Reon Zalendra tertawa mengejek pada sahabat-sahabatnya. Ia memegang gelas vodka sembari menatap ketiga sahabatnya dan sesekali akan tertawa mendengar ucapan dari ketiga sahabatnya.
"Menikah? Hanya dalam mimpi!" ucap Reon sarkas.
Kevin, Lucas, dan Peter tertawa mendengar nada kesal dari Reon. "Kakekmu sudah menjodohkan kamu, terima saja." Lucas dan yang lainnya tertawa.
Reon berdecak kesal, "Aku tidak mau menikah! Menikah itu hanya neraka bagiku." Reon sangan membenci sebuah pernikahan. Orangtuanya saling membunuh akibat kedua orang itu tidak setia satu sama lain. Selalu berdebat, Ayah-nya berselingkuh dengan beberapa jalang. Sedangkan Ibu-nya malah bersenang-senang dengan kaum muda. Akhirnya mereka saling menyalahkan dan saling membunuh.
"Pernikahan bukan berarti neraka. Banyak pasangan lain berbahagia," Lucas angkat bicara mengenai pernikahan bahagia.
Reon berdecih memasang wajah datarnya. "Terkadang apa yang kita lihat tidak sesuai dengan kenyataan," Reon menyindir masa lalu orangtuanya. Dahulu orangtuanya sangat terlihat romantis, saling mencintai, dan mempunyai keluarga harmonis di hadapan publik. Pada kenyataanya mereka itu orangtua terburuk.
"Kakekmu menjodohkan kau dengan siapa?" Kevin mengalihkan pembicaraan. Mood Reon selalu buruk mengingat masa lalu menyakitkan bagi pria itu.
"Aku tidak tau," jawab Reon acuh tak acuh. Ia tidak peduli dengan perjodohan yang direncanakan oleh Kakeknya. Yang penting sekarang dirinya menikmati para wanita di klub malam ini.
Reon bangkit dari duduknya. "Aku mau pergi dulu," Reon melangkah keluar dari ruangan yang selalu menjadi tempat mereka berkumpul.
Kevin, Lucas, dan Peter mengangkat bahu mereka. Percuma saja menasehati seorang Reon Zalendra CEO dari ZL Company. Reon tidak akan mau mendengarkan seseorang mengenai sebuah pernikahan. Masa lalu yang kejam membuat Reon menjadi pribadi dingin, arrogant, kejam, dan tak punya hati.
Reon selalu menghabiskan waktunya bekerja, bersenang-senang, dan menyiksa beberapa musuh yang mulai mengusik kehidupannya. Reon tidak memberi ampun lada musuhnya. Hanya ketiga sahabatnya dan Kakeknya berani membantah seorang Reon Zalendra. Pria berpengaruh di Amerika.
"Dia itu seharusnya segera menikah," Lucas berkomentar.
Kevin dan Peter tertawa mendengar ucapan dari Lucas. "Seperti kita saja yang sudah menikah. Kau lupa? Kalau kita bertiga benci dengan pernikahan! Jangan menasehati sebelum kau berkaca pada dirimu sendiri." mereka bertiga tertawa bersama.
Sepertinya mereka sama seperti Reon. Membenci sebuah ikatan suci dan dikekang oleh seorang wanita.
***
Reon memasuki mansion Kakeknya dengan wajah datar tanpa senyuman sedikitpun. Seperti itulah Reon! selalu menampilkan wajah datar tanpa sebuah senyuman melekat pada bibirnya. Kecuali senyuman sinis dan iblis saat menyiksa seseorang yang sudah mengganggu kehidupannya.
"Akhirnya kau datang,"
Reon berdecak sinis pada pria tua memakai tongkat. Vandri Zalendra, seorang pria tua dengan umur hampir delaman puluh tahun. Ia masih mampu berjalan dengan memggunakan tongkat.
"Kapan kau mati, Kek?" Reon duduk di samping Vandri. Tanpa berdosa sama sekali menanyakan Kakeknya kapan mati.
"Cucu kurang ajar!" Vandri memukul kepala Reon menggunakan tongkatnya.
Reon bukannya marah malah tertawa. Ia sangat menyayangi Vindra. Hanya Vindra keluarganya sekarang tidak ada yang lain. Reon melihatkan tawa dan senyumannya pada Kakeknya dan ketiga sahabatnya. Bersama mereka Reon lebih sedikit hidup.
"Kau sangat sensitif. Kau sudah memeriksa kesehatan mu?" Reon selalu bertanya kesehatan dari sang Kakek. Kakek yang membesarkan dirinya dan menjadi sukses seperti sekarang ini.
"Sudah," Vindra menjawab singkat. "kesehantan ku akan lebih membaik bila kau menikah. Dan aku bisa melihat seorang cicit lelaki," Vindra menatap penuh harap pada cucu satu-satunya. Seandainya anaknya dan menantunya tidak membuat ulah. Mungkin sekarang ia masih mempunyai cucu lebih dari satu.
Reon menghela napasnya secara kasar. "Aku tidak akan menikah."
"Kenapa? Kau sudah tiga puluh lima tahun. Sudah sepantasnya dirimu menikah dan memiliki beberapa orang anak," ucap Vindra, tidak terima cucunya tidak mau menikah. Dia sudah semakin tua dan kematian semakin mendekat. Dirinya ingin melihat Reon menikah dan ada yang merawat.
"Aku tidak percaya dengan hubungan sakral itu." Reon berkata miris. Karena sebuah hubungan sakral dua orang bisa saling membunuh. Dirinya saat itu masih berumur tujuh tahun harus melihat bagaimana kedua orangtuanya saling mencaci maki dan membunuh satu sama lain. Yang pada akhirnya..., kedua orangtuanya meninggal dalam keadaan mengenaskan.
Vandri menyadari raut wajah dari Reon. Ia memegang pundak Reon berupaya memberikan sebuah kekuatan agar melupakan masa kelam tersebut.
"Semuanya sudah berlalu. Belum tentu semua orang akan berakhir seperti orangtuamu," Vindra memberi nasehat dan pengertian pada cucunya.
Reon menoleh pada Vindra. Tertawa mendengar penuturan dari sang Kakek. "Kau juga memiliki lima istri," sindir Reon.
Vandri tertawa lepas. "Aku hanya ingin mencari wanita seperti Nenekmu." istri Vindra sudah lama meninggal dunia. Sedari dua puluh tahun yang lalu.
Reon berdecak kesal. "Kau tidak akan menemukan seorang wanita seperti dirinya," ucap Reon sendu. Membayangkan Neneknya saat masih hidup sangat menyayangi dirinya. Selalu menuruti apa pun keinginan Reon.
"Kau benar,"
"Menikah lah, dengan seorang gadis pilihanku. Kau tidak akan menyesal menikahi dia. Ia adalah seorang gadis sangat cantik, baik, dan terlihat sangat mengemaskan," Vindra berharap Reon mau menikahi seorang gadis pilihannya.
Reon menggeleng. "Aku tidak akan menikah!" Reon berdiri dari duduknya. Berjalan menuju lantai dua letak kamarnya. Hari ini ia pulang ke mansion Kakeknya, karena pria tua itu memintanya pulang. Selama ini Reon tinggal sendiri di Apartemen mewah miliknya.
"Hei!! Kau mau ke mana?!" Vandri berteriak memanggil cucunya.
Reon mengangkat bahunya tanpa menjawab pertanyaan dari Kakeknya lagi.
Reon menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang miliknya selama tinggal di mansion Kakeknya. Sebuah kamar penuh kenangan bersama sang Nenek yang sudah tiada.
"Aku rindu padamu, Nek." Reon menerawang pada atas langit-langit kamar berwarna hitam. Seperti dirinya, kehidupannya penuh dengan warna hitam.
"Pria tua itu. Menyuruhku untuk menikah," Reon tertawa miris. Menikah? Tidak dalam kehidupannya mrmbayangkan sebuah pernikahan bahagia dengan seorang wanita.
Membina rumah tangga, mempunyai anak, dan ada seseorang wanita menunggu dirinya di rumah. Tidak! Bagaimana kalau pernikahannya nanti seperti pernikahan orangtuanya.
"Aku lebih baik..., tidak mengenal apa itu pernikahan. Daripada ada seseorang anak yang tersakiti."
Reon tidak mau ada anak terlahir seperti dirinya. Kesepian, penuh kesakitan, dan tidak pernah merasakan kasih sayang dari orangtuanya. Ia tidak mau Reon-Reon lainnya terlahir. Cukup dirinya.
"Cukup aku yang merasakan semuanya."
Reon menarik selimut dan mulai menutup matanya. Berharap malam ini ia tidak memimpikan sebuah hal-hal buruk kembali. Ia seringkali bermimpi tentang bagaimana pembunuhan itu terjadi.
***
Ranti menyiapkan segala keperluan dirinya untuk besok pagi. Ia harus terlihat sebaik mungkin pada hari pertama dirinya bekerja. Sebuah perusahaan besar di Amerika rela menerima dirinya tanpa ada sebuah tes dan pertanyaan-pertanyaan sulit.
Seperti sebuah keberuntungan baginya. Langsung diterima pada ZL Company perusahaan yang mencakup seluruh hotel, apartemen, mall, dan sebagainya.
Ranti sangat berharap bila atasannya adalah orang baik hati, ramah, dan murah tersenyum. Seperti orang-orang yang ditemui olehnya pada beberapa karyawan ZL Company.
"Aku sudah tidak sabar," Ranti memeluk bantal guling erat. Ia tersenyum dan selalu mengucapkan kata syukur atas keberuntungan dirinya hari ini. Tidak masalah dengan uang pemberian Ayah-nya yang hanya bisa bertahan sebulan di kota Manhattan. Mungkin tidak sampai sebulan.
"Aku harus tidur cepat. Agar tidak terlambat besok pagi," Ranti memejamkan matanya.
Ranti tidak mau terlambat pada hari pertamanya bekerja. Jarang-jarang bisa mendapatkan pekerjaan pada kota sebesar ini dengan mudah. Hanya melihatkan sebuah dokumen persyaratan darinya, perusahaan tersebut sudah menerima dirinya.