Ranti menatap wajah Reon, berada pintu apartemen minimalisnya. Hadiah dari sang ayah, karena dirinya sudah mau diterbangkan ke Manhattan mencari seorang jodoh.
Bukan sebuah aprtemen besar dan mewah yang didapatkan oleh Ranti. Apartemen yang hanya dilengkapi satu kamar, dapur, dan ruang santai plus sebagai ruang tamu.
Tidak ada yang istimewa dengan apartemennya. Hanya pas-pasan untuk dipakai oleh satu atau dua orang dan tidak lebih. Fasilitas dalam apartemen ini dilengkapi dengan televisi, kulkas, alat masak, mesin cuci, kursi, dan peralatan biasa lainnya.
"Kenapa kau kemari?" Ranti bertanya sembari menatap tajam atasannya. Ia tidak takut dipecat, itu yang ia harapkan.
Reon menyambut pertanyaan tidak menyenangkan dari Ranti, dengan sebuah seringaian. "Aku mengunjungi kekasihku," Reon menjawab santai dan berjalan memasuki apartemen Ranti. Tidak peduli gadis pemilik apartemen ini melotot marah padanya.
Ranti terkejut melihat dengan santainya Reon memasuki apartemennya. Ranti melirik jam yang berada di dinding, yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Tidak wajar seorang pria bertamu ke rumah perempuan malam-malam begini. Kalau di Indonesia mereka akan difitnah dan digrebek oleh warga setempat. Namun sayangnya mereka berada pada kota bebas.
"Kekasihmu? Sepertinya kau salah tempat, Tuan!" Ranti mengikuti langkah Reon dari belakang. Dirinya tidak rela Reon mengacak-ngacak apartemennya walau hanya menggunakan mata.
Reon membalikkan tubuhnya. "Kau kekasihku, kau milikku, kau adalah milikku dan kekasihku." Reon berbicara menggunakan nada datarnya. Reon sudah menganggap Ranti sebagai kekasihnya lebih tepatnya mainan barunya.
Ranti berdecak sinis, "Aku bukan milik siapa-siapa dan aku bukan kekasihmu!!" Ranti menaikkan nada bicaranya. Bicara dengan seseorang seperti Reon tidak bisa menggunakan nada lembut, nanti malah ngelunjak.
Ranti semakin menatap tajam dan kesal, melihat dengan santainya duduk di atas sofa yang disediakan di depan televisi.
"Kenapa kau malah duduk?! Dasar tamu tidak tau diri!" Ranti berdecak sinis dan ikut duduk dengan jarak jauh dari Reon.
Reon bukannya marah, malah semakin tertarik dengan gadis cantik yang tidak ada perawakan Indonesia-nya sama sekali. Ranti lebih menurunkan gen ayahnya daripada bundanya yang asli orang Indonesia dan suku Jawa.
"Aku kekasihmu, apa masalahnya aku duduk dan melihat tempat tinggal kekasihku sendiri," Reon menatap sekeliling. Penilaian hanya satu untuk apartemen Ranti, terlalu kecil.
Reon yang biasa hidup mewah, tidak terbiasa dengan keadaan apartemen sempit seperti ini. Walau bersih namun rasanya berbeda, ia tidak terbiasa dengan keadaan ruangan sempit ini.
"Apakah Ayahmu tidak bisa membelikan apartemen bagus lagi? Percuma saja dia orang kaya," Reon berdecak, ayah Ranti adalah salah satu pengusaha dengan nama ternama di Asia Tenggara.
"Terserah keluargaku. Kami memang tidak pernah mau bermewah-mewah dengan menghamburkan uang. Lebih baik berikan uang tersebut kepada yang lebih membutuhkan,"
Reon mengangkat sebelah alisnya, "Maksumu?" Reon merasa tidak mengerti. Apakah yang dimaksud Ranti sekarang menyindir dirinya dan mengatakan dirinya tidak pernah terlibat kegiatan sosial. Hei, dia tidak akan memublikasikan kegiatan sosialnya pada orang lain maupun wartawan. Cukup dirinya dan orang-orang yang dibantunya yang tau.
"Kau pasti tidak pernah memberi uang pada panti asuhan, orang-orang tua, dan juga lainnya." Ranti berbicara blak-blakan. Tanpa rasa takut akan membuat Reon marah.
Ranti sangat yakin, seorang Reon Zalendra hanya bisa menghamburkan uang tanpa memikirkan kaum kurang berada.
"Kau berbicara secara lantang sekali Nona. Aku tidak akan memberitahukan kepada masyarakat publik, kapan aku ke panti, kapan aku ke tempat acara amal, kapan aku membantu bencana alam, dan lain sebagainya." Reon memajukan tubuhnya sehingga wajahnya sangat dekat dengan Ranti.
Ranti memundurkan wajahnya, s**t! Senjak kapan Reon berpindah duduk di sampingnya? Ranti tidak sadar jarak hampir dua meter kini sudah brrubah dengan jarak beberapa senti saja.
"Senjak kapan kau berada di sampingku?" Ranti bertanya gugup dan menjauh dari Reon. Ia harus waspada dengan keadaan yang tidak mendukung ini. Dirinya tidak mau dilecehkan oleh seorang Reon, yang ketampananny sudah diakui oleh gadis-gadis Amerika.
Reon menyeringai. "Kau tidak akan tau sayang, karena aku akan selalu berada.di sampingmu." jawab Reon tenang tanpa ekspresi sama sekali.
Ranti berdecak untuk kesekian kalinya. "Lebih baik kau pulang!! Tidak baik wanita dewasa dan pria dewasa satu ruangan malam-malam begini." Ranti menunjuk pintuk ke luar apartemennya. Agar Reon segera ke luar.
Reon tidak beranjak sedikitpun dari posisi duduknya, malah dia mencari spot duduk ternyaman dengan menaruh kepalanya ke sandaran sofa dan bersedekap d**a.
"Kau kejam sekali sebagai kekasih, seharusnya kau membuatkan aku minum dan mencium pipiku minimal," Reon tersenyum sinis pada Ranti.
"Cih! Aku tidak sudi membuatkan dirimu minum apalagi mencium pipimu." Ranti menatap penuh jijik pada Reon.
"Pantas saja, kau masih sendiri di saat usiamu sudah menginjak dua puluhbm tujuh tahun. Kau sangat galak dan pemarah," ucap Reon berharap Ranti semakin marah.
Wajah Ranti saat Marah adalah sebuah hiburan tersendiri baginya. Wajah Ranti begitu menggemaskan.
"Aku tidak pemarah dan galak. Kau saja yang menerima sebuah sifat marahku, karena kau pria yang tidak perlu dibaiki." Ranti bersedekap d**a. Menatap Reon tidak bersahabat sama sekali, pria seperti Reon tidak pantas menjadi teman, sahabat, apalagi kekasih.
Ranti sudah mencari informasi tentang Reon, menggunakan jaringan internet dan... dugannnya benar kalau Reon sering berganti pasangan kencan dan terlibat beberapa skandal dengan model-model cantik.
Ranti tidak tertarik dengan pria yang sering gonta-ganti pasangan bagaikan baju. Ranti ingin mencari pasangan seperti Ayah-nya. Kata bunda, ayahnya adalah tipe lelaki setia dan baik-baik. Mereka dijodohkan oleh orangtua mereka.
Mereka berusaha ikhlas menerima perjodohan dan patut dicontoh, karena sampai sekarang rumah tangga orangtuanya sangatlah harmonis.
Seandainya dirinya bisa menemukan seorang pria seperti ayahnya. Yang sangat mencintai, menyayangi, dan setia pada bundanya. Pasti Ranti sangat bahagia sekali.
Selama ini Ranti melihat tidak ada pria seperti itu yang mendekati dirinya. Mereka bertujuan negatif semua saat mendekati dirinya, termasuk pria yang duduk bersamanya sekarang.
Ranti tau betul... kalau Reon sedang ingin mendapatkan dirinya dan pria itu akan melancarkan rencana membawa Ranti ke atas ranjang. Cih! Sampai mati dia tidak mau.
"Kenapa kau tidak sadar diri Tuan? Ini adalah apartemenku, seharusnya kau sadar kalau kau sudah diusir." Ranti menatap sinis pada Reon.
Tidak perlu sopan santun. Dirinya hanya akan sopan pada Reon saat bekerja, selain dari jam kerja jangan harap.
Reon menatap datar pada Ranti. "Aku tidak akan pernah sadar, kalau aku suka padamu," Reon menanggapi ucapan dari Ranti dengan yang lain.
Reon semakin suka melihat wajah marah, kesal, dari wajah Ranti. Sebuah hiburan baginya, Reon tidak pernah seperti ini sebelumnya menginginkan seorang perempuan. Biasanya perempuan-lah yang sering menginginkan dirinya bukan dia.
"Apa kau bicarakan?! Cepat keluar!!" Ranti menunjuk pintu keluar dan berdiri dari posisi duduknya.
"Aku menyesal membuka pintu tadi," Ranti menyesal dengan bodohnya ia membuka pintu apartemennya tanpa melihat siapa yang datang lebih dahulu.
"Aku malah beruntung sayang," Reon menyeringai. Reon ikut berdiri dari tempat duduknya. Ranti yang melihat mulai tersenyum dan berharap Reon pergi. Namun senyumannya harus hilang saat Reon menuju dapurnya dan mengambil minuman perasa dan kembali duduk.
Kurang ajar!!
Kenapa pria ini tidak pergi? Dasar pria tidak tau diri! Ranti merutuki Reon dalam pikirannya.
Reon dengan santainya melihat ke arah Ranti sembari meneguk minuman perasa yang ia ambil dari kulkas Ranti.
"Hem... rasanya sangat enak, apakah kau juga akan sangat seenak ini?" Reon tersenyum m***m.
Ranti mendengus kesal. "Kau jangan berpikir macam-macam Tuan. Aku tidak tertarik dengan rayuanmu, aku adalah gadis yang tau tata krama dari negara asalku." Ranti melemparkan senyuman mengejeknya. Ia tidak akan mau dengan Reon yang hanya mengharapkan tubuh bukan cinta sejati.
"Oh ya? Kita lihat saja nanti," Reon berucap santai dan membuka sepatu beserta kaus kakinya.
Dia berencana akan menginap ditempat Ranti malam ini. Hitung-hitung belajar untuk tinggal bersama sampai ia bosan.
"Ngapain kamu?!" Ranti terkejut melihat Reon berjalan menuju kamarnya.
Apa yang dilakukan oleh pria itu? Tidak mungkin Reon ingin menginap di sini. Tidak bisa dibiarkan.
Ranti mengejar Reon, mencegah Reon memasuki kamarnya. Reon membalikkan badannya dan menatap Ranti datar.
"Apa yang kau lakukan?" Ranti bertanya menatap Reon tajam.
Reon menyeringai, "Of course, sleep in your room." jawab Reon santai dan melangkah memasuki kamar Ranti kembali.
Ranti menatap tidak percaya. Reon dengan santainya menjawab dan berjalan kembali, lelaki itu tidak punya otak atau apa? Jelas-jelas Ranti sudah mengusir pria itu tadi. Dan malah dengan tidak tau malunya pri itu minta tidur di apartemennya lebih tepatnya dalam kamarnya.
Ranti mengepalkan tangannya. Tidak mungkin Reon bisa diusir dari dalam kamar, lebih dirinya tidur di sofa malan ini daripada tidur bersama pria laknat itu!
Ranti membalikkan tubuhnya dan berjalan kembali menuju sofa panjang yang muat untuk tiga orang dewasa duduki.
Seharusnya ia mengusir Reon. Tapi bagaimana caranya? Diusir dari rumahnya saja tadi tidak bisa, apalagi dari kamarnya.
Ranti menghela napasnya secara kasar, tak apa malam ini ia tidur di sofa. Besok malam jangan harap Reon bisa masuk ke dalam rumahnya. Cukup sekali Ranti merasa bodoh.
Ranti mencoba memejamkan matanya, walau badannya yang tinggi tidak muat di sofa yang panjangnya tidak seberapa ini. Demi keselamatan kesuciannya, Ranti harus tidur di sini.