"Haaaaiiii!" Pekik Reina yang berdiri tepat di sampingku. Sahabat masa SMAku yang satu itu memang tak berubah, suara melengking ditambah hobinya berteriak tak hilang meski usia kami kini sudah dipertengahan dua puluh.
Sapaan atau teriakan yang barusan bergema sontak membuat semua teman-teman SMA seangkatanku menoleh pada kami. Ternyata benar, hari ini adalah hari diselenggarakannya reuni SMA angkatan kami yang ke tujuh. Dilihat dari tempat pelaksanaan dan penampilan teman-temanku malam itu, sepertinya mayoritas angkatan kami kini memiliki tingkat sosial yang cukup baik. Well, jujur aku tidak tahu sama sekali, karena baru kali ini aku mengikuti acara reuni tahunan ini.
Reina membawaku kian masuk ke dalam area restoran di bilangan Dharmawangsa - Jakarta Selatan itu, menuju sebuah meja panjang yang ternyata diisi teman-teman satu kelasku di kelas XII IPA-I dulu.
"Reinaaa!" pekik beberapa dari mereka. Aku masih bersembunyi di belakang punggung Reina.
"Hai teman-temanku yang cupu!" jawabnya asal.
"Lihat dooong... Gue bawa siapa..." pekik Reina lagi.
Reina menarikku dari balik tubuhnya.
"Nih! Si anak hilang! Tenang, abis gue maki-maki dari siang!" lagi-lagi Reina sesumbar. Walaupun apa yang dikatakannya juga tak salah.
Aku tersenyum kaku, menatap satu persatu wajah teman-temanku.
"Nada?" ucap beberapa dari mereka bersamaan. Tak menyangka dengan kehadiranku.
Reina lagi-lagi menarikku, agar duduk di salah satu kursi, berhadapan langsung dengan ketua kelas kami kala itu - Bimo.
"Hai semua. Hai Bim!" sapaku hangat walau kaku.
"Lo kemana aja Na? Lo kaya hilang tanpa jejak tau ngga!" ujar Bimo.
Aku hanya terkekeh.
Belum sempat menjawab, aku dikejutkan oleh suara yang begitu kukenal. Suara yang mampu membuat jantungku menggila seketika.
"Hai semua!" sapanya hangat.
Aku membeku seketika. Wajahku tak mampu berpaling ke sisi kanan - ke arahnya, aku takut melihatnya.
"Bismaaa!" pekik Bimo seraya berdiri dari tempatnya duduk. Bisma mendekatinya, mereka bersalaman seraya beradu pundak.
"Kenalin, cewe gue." ujar Bisma.
'Ya Tuhan...' batinku pilu.
"Hai, gue Bimo."
"Lindi."
"Duduk-duduk." ujar Bimo.
Aku tak juga menatap mereka, wajahku kupaksa membelakangi Bisma dan perempuan yang ia katakan kekasihnya itu. Aku memilih pura-pura berbicara dengan Desti yang duduk di samping kiriku. Sementara satu tangan Reina, mencengkram pahaku. Sepertinya ia berusaha menyampaikan, jika ia ada untuk mendukungku.
"Gila ya! Baru tahun ini lho kelas kita lengkap!" ujar Bimo.
"Lengkap?" tanya Bisma.
"Yoi. Lo dateng setelah tiga tahun skip. Tuh Nada juga dateng! Setelah lebih dari tujuh tahun menghilang."
Aku menutup kedua netraku, gelisah. Tangan kananku yang kusampirkan di sisi kanan wajahku belum jua kuturunkan.
"WOI Na!" pekik Bimo.
"Iiih, gue lagi ngobrol sama Desti." lirihku, pura-pura kesal karena diganggu.
"Sapa dong Bisma!" tegur Bimo.
Aku paham yang Bimo maksud. Walaupun kami tak lagi bersama, bukan berarti dari kekasih menjadi musuh. Semua orang di sini tahu hubungan kami berdua.Waktu itu tepat satu bulan setelah masa orientasi siswa baru angkatan kami. Aku sangat mengingat hari itu. Bagaimana mungkin tak ingat, Bisma menyatakan cintanya di tengah lapangan upacara seusai upacara bendera di Senin pagi. Ia benar-benar membuatku malu sekaligus tersipu di hadapan ratusan murid dan guru sekolah kami.
Kedua netraku bepaling pada Bisma. Kedua sudut bibirku kupaksa naik. Telapak tanganku sebelah kanan pun tak ketinggalan kupaksa untuk melambai.
"Hai, Ara."
Bisma membeku. Ia lekat menatapku.
"Ara?" tanya Lisdi heran.
Bisma diam saja.
Sedetik... Dua detik... Tiga detik... Tatapannya tetap lekat padaku.
Perempuan di sampingnya mengguncang-guncang lengannya. Mungkin risih melihat kekasihnya justru terpaku menatapku. Aku mengangguk, tersenyum pada perempuan itu. Dia, justru melayangkan tatapan sinis padaku.
"Jadi lo ngilang kemana, Nada?" tanya Bimo, memecah adegan horor di tengah-tengah kami.
"Amsterdam."
"Oooh. Kok ga bilang-bilang?"
"Mas Rio dapet kerjaan di sana. Ya lo kan tau, gue cuma berdua sama Mas Rio sejak Mama dan Papa ga ada. Jadi otomatis gue ikut."
"Semendadak itu, Na? Sampai bilang Reina aja lo ga bisa?" tanya Bimo penasaran.
"Hmm... Sorry."
"Udah-udah! Kan gue udah bilang tadi, dia udah abis gue caci maki dari siang!" ujar Reina.
"Terus, ini lo udah bakalan stay di sini lagi, atau ada urusan aja makanya lo balik?" tanya Bimo lagi.
"Kalau Reina nerima gue kerja di perusahaannya, berarti gue harus menetap di sini." jawabku.
"Diterimalah! Gila kali gue ga nerima arsitek sehebat elo!"
Aku terkekeh.
"Oh, lo arsitek juga? Kaya Mas Rio dong?"
"Iya, Bim."
Ya, hampir semua teman sekelasku mengenal Mas Rio. Bagaimana bisa tidak, Mas Rio mengantar jemputku nyaris setiap hari, juga menyusulku kemana pun setiap ada acara sekolah atau internal kelas yang diadakan di luar sekolah dulu.
"Mas Rio balik ke sini juga?"
"Belum. Mas Rio masih ada kontrak setahun lagi di sana. Kontrak habis, dia balik ke sini. Rencananya mau buka kantor sendiri."
"Jadi, rencananya Nada cuma bakal kerja sama gue sekitar setahun. Abis itu mereka mau bikin company di bidang arsitektur sendiri." jelas Reina.
"Asoylah ya kerja sama sohib sendiri."
"Yoi, Bim!" tandas Reina.
Kami masih asik saling bertukar kabar, sekaligus mengungkit memori-memori masa belia kami. Ada yang bercerita tentang pekerjaannya. Ada yang bercerita tentang bisnis yang dibangunnya. Ada yang bercerita tentang anak pertamanya. Ada juga yang bercerita tentang rencana pernikahannya. Dan aku, hanya penikmat kisah yang urung menceritakan kisahnya sendiri. Begitupun Bisma.
"Elo, dengar-dengar mau tunangan ya? Emang kapan rencana pertunangannya, Bis?" tanya Reina.
Bisma diam saja. Kedua netranya terus saja menatap lekat atau melirik tajam kepadaku.
"Lo bisu ya? Gue nanya Bisma!" Omel Reina.
"Belum tau, Mas Bisma masih banyak proyek." Lindi yang menjawab.
"Yang pasti tahun ini ya kan, Mas?" lanjut Lindi lagi.
"Lihat nanti!" Bisma malah ketus menjawab.
Jujur, jika jadi Lindi, aku pasti sudah menyiram wajah Bisma dengan minuman di hadapannya. Lagi pula, sejak kapan Bisma berubah dingin seperti itu?
Aku masih merenungi sifat Bisma yang berubah drastis itu, saat dering ponsel Bisma bergema.
"Ya?"
"...."
"Rumah Sakit mana?"
"...."
"Ok. Bisma langsung ke sana, Pa."
"...."
"Wa'alaikumsalam."
Bisma meletakkan ponselnya ke dalam saku celananya. Raut wajahnya terlihat getir.
"Kenapa, Mas?" Tanya Lindi.
"Mama masuk Rumah Sakit."
Lindi terdiam sesaat.
"Mas mau lihat?"
"Ya iyalah, Lin. Pake nanya sih! Kenapa? Kamu ga mau ikut?"
"Mas kan tau aku takut Rumah Sakit." gumamnya manja.
"It's ok. Kamu bisa naik taksi kan?"
"Iya Mas, bisa."
"Ok. Pergilah. Mulai saat ini, kita putus!"
Tiba-tiba saja suasana berubah kelam. Wajah bengis Bisma muncul tanpa keramahan sama sekali. Semua pasang netra yang mendengar ucapan sadisnya tak mampu berpaling, terpaku menatap Bisma dan Lindi. Bisma yang terlihat geram, dan Lindi yang terlihat sendu.
"Mas..." Lirih Lindi, parau menahan tangis.
"Ibu dan Ayahku sudah tua, Lin. Suka atau tidak suka mereka akan rutin mengujungi Rumah Sakit. Dan aku anak laki-laki tertua dan satu-satunya. Walaupun kedua adik perempuanku berlutut meminta agar mereka merawat Mama dan Papa di masa tuanya, aku tak akan membiarkannya, karena kewajiban itu adalah milikku. Dan kamu ingin menjadi pendampingku sementara melihat Ibuku yang terbaring lemah saja kamu tak mau? Ingat, ini bukan pertama kalinya kamu menunjukkan sikap tak suka pada orang tuaku! Bilang pada orang tuamu, hubungan kita berakhir. Tak ada pertunangan, apalagi pernikahan!"
Lisdi membeku dengan air mata yang terus saja berderai. Sementara Bisma begitu dingin tak kenal kasih.
'Ya Tuhan, Ara... Apa yang membuatmu menjadi begitu dingin.'
"Guys, gue duluan." ujar Bisma seraya meninggalkan meja kami begitu saja.
Akupun ikut berdiri. Menyambar tas dan blazerku.
"Rein, gue duluan ya. Nanti kita telponan aja, ok?"
"Lo yakin, Na?"
"Iya. Gue juga ga bisa lama-lama. Maaf ya."
"Ya udah, hati-hati ya Na."
"Iya."
"Bim, semua, gue duluan ya... Masih ada urusan mendesak." ujarku, lalu turut pergi meninggalkan tempat itu mengikuti langkah Bisma.
"ARA!" pekikku setelah menemukan siluet punggungnya di pelataran parkir restoran.
Bisma menoleh, menatapku datar.
"Ke Rumah Sakit mana?"
"KMC."
"Aku boleh ikut?"
Bisma mengerutkan dahinya.
"Nanti aku naik taksi dari Rumah Sakit."
"Ok." ujarnya.
Baru saja ia hendak duduk di balik kemudi, aku mencengkram siku kanannya.
"Aku aja yang nyetir, Ara."
"Aku bisa..."
"Ara... Ga baik nyetir saat pikiran kalut. Aku aja ya?"
Bisma tak menjawab. Ia menyerahkan kunci mobilnya padaku, lalu berjalan menuju pintu penumpang depan.
"Mama sakit apa Ara?" tanyaku begitu mobil yang membawa kami keluar dari Jl. Dharmawangsa Raya.
"Apa pedulimu Nina?"
"Ara..."
"Karenina Nada Puspita, apa pedulimu?"
Aku terdiam, begitupun Bisma. Tak satupun dari kami yang berniat lebih dulu memecahkan kesunyian hingga aku selesai memakirkan mobilnya di pelataran parkir Rumah Sakit Kemang Medical Centre.
"Aku mau jenguk Mama. Boleh?"
Bisma mendengus.
"Ara?"
"Ya, lakukanlah sesukamu. Seperti yang selalu kamu lakukan."
Aku diam. Kini aku tahu, akulah penyebab pria ramah di sampingku berubah menjadi sosok bengis dan dingin.
Bisma tetap dalam mode batu walaupun kami berjalan beriringan di sepanjang selasar Rumah Sakit menuju ruang rawat Ibunya. Sungguh rasanya benar-benar tak nyaman. Tetapi mengingat apa yang terjadi pada kami, sepertinya sikapnya ini memang pantas kuterima.
"Nina?" lirih Mama Bisma begitu melihatku masuk ke dalam ruang rawat inapnya.
Papa Bisma pun tak kalah terkejut, ia sampai refleks berdiri seolah melihatku bangkit dari kubur. Aku berjalan mendekati keduanya, menyalam keduanya takzim.
"Mama kenapa?" tanyaku.
"Nina di sini?" beliau malah balik bertanya.
"Iya Ma. Maaf, selama ini Nada menghilang." lirihku parau.
"Mama yakin, kamu pasti punya alasan. Iya kan Pa?" ucapnya, sekaligus meminta dukungan pada suaminya.
Papa Bisma mengangguk.
"Bahas Nina nanti aja. Jadi, Mama kenapa?" tanyaku lagi.
"Jantung." ujar Papa Bisma.
"Jantung?"
"Serangan pertama sekitar tiga tahun lalu." ujar beliau lagi.
Aku memalingkan wajahku dari menatap pria paruh baya yang duduk di samping Bisma, kembali menatap isterinya yang kupanggil Mama sejak kedua orang tuaku tiada karena kecelakaan di ruas tol Jagorawi saat aku masih duduk di kelas X.
"Nina... Bilangin Ara, putusin Lindi. Mama pusing. Stress liat cewe-cewe pilihan Ara." lirih Mama. Mengadukan kelakuan putera sulungnya.
"Berarti Mama dulu juga stress dong lihat Nina?" tanyaku jahil.
"Ck! Cuma kamu cewenya Ara yang sayang sama Mama dan Papa. Sayang sama kami dan Ara bukan karena uang kami. Lagian cuma kamu satu-satunya cewenya Ara yang tau gimana sulitnya kami saat itu."
"Berarti Nina masih ga ada lawan ya Ma?" candaku. Mama terkekeh pelan.
"Mama tenang aja. Tadi, anak Mama yang dingin itu, mutusin Lindi di depan umum dengan wajah bengisnya. 'Bilang pada orangtuamu. Tidak ada pertunangan, apalagi pernikahan!' gitu katanya Ma." ucapku seraya menirukan perkataan Bisma beberapa waktu lalu.
Aku menatap wajah Bisma dari pantulan cermin di samping ranjang Mama. Bisma diam saja, wajahnya datar tanpa ekspresi.
Usai menceritakan sedikit kehidupanku di negara kincir angin, aku menatap jam yang menghiasi salah satu sudut dinding kamar rawat inap itu.
"Ma, Nina harus pulang."
Mama mengikuti arah pandangku.
"Kan besok Sabtu, nak."
"Besok Nina datang lagi kalau Mama mengijinkan."
"Boleh, nak."
"Besok Nina datang berdua ya Ma."
Kedua netra Mama membola. Tangan kanannya yang sedari tadi bergenggaman dengan tanganku mengerat. Aku kembali menatap cermin di samping kiri tempat tidur, lebih tepatnya menatap wajah terkesiap dari Papa dan Bisma.
"Nina sudah menikah? Atau sudah punya pacar?" tanya Papa. Pertanyaan yang mungkin sedari tadi ragu ia utarakan.
Aku menggeleng.
"Ke sini sama Rio?" kali ini Mama yang bertanya.
"Kan tadi Nina bilang kalau Mas Rio masih di Amsterdam, Ma. Tahun depan baru nyusul ke sini."
"Lalu sama siapa, nak?"
Aku diam saja. Hanya mengeratkan genggaman tangan kami. Entah apakah Mama melihat, getar di sudut bibir dan mataku ketika mencoba menyembunyikan kejujuran yang selama ini kusimpan sendiri.
"Nina?" lirih Mama. Tangannya yang terhubung dengan kabel infus mengelus tanganku yang digenggamnya. Aku menatapnya, beliau balas menatapku lekat.
'Dugaan Mama dulu benar, Ma.' batinku.
"Pulanglah, nak. Datanglah lagi esok. Bawa dia." ujar Mama pelan.
Saat itu aku tau, Mama mengerti.
***
Sudah satu jam kami terjebak di dalam kendaraan roda empat ini. Kemacetan di Jakarta terlebih pada Jum'at malam seperti ini memang sudah menjadi satu kepastian. Sebenarnya, kali ini aku begitu bersyukur dengan kemacetan panjang ini sejak kami keluar dari area Rumah Sakit menuju apartemen Nina di wilayah Kebayoran Lama.
Ah, betul juga. Namaku Bismantara Airlangga, orang-orang biasa menyapaku Bisma. Tetapi keluargaku di rumah, juga Nina dan Mas Rio memanggilku Ara. Dan perempuan yang duduk di sampingku ini adalah Karenina Nada Puspita. Mantan kekasihku walaupun tidak pernah ada kata putus yang mengakhiri hubungan kasih kami. Dia... Sosok perempuan yang belum bisa tergantikan di hatiku.
"Nina..."
"Hmm..."
"Kamu dari tadi WA-an sama siapa?"
"Ada..."
"Ada siapa?"
"Kepo ih."
"Lama di Amsterdam ternyata tau kepo juga."
"Ada internet Ara."
"Iya sih. Tapi kupikir kamu terdampar di tempat yang ga ada teknologi, termasuk internet. Sampai-sampai kamu ga bisa menghubungiku." ujarku ketus.
Nina mendengus. Ia mematikan layar ponselnya, lalu memasukkannya ke dalam handbagnya.
Aku memperhatikannya lagi. Mengisi waktu sebelum menginjak pedal gas lagi.
"Nina..."
Nina memalingkan wajahnya yang sedaritadi membelakangiku. Kini, ia memandangku.
"Apa aku ga pantas mendapat penjelasan apapun?" tanyaku pelan.
"Nanti. Kamu akan tau alasannya."
Aku diam. Aku tahu, percuma memaksanya bicara.
Ia memalingkan wajahnya lagi. Begitupun aku. Kembali fokus dengan setir yang kugenggam dengan kedua tanganku ini.
"Aku bawa coklat dari Amsterdam. Enak deh. Mau minum coklat panas sebelum balik?" tanya Nina begitu kami masuk ke area apartemen yang dihuninya.
"Mau!" jawabku tegas tanpa malu-malu. Dia berhutang penjelasan padaku, apapun caranya aku harus tau alasannya pergi meninggalkanku sekejam itu tujuh tahun lalu.
Dari pelataran parkir, hingga ke depan unitnya, Nina tetap diam. Tetapi begitu kami sampai di depan pintu unitnya ini, ia menggenggam tangan kananku erat.
"Ara... Aku tau kamu akan kaget. Tapi kuharap, kamu bisa bersikap baik dengan sosok yang akan kamu lihat."
Aku mengerutkan keningku. Tak mengerti apa yang ia ucapkan.
Nina menempelkan key card-nya, lalu membuka pintu di hadapan kami. Baru saja kami melangkah melewati foyer, seorang anak kecil berlari ke arah kami - ke arah Nina maksudku - seraya berteriak.
"Mama..."
Nina bersimpuh, membentangkan kedua tangannya lebar-lebar, membawa anak laki-laki itu ke dalam pelukannya.
Aku?
Membeku.
"Anak Mama kok belum tidur?"
"Kan Gala kan harus tunggu Mama."
"Maaf Mama pulang terlambat ya sayang."
"Iya, Mama."
Aku tetap tak bisa bergerak dari posisiku. Terpaku menatap keduanya. Hingga kedua netra milik anak itu menatapku dalam. Ia terkesiap, aku bisa menangkap gurat tak percaya dari wajahnya. Gala. Pemuda kecil yang mengingatkanku pada seseorang di masa kecilnya. Aku! Ya Tuhan, anak itu mirip sekali denganku.
Gala memalingkan pandangannya, menarik tubuhnya dari dekapan Nina, menatap kedua netra Nina lekat.
"Mama... Itu..." ia menunjukku dengan ibu jari kecilnya.
Nina mengangguk.
Gala berlari kembali, menghilang di balik pintu kamar. Saat itu pula aku sadar, seorang wanita paruh baya yang sedari dulu menjadi asisten rumah tangga sekaligus pengasuh Nina - berdiri di samping pintu kamar yang Gala masuki. Perempuan itu tersenyum padaku. Aku masih diam, belum sanggup bereaksi apapun.
Tak lama, Gala kembali berlari kecil. Kali ini, ia tak berlari ke arah Nina, tetapi berlari ke arahku.
Aku bersimpuh di hadapannya.
Ia menggenggam benda berbentuk segi empat, benda yang bisa kukenali sebagai pigura yang bisa memuat tiga foto sekaligus.
Gala menatapku lekat, lalu menyerahkan pigura itu padaku.
Lututku lemas. Aku terduduk lemah di atas lantai. Menatap ketiga foto yang mengisi pigura itu.
Fotoku dan Nina yang masih berseragam putih abu-abu, foto Nina yang tengah mengandung, dan foto seorang bayi laki-laki yang bisa kupastikan adalah Gala.
'Ya Allah, apa yang sudah kulewatkan? Laki-laki b******n macam apa aku? Bahkan aku tidak tau jika aku memilki seorang putera.'
"Papa..." lirih Gala. Kedua tangan kecilnya mengusap kedua pipiku dari air mata yang sudah berderai sedari tadi.
Aku masih terisak. Semua perasaan pilu menyergapku begitu saja.
'Kenapa aku bisa sebodoh ini? Membiarkan Nina menanggungnya sendiri sekian lama. Bodoh lo, Ara! Bodoh!'
"Papa..." lirih Gala lagi. Kali ini ia memelukku erat.
"Papa jangan nangis." ujarnya lagi.
"Maafin Papa, Gala..." isakku.
"Ga apa-apa, Papa... Kata Mama, Papa kuliah di sini dan kerja biar bisa bantu Kakek. Juga buat sekolahin Gala, biar nanti Gala bisa jadi arsitek kaya Mama. Jadi, Gala harus sabar nunggu Papa datang."
Aku terisak lagi.
'Ya Tuhan...'
"Papa sudah selesai kuliahnya?" tanya Gala.
Aku mengangguk.
"Papa sudah kerja?"
Aku mengangguk lagi.
"Berarti Gala boleh sekolah di sini, Papa?"
Aku menarik tubuhku. Mengusap air mataku, menatap kedua netra puteraku seraya tersenyum.
"Iya, Gala sekolah di sini. Nanti Papa yang antar Gala sekolah. Oke?"
"Oke!" serunya ceria.
Aku menatap jam di dinding kamar Gala. Puteraku itu sudah larut dalam mimpinya setelah menceritakan banyak hal yang ia alami padaku. Sudah jam satu dini hari.
Aku beranjak keluar dari kamar Gala. Melangkah menuju sofa di depan televisi. Televisi itu masih menyala, menonton penontonnya yang tertidur.
Aku duduk perlahan di sampingnya. Meraih tumbler berwarna hijau tua dengan sticky notes yang tertempel di tutupnya.
'Ini coklat panas buat Ara.'
Aku menyesap minuman itu perlahan. Nina benar, rasanya enak.
Aku meletakkan lagi tumbler itu di atas meja, lalu duduk menyamping, menyandarkan kepalaku di sandaran sofa seperti yang Nina lakukan. Menatap Ibu dari puteraku.
"Nina..." lirihku seraya mengelus lembut pipi kanannya.
Kedua matanya mengerjap beberapa kali sebelum terbuka sempurna, menatapku seraya tersenyum.
"Ara..." lirihnya.
"Nina... Kenapa ga bilang?"
"Ga apa-apa Ara... Kondisi Ara sulit saat itu. Perusahaan di ujung tanduk. Papa bahkan sempat stroke ringan. Aku ga bisa ngasih tau Ara..."
"Tapi Gala juga anakku Nina..."
"Nina ga pernah nutupin Ara sebagai Papa Gala. Ga pernah."
"Nina..."
"Apa Ara bisa menerima Gala?"
"Ya Allah, Nina... Gala anakku. Pasti aku menerimanya."
"Syukurlah..."
"Siapa aja yang tau?"
"Mas Rio. Dan Reina, karena tadi siang aku di korek-korek sama dia."
Aku terkekeh membayangkan bertapa gigihnya Reina mengorek keterangan dari Nina.
"Mas Rio?"
"Tadinya Mas Rio mau bilang kamu. Tapi Nina larang. Nina minta supaya Mas Rio terima tawaran kerja di Amsterdam, dan Nina ikut. Nina janji merawat kandungan Nina, melahirkan, kuliah sekaligus membesarkan Gala di sana. Nina jelasin keadaan Ara saat itu, juga kalau Ara ga tau jika Nina hamil. Dan Mas Rio menghormati keputusan Nina."
"Nina..."
"Ara..."
"Hmm..."
"Apa Ara udah ga punya perasaan apa-apa sama Nina?"
Aku terdiam. Tentu saja aku masih mencintainya. Apa dia tidak sadar jika aku begitu putus asa menunggunya kembali?
"Ara..." ia merajuk.
"Nina gimana? Masih cinta sama aku?"
"Nina kan cewe, masa Nina bilang duluan?" rajuknya lagi.
"Jadi, kalau aku bilang aku udah ilfil, kamu bakalan bilang gitu juga? Dan kalau aku bilang aku masih cinta, kamu bakalan bilang hal yang sama?"
Nina memberengut.
Aku terkekeh. Tanganku terulur lagi mengelus lembut pipi kanannya.
Nina mengangkat pandangannya, menatap kedua netraku lekat. Tanganku bergerak ke leher belakangnya, berdiam di sana. Aku mendekatkan wajah kami, menyatukan nafas kami.
"Aku mencintaimu, Nina... Masih. Selalu." ujarku sebelum menempelkan kedua bibir kami, mengecupnya dalam, meluapkan semua emosi dan rinduku selama ini.
"Akupun mencintaimu, Ara." balasnya lembut.
------------------------------
Ryan, 19 Desember 2021