di sampingnya.
Sofi tersenyum. Cantik sekali.
"Kaget ya?" tanya Sofi sumringah.
"Reno nembaknya udah lama. Udah dua mingguan deh. Baru gue terima tadi." ujar Sofi lagi.
"Beneran?" tanya El lembut, parau.
Sofi mengangguk.
"Oh."
"Ya udah. Congratz ya. Aku tinggal dulu, belum shalat." ujar El lesu.
Sofi terdiam, merasa aneh dengan sikap El yang tiba-tiba bermuram durja.
Begitu El pergi, Ben pun membereskan kotak makan siangnya. Juga membantu Anne membereskan wadah bekalnya.
"Anne udah shalat?" tanya Ben.
Anne menggeleng.
"Yuk ke masjid bareng. Kotaknya aku bawa aja. Nanti pas pulang baru Anne bawa. Oke?"
"Oke."
"Sof, bang Ren, duluan." pamit Ben.
Sofi mengangguk, begitu juga Reno. Kepergian ketiganya meninggalkan relung hampa di hati Sofi.
'Mereka kenapa sih?'
---
Seusai jam pelajaran sekolah, Eldra tak langsung bisa pulang menuju kediamannya, begitu pun Sofi. Mereka masih harus bersabar untuk mengikuti tambahan jam belajar yang diadakan sekolah untuk mensupport siswa siswinya yang duduk di kelas XII SMA, termasuk Eldra, Sofi, dan tentu saja Reno.
Berkali-kali El berusaha mengembalikan kefokusannya dengan materi yang sedang dibahas sang guru di depan kelas. Berkali-kali juga El menghembuskan nafas kasar, bahkan sampai membuat sang guru menanyakan keadaannya. Berkali-kali juga El berusaha mengendalikan emosinya agar tak menarik Reno yang terus saja menempeli dan bermanja pada Sofi. Benci, El benci melihat gadis yang dicintainya justru mencintai orang lain.
"El..."
"Ya?"
"Gue pulang sama Reno ya?"
"Oh."
"Lo ga apa-apa kan?"
"Oke."
"Sofi!" tegur seorang pria yang sedang berjalan mendekati Sofi, El dan Reno.
"Lho, Papi kok di sini?"
"Habis ketemu client sekitar sini, sekalian aja jemput kamu."
"El pulang ya Pap." ujar El lesu.
Ian - Ayah Sofi hanya mendengus. Ian paham, El merasa kalah. Jika bukan karena El yang mengabarinya bahwa Sofi baru saja mengiyakan ajakan pacaran teman satu sekolah mereka, mungkin Ian tak ada di sekolah ini untuk menjemput puterinya itu. Khawatir. Ian terlalu khawatir jika Sofi dekat dengan pria yang sama sekali asing baginya.
'Jadi inget waktu tau Meta pacaran sama Arman.' batin Ian kala menatap wajah suram El. Mengingatkannya pada masa lalunya dan Meta - Ibu Sofi.
"Ga ditinggal aja mobilnya? Papi antar ajalah, El."
"Ga usah Pap. El ga apa-apa kok."
"Lo sakit, El?"
"Iya."
"Kalo sakit jangan nyetir, El."
"Ga apa-apa. Kalau gue besok ga masuk, bilangin Miss Atma ya. Surat dokter menyusul." lirih El lagi.
Ia meraih tangan Ian, menyalamnya takzim, lalu melangkah menjauh meninggalkan ketiganya.
"Papi, kenalin, ini Reno." ujar Sofi.
Reno menyalam Ian takzim, Ian hanya membalasnya dengan senyuman hambar.
"Ya sudah Reno, Om lapar, lagian Maminya Sofi sudah nunggu. Kami duluan ya."
"Maaf ya Ren."
"It's ok, Sofi."
"Hati-hati di jalan, Om." ujar Reno lagi yang hanya dijawab Ian dengan anggukan.
***
Bandung, satu setengah tahun kemudian.
"El!" pekik Sofi seraya berlari ke arah Eldra. Ia bersiap, menangkap Sofi jikalau tiba-tiba gadis itu tersandung seperti biasa akibat kecerobohannya.
"Haduh! Ca-pek!" ujar Sofi terengah-engah.
"Apa?"
"Jadi pulang ke Jakarta?"
"Jadi."
"Masih ada kuliah?"
"Udah selesai. Ini mau langsung balik."
"El, gue ikut."
"Lho kata kamu ga balik?"
"Udah beres kok, tadi ga ada kuliah jadi beresin laporan praktikum dan essay buat tugas presentasi Senin depan. Udah beres, jadi bisa balik."
"Oh. Oke."
"Tapi temenin gue balik ke kosan sebentar ya?"
"Oke."
Sudah satu jam El melajukan kendaraannya, memecah tol Bandung - Jakarta yang kala itu cukup lenggang.
"Chat sama siapa sih? Aku berasa supir banget daritadi didiemin."
"Eh sorry El... Ngga kok, chat sama Reno."
"Oh."
"El..."
"Ya?"
"Temenin gue dong. Sebentar aja. Atau drop gue aja deh, nanti gue balik sendiri."
"Kemana?"
"Depok."
El terdiam.
"Ya El?"
"Kamu janjian sama Reno?"
Sofi menggeleng.
"Kejutan."
"Ini udah sore banget, Sof. Sampe Depok pasti udah malam."
"Sebentar doang kok El."
"Ya udah. Setengah jam, ga lebih. Aku tunggu."
"Oke." ujar Sofi sumringah.
---
El baru saja memarkirkan city car miliknya di seberang bangunan yang ia ketahui sebagai kosan yang ditempati Reno - teman SMAnya sekaligus kekasih Sofi.
"Di sini aja aku tunggu ga apa-apa kan? Biar ga muter-muter nanti pas mau balik, sempit jalannya, lagian depan kosannya penuh motor parkir gitu."
"Iya ga apa-apa, El."
"Ya udah."
Eldra membuka kunci pintu, lalu keluar dari pintu kemudinya, berlari menuju pintu penumpang di sampingnya, membukakan untuk Sofi.
"Thank you, El."
"Hmm."
"Perlu aku temenin ga?" tanya El lagi.
"Ga usah."
"Jangan di dalam kamar ya Sof. Suruh turun ajalah si Reno. Nanti aku masuk mobil, ga ganggu kok."
"Iya."
Sofi mengeluarkan ponsel dari sling bag-nya. Mendial nomor Reno.
Setelah beberapa lama, nada panggil itu usai begitu saja.
"Kok ga diangkat ya? Padahal tadi bilang lagi di kosan."
"Mau ke atas aja? Itu kan kamarnya? Nomor 11, tuh keliatan banget dari sini." ujar El seraya mendelik ke arah salah satu pintu dari bangunan di depannya.
"Takutnya lagi keluar, El. Bentar gue telpon sekali lagi."
Baru saja nada panggil itu putus untuk kali ke dua, pintu kamar kost Reno terbuka. Seorang gadis, dan Reno yang berjalan di belakangnya, melewati pintu itu.
Sofi membeku. Masih dengan ponsel yang menempel di telinganya. Begitupun dengan El, turut terdiam menyaksikan kedua insan yang terlihat bersenda gurau dengan begitu ceria di seberang sana.
Belum cukup sampai di situ, tiba-tiba saja Reno merendah dan mengecup cepat bibir perempuan itu, membuat ponsel di genggaman Sofi terlepas menghantam beton trotoar begitu saja.
El menunduk, meraih ponsel Sofi yang layarnya retak akibat benturan tadi.
"Sof..." lirih El seraya merangkulnya lembut. Sofi masih terdiam.
Begitu Reno dan perempuan yang tidak mereka kenali melangkah, Reno memalingkan wajahnya sesaat. Sesaat yang akhirnya menjadi penyesalannya. Kedua pasang netra bersirobok, menghadirkan getir di sudut mata Sofi. El langsung memaksa membalik tubuh Sofi, bersegera menuntun Sofi masuk kembali ke dalam mobil, lalu berlari kecil dan masuk kembali ke balik kemudi. Di seberang sana, Reno berlari panik menuju kendaraan mereka.
Baru saja El selesai memasangkan sabuk pengaman pada Sofi, Reno sudah mengetuk panik kaca jendela mobil El, tepat di samping Sofi. Sofi hanya diam, bahkan tak jua mengusap air matanya yang sedari tadi berderai. El memasang sabuk pengamannya, menyalakan mesin mobil, lalu tanpa perduli pada Reno yang memekik panik di luar sana - El melajukan kendaraannya begitu saja. Jauh di dalam hatinya, sumpah serapah terus terucap tertuju pada pria yang tertinggal membatu di belakang mereka.
---
"Sof..."
"Hey!"
"Ta, gue mau ngobrol bentar sama Sofi." pinta El pada Lita, sahabat Sofi.
"Oke. Traktir ya? Cuanki pake nambah."
"Iya dah, suka-suka lo!" kekeh El.
Begitu Lita beranjak, El mendudukkan bokongnya tepat di samping Sofi. Menempel.
"Ih, El. Ngapain sih nempel-nempel?"
"Ga apa-apa."
El malah merebahkan kepalanya di bahu Sofi. Membuat Sofi terkesiap membeku.
"Sof..."
"Hmm?"
"Kamu udah jadian lagi?"
"Lo gila? Baru juga sebulan gue putus sama Reno."
"Oh. Belum berarti?"
"Belumlah, El!"
"Soalnya aku denger si Aga nembak kamu."
"Oh, gue tolak."
"Kenapa?"
"Males."
El terkekeh.
"Sof..."
"Apa?"
El mendengus.
"Apa, El? Lo lagi suka sama cewe?"
El mengangguk.
"Iya."
Dan jawaban El sontak membuat Sofi kian membeku.
"Sof..."
Sofi diam saja.
"Kata Papa. Kalau aku pacaran sama dia, aku ga boleh putus. Harus sampe nikah masa Sof. Sampe salah satu mati malah, Sof."
Sofi masih diam.
"Gimana Sof?"
El mengangkat kepalanya. Merubah posisi duduknya agar bisa menatap Sofi lekat.
"Sof?"
"Terserah lo!" ketus Sofi.
"Kok kamu gitu sih?"
"Kan yang mau jadian elo! Ga ada urusannya sama gue!" ketus Sofi lagi.
Eldra mendengus. Menegapkan punggungnya, bersiap menumpahkan isi hatinya pada sahabatnya sejak kecil itu.
"Sof..."
"Udah ah, El. Gue masih ada kuliah, mau ke kantin dulu." Sofi tiba-tiba saja berdiri, membuat El bergerak cepat meraih satu pergelangan gadis itu.
"Sofi..." lirih Eldra.
Sofi kembali duduk.
"Jawab dulu dong..."
"Kan gue bilang, terserah lo! Bukan urusan gue juga kan?" repet Sofi lagi.
"Ya urusan kamulah Sof... Gimana sih?"
Sofi mengerutkan keningnya. El mengulurkan tangannya yang bebas, mengusap lembut kening Sofi.
"Nanti keriput sebelum waktunya lho." canda El.
"Gimana?" tanya Eldra lagi.
"Kenapa jadi urusan gue?" ketus Sofi lagi.
"Kamu ga bisa ya berhenti ngomong elo gue sama aku?"
Sofi mendengus.
"El!" pekik Sofi.
"Makanya jawab, baru aku lepasin."
"Jawab apaan sih?"
"Menurut kamu gimana?"
"Ya gimana apa? Yang jalanin hubungan itu kan elo, bukan gue, El..."
"Kita, Sof... Kita yang jalanin." lirih Eldra.
Sofi terdiam. Kedua manik matanya ikut membola.
"Maksud kamu?"
Eldra tersenyum mendengar kata kamu yang tersemat di pertanyaan Sofi.
"Aku cinta kamu."
"El..."
"Kayanya aku udah nunggu lama, Sof... Bisa ga, untuk kali ini, kamu pikirin perasaanku?"
"Maksud kamu?" tanya Sofi lagi.
"Emang kamu ga sadar kalau selama ini aku punya perasaan ke kamu?"
Sofi terdiam.
"Sof?"
"Kamu kan ga pernah bilang, El."
"Aku ga bilang karena apa yang Papa bilang benar. Aku ga bisa putus sama kamu. Kamu tau kan gimana kita? Keluarga kita lebih dari sekedar akrab."
Sofi menatap El lekat.
"Gimana, Sof?"
"Sofi harus jawab sekarang?"
Eldra mendengus.
"Kamu ga pernah punya cinta ya buat aku?"
"Bukan gitu El..."
"Berarti kamu pernah cinta sama aku? Aku telat ya? Perasaan itu udah hilang?"
"El..."
"Sofi..." lirih El, kecewa.
"It's ok. Aku pamit kalau gitu. Aku juga ada kuliah lima belas menit lagi." gumam El lagi, sendu.
"El..."
"Bye, Sof." El melepaskan cengkramannya di pergelangan tangan Sofi. Menepuk-nepuk kedua pahanya, bersiap berdiri meninggalkan Sofi.
Sofi justru mengapitkan tangannya di siku dalam Eldra, beranjak mendekat, bergerak secepat mungkin.
'Cup!'
Satu kecupan singkat mendarat di pipi kiri Eldra. Membuat wajah Eldra laksana udang rebus seketika. Memanas.
"Nanti Sofi selesai praktikum jam lima. El tungguin ya... Anterin Sofi ke kosan." ujar Sofi panik, tergesa melarikan diri sebelum lebih malu karena kelakuan impulsifnya barusan.
Baru beberapa langkah berlari, Sofi berputar, berlari kecil kembali ke arah El yang masih mematung.
"El kan ga pernah bilang, ya wajar dong Sofi ga tau!"
"Sofi..."
Sofi mengulurkan kedua tangannya, menunjukkan bentuk hati yang dirangkainya dari telunjuk dan ibu jarinya, persis seperti yang sering terlihat di layar kaca drama-drama Korea.
El terkekeh.
Sofi tersenyum, berbalik kembali, meninggalkan El yang meneriakkan satu kalimat yang membuat wajah Sofi memerah seketika.
"Sofiiiii! Aku cinta kamuuuu!"
---------------------
Ryan
9 Januari 2022