Reon memerhatikan Ranti dari jauh. Ranti yang sedang joging disekitar taman dekat dengan apartemen gadis tersebut, membuat Reon menjadi sosok pria yang suka mengikuti seorang gadis dari kejauhan.
Reon tersenyum sangat manis, melihat Ranti beramah tamah dengan salah sagu wanta tua dan menolongnya untuk menyeberang.
Baik hati sekali, gadis yang mampu memikat hatinya. Reon semakin penasaran kepada sosok Ranti, gadis yang tidak ingin menoleh ke arahnya, malah sering mencibir dan memandang sinis kepadanya. Luar biasa.
"Kau memerhatikannya dari jauh? Yang benar saja, bung!"
Reon mengedikkan bahunya, tidak mendengarkan ucapan dari Lucas barusan. Sebuah ucapan yang seharusnya tidak pernah dilakukan oleh seorang Reon. Reon tidak pernah memerhatikan seorang gadis dari jauh, jangankan memerhatikan menoleh saja enggan.
Reon berubah. Hanya dengan melihat dan terobsesi akan Ranti, dirinya rela menjadi penguntit untuk seorang gadis keturunan Ukraina-Indonesia.
Pertama kali melihat Ranti, dirinya seperti melihat sebuah berlian berkilau dan paling mahal, disebuah museum. Dirinya langsung tertarik, penasaran, b*******h, kepada Ranti Alexandrova. Ingin dirinya menarik Ranti secara paksa ke ranjang yang paling empuk, membuat Ranti mendesah kenikmatan di bawah dirinya.
Namun, apalah daya. Reon tidak ingin memaksa seorang gadis untuk tidur bersama dirinya. Selama ini, hanya seorang gadis yang selalu menginginkan dirinya.
"Kau mencintainya?" Peter bertanya sembari menyesap rokoknya. Peter memandang ke arah bola mata Reon yang tampak berbinar ketika melihat Ranti.
Reon tertawa, mendengar ucapan dari Peter barusan. Cinta? Reon tidak pernah merasakan yang namanya cinta. Cinta itu palsu!
"Kau yang benar saja, mana mungkin aku mencintainya." sanggah Reon.
"Kau mencintainya, jujur saja pada hatimu. Kalau—kau—mencintainya." Kevin tersenyum miring, melihat gelagat dari Reon salah tingkah. Mereka sudah bersahabat dengan Reon sangat lama. Mereka tau di mana Reon salah tingkah, berbohong, jujur, dan hanya terobsesi.
Reon mencintai Ranti, itu faktanya.
Reon menggeleng. "Aku tidak mencintainya. Cinta itu tidak ada, percayalah." Reon berjalan menuju bangku taman. Menduduki bangku tersebut dengan perasaan tak karuan. Dirinya tidak mencintai Ranti, dirinya hanya terobsesi.
Reon tidak akan pernah mencintai seorang gadis. Apalagi berumah tangga, tidak pernah terlintas di otak Reon.
"Kau berbohong. Jujurlah, kau itu mencintainya," Kevin dan yang lainnya, mengambil duduk di depan Reon. Menatap Reon dengan sebuah senyuman, yang—menyebalkan bagi Reon.
Reon berdecak. "Aku tidak mencintainya. Apalah arti sebuah cinta? Kalau harta masih menjadi nomor satu." Reon melihat diluaran sana, rumah tangga tidak berhasil akibat harta, tahta, dan wanita. Mereka tidak akan puas! Dengan satu wanita, harta yang mencukupi, dan tahta yang masih menengah.
Manusia itu egois!
Tidak ada yang ingin mengalah. Malah berlomba-lomba ingin mendapatkan semua dengan cara kotor, saling membunuh, saling menghakimi, dan mereka tidak peduli pada kehidupan orang lain.
Orangtua Reon. Mereka tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki, selalu merasa kurang, pada akhirnya saling membunuh.
"Lihatlah kepasangan yang bisa bertahan walau susah, sulit mendapatkan anak, tetap setia, sehidup semati, dan mereka masih bertahan." ucap Peter, semuanya menatap ke arah Peter dan tertawa.
Sepertinya Peter sudah menulari penyakit Kakek Vindra. Suka menasehati, tidak memandang pada diri sendiri. Lucu sekali bukan?
Peter menatap tajam pada ketiga sahabatnya, enak sekali mereka menertawakan ia. Tidak tahukah? Peter harus menahan seribu umpatan dan merasa jijik saat mengatakan hal tersebut.
Peter hanya ingin, Reon tidak menyakiti Ranti. Dari informasi yang Peter dapat, Ranti adalah gadis baik-baik dengan dicampakkan ke Manhattan oleh Ayah gadis itu. Tragis sekali. Mencari jodoh harus pergi ke Manhattan.
Seharusnya Ayah gadis itu, berpikir lebih dahulu. Menyuruh seorang gadis tinggal sendirian di kota sebesar ini, tidaklah mudah. Menahan segalanya.
"Aku pergi dulu, Ninfa menungguku di rumah. Kalian tau? Dia selir yang sangat menggoda, dengan melayaniku sebaik mungkin." Peter tersenyum miring, mendapat wajah kesal dari sahabat-sahabatnya. Mereka pernah bertaruh, barang siapa mendapatkan Ninfa, model tas branded yang terkenal. Maka, mobil sport kesayangan mereka harus diberi secara cuma-cuma kepada yang memenangkan pertaruhan tersebut. Peter-lah yang menang. Betapa beruntungnya Peter, mendapatkan tiga mobil sport sekaligus.
"Pergi saja! Kau nikmati model kesayanganmu itu." Kevin mengusir Peter, muak melihat wajah angkuh dari Peter.
"Tentu, sampai jumpa, sobat." Peter berjalan dengan angkuhnya, menuju mobil sport berwarna putih, pemberian dari Kevin dengan cara tidak ikhlas.
Kevin, Reon, dan Lucas, mendesah kasar melihat kepergian Peter dengan gaya angkuhnya. Seharusnya mereka tidak melakukan pertaruhan bodoh itu.
"Aku sangat nyesal, kenapa dahulu mau saja bertaruh?" lirih Lucas.
"Sama," Kevin memandang mobilnya yang sudah dilajukan oleh Peter. Mobil yang hanya dua kali dipakainya, selalu dijaganya bagaikan menjaga kekasih sendiri. Harus kehilangan dengan rasa pedih.
"Sudahlah, kalian bisa membelinya lagi. Kemana Ranti?" Reon memandang sekeliling taman, tidak mendapati keberadaan Ranti.
Ia terlalu asik bersama sahabatnya, sehingga gadis pujaannya malah menghilang entah ke mana?
Lucas dan Kevin juga memandang sekeliling taman, mencari keberadaa Ranti. Tidak mereka temukan. Ke mana gadis itu pergi?
"Ke mana dia pergi?" Lucas melihat ke arah sekelilingnya, tidak menemukan Ranti di mana pun.
"Mungkin dia sudah pulang." Kevin berbalik dan berjalan menuju letak mobilnya berada.
Reon dan Lucas saling menatap dan mengikuti Kevin, mungkin memang Ranti sudah pulang.
***
"Jadi, kau diusir?" Ranti berdecak sinis dalam hatinya. Bertemu dan diajak ngopi bareng oleh Kakek-kakek yang sudah bau tanah, bukanlah sebuah obsi yang menarik.
Seharusnya, Oppa Sehun, Oppa Kai, atau Oppa-oppa lainnya, bukan Opa-opa bau tanah. Yang sangat centil, sering kedipkan mata, merasa muda, dan paling menyebalkan dia sok, mempesona. Kan, kampret.
Ranti sudah terjebak lebih tiga puluh menit di sini, kalau dihitung, dia sudah bisa menjajah ke Korea, Jepang, Thailand, dan Spanyol. Dalam mimpi. Waktu tidurnya harus berkurang lagi pada hari libur.
"Kau tidak perlu tau, Kek." Ranti menyesap kopinya.
Vindra tersenyum semanis mungkin, pada gadis yang sudah dikenalnya sedari gadis ini masih kecil. Gadis cantik, baik, pendiam, cuek, dan jutek.
"Jujur saja, kau sangat menarik. Pantas saja Reon tertarik denganmu,"
Ranti tertawa sinis mendengarkan ucapan dari Vindra—kakek—Reon. Kakek dan cucu sama saja! Sama b******n.
"Waktuku sudah habis, maaf, aku harua pergi." Ranti berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke luar dari kafe.
Vindra memerhatikan Ranti dari pandangan sudut matanya. Sebuah gadis yang selalu menarik. Vindra tetap akan melaksanakan perjodohan ini, dengan cara yang tidak biasa.
Semuanya sudah diatur oleh Vindra. Reon dan Rantika, tidak pernah tau kalau keluarga Alexandrova dan Zalendra bersahabat dekat.
"Halo, Bobbi. Putrimu sangat menarik, dia sepertinya akan menjadi istri yang baik untuk Reon," Vindra tertawa mendengar ucapan dari Bobbi seberang sana.
"Aku akan menjaganya dan memberikan kehidupan yang layak di sini. Dia calon cucu menantuku, bagaimana mungkin aku menelantarkannya? Dia gadis yang sangat manis. Aku akan menghubungimu lagi," Vindra mematikan panggilan teleponnya dengan Ayah Ranti.
sahabatnya—kakek—Ranti sudah lama meninggal dunia. Kakek Ranti orang yang sangat baik, tentu saja lebih dahulu dipanggil daripada dirinya yang berteman dengan dosa sedari dahulu.
Vindra berdiri dari tempat duduknya, berjalan ke luar dan sesekali akan tertawa pelan. Membayangkan Reon dan Ranti menikah.