“Ada apa?” tanya Albert.
Syahquita mengangkat pandangannya dan memberanikan diri menoleh ke sebelah kanannya, “Apa kau sering melakukannya?”
“Apa?”
“Hmm tertidur di depan ruangan ini?” tanya Syahquita.
Albert tersenyum kecil seraya mengangguk pelan, “Ya, katakanlah itu kebiasaan baruku selama kau berada di ruangan ini.”
Syahquita membenarkan posisinya sedikit ke kanan, “Tapi mengapa aku tidak pernah mendengar hal ini dari siapapun?”
“Karena itu bukan hal penting, Syah. Tidak ada bedanya jika aku tidur di sini ataupun di kamar, keduanya sama saja.” jawab Albert begitu tenang.
“Tapi di sini dingin dan kau tidur tanpa beralaskan apapun.” suara Syahquita terdengar gemetar seperti menahan tangis.
Albert menggenggam tangan Syahquita, menatap manik mata istrinya, “Itu tidak masalah bagiku, Syah. Selagi aku bisa berada di dekatmu aku tak peduli jika harus tidur tanpa alas apapun.”
Syahquita meremas pelan tangan Albert yang menggenggam tangannya, “Entah apa yang sudah aku lakukan padamu, Albert.”
“Sudahlah lupakan masalah itu. Lebih baik kau kembali tidur, aku tidak mau terjadi apapun padamu.” kata Albert.
Albert beranjak dari duduknya, mengulurkan tangan kanannya ke arah istrinya. Syahquita meraih tangan Albert dan berdiri dengan bertumpuan pada tangan suaminya. Suaminya menuntun Syahquita masuk ke dalam ruang pengobatan, membaringkan tubuh istrinya dan memakaikan selimut ke sebagian tubuh istrinya, “Beristirahatlah.” ucap Albert sangat lembut.
Albert hendak pergi dari hadapan istrinya namun tangan Syahquita dengan cepat menahan langkahnya.
“Kau mau ke mana, Al?” tanya Syahquita.
Albert melihat ke arah tangannya dan Syahquita secara bergantian, “Aku akan menunggu di depan.”
Syahquita menggeleng tidak setuju seraya menggeser tubuhnya memberikan ruang untuk suaminya, “Kemarilah.”
Albert tersenyum kecil, ia mengambil posisi di sebelah istrinya. Ia sangat merindukan moment seperti ini. Albert menarik selimut hingga menutupi sebagian tubuhnya dan tubuh Syahquita.
“Tidurlah kembali. Ini masih sangat larut.” bisik Albert.
Syahquita memiringkan tubuhnya ke kanan begitupun dengan Albert. Suaminya itu memeluk erat Syahquita dari belakang. Dapat Syahquita rasakan deru napas pelan Albert di tengkuk nya.
“Aku merindukan, Syah.” bisik Albert terdengar lembut.
Syahquita memejamkan matanya sambil menelan saliva-nya kasar, suara Albert mampu menggoyakan jiwanya serta membuat bulu-bulu kecil di leher nya berdiri.
“Aku juga merindukanmu, Al.” sahut Syahquita seraya memejamkan matanya dan meremas pelan jari Albert yang melingkar di perutnya.
***
Matahari bersinar begitu terang di luar sana dan langit biru sebagai pendampingnya yang sangat setia. Cerahnya langit membawa secercah cahaya dalam harapan Syahquita. Kabar bahagia disampaikan oleh Albert dari Alger pagi ini.
“Alger sudah memperbolehkanmu pindah ke kamar, Syah.” ucap Albert lembut seraya menyuapi bubur ke Syahquita.
“Syukurlah, jika ia masih melarangnya maka aku akan pindah sendiri tanpa mau mendengarkan larangannya.” sahut Syahquita.
Albert menggeleng kecil dengan senyuman tipisnya saat mendengar perkataan Syahquita, Ia menyuapi terus bubur itu hingga habis tak tersisa. Berkat paksaan dari suaminya, Syahquita dapat menghabiskan bubur itu yang biasanya masih tersisa setengah mangkuk lagi.
“Syah, apa kau mau memaafkanku?” tanya Albert ragu-ragu.
Syahquita memperhatikan wajah suaminya begitu serius, “Mengapa kau menanyakan hal itu?”
“Aku hanya ingin minta maaf padamu. Kau mengabaikanku selama beberapa hari dan itu membuatku terpukul. Aku tidak mau hal itu terulang kembali.” Kata Albert bersungguh-sungguh.
Syahquita meraih tangan Albert lalu menggenggamnya, “Aku sudah memaafkanku. Tapi berjanjilah kau tak akan mengulanginya kembali.”
“Aku tidak mau kau dan Robert terus menerus bertengkar seperti ini. Alangkah baiknya jika kau menghentikan pertengkaran ini, Al. Jangan sampai hubungan kalian berdua menjadi hancur.” lanjut Syahquita.
Albert menundukkan pandangannya sejenak lalu mengangkatnya kembali dan menatap manik mata cantik milik istrinya, “Baiklah, aku akan berusaha memperbaiki hubunganku dengan Robert. Dan aku berjanji untuk menahan emosiku. Aku sudah cukup terbebani dengan kemarahanmu, aku tidak mau merasakannya kembali.”
Syahquita tersenyum bahagia, ia sedikit lega karena Albert mau mendengarkan perkataannya. Syahquita sangat berharap bahwa Albert akan menepati janjinya, ya paling tidak suaminya itu mampu menahan segala emosinya untuk menghindari pertengkaran dengan Robert.
Albert beranjak untuk meletakkan mangkuk bubur kosong ke atas meja nakas, ia berdiri di sebelah Syahquita, “Apa kau ingin keluar dari ruangan ini sekarang?”
Syahquita mengangguk penuh semangat dengan senyuman lebar menampilkan barisan gigi putihnya, “Tentu saja.”
Syahquita menurunkan kakinya dari atas tempat tidur dan Albert segera memakaikan slipper ke kaki istrinya sebelum kaki Syahquita benar-benar menginjak lantai. Albert memegang erat tangan istrinya seraya membantu istrinya untuk berdiri, secara perlahan Albert menuntun Syahquita keluar dari ruangan itu.
Sebenarnya Albert bisa saja menggendong Syahquita akan tetapi istrinya itu menolak dengan alasan ia tidak mau kakinya menjadi kaku karena terlalu lama dimanjakan oleh semua orang. Alasan itu tidak masuk akal namun Albert tidak bisa membantahnya, ia lebih baik menuruti apa keinginan istrinya daripada harus menerima kemarahan istrinya lagi.
Dengan sabar Albert menuntun Syahquita hingga ke kamar mereka. Setibanya di sana Albert meminta Syahquita untuk tidak melakukan hal berat apapun, katakanlah Albert terlalu berlebihan menanggapi kondisi istrinya. Padahal Syahquita sendiri pun sudah merasa sangat baik tanpa keluhan sakit kepala seperti kemarin lusa, semua orang tanpa terkecuali terlalu khawatir dan cemas pada wanita itu.
“Dengar, tidak ada bantahan.” tegas Albert.
“Al, aku baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir sama sekali. Lagipula untuk apa aku pindah ke kamar ini jika tidak diperbolehkan melakukan ini dan itu, tidak ada bedanya dengan ruang pengobatan.” geram Syahquita.
“Hari ini saja, aku mohon hanya hari ini saja kau berdiamlah di kamar. Setelah itu kau bebas melakukan apapun.” saran Albert.
“Aku tidak mau.” ketus Syahquita memperlihatkan raut wajah ketidaksukaannya terhadap larangan suaminya.
Albert menghela napas pelan, ia harus mencari cara untuk melunakan istrinya karena memang ia masih sangat khawatir pada kesehatan Syahquita. Meski istrinya itu mengatakan dia baik-baik saja.
Albert berjongkok di depan istrinya lalu meraih tangan Syahquita yang berada di atas pahanya, “Sayang, please. Lakukan apa perintahku sekali ini saja. Setelah hari ini lakukanlah apa yang ingin kau lakukan.”
Syahquita menghela napas pelan, “Baiklah, aku akan menuruti apa katamu. Tapi saat aku bosan jangan salahkan aku jika nantinya aku akan melarikan diri dari kamar ini.”
“Hari ini aku tidak ke kantor, kau lupa itu? Aku akan menemanimu seharian di kamar jadi kau tak perlu khawatir dan buanglah rasa bosanmu itu jauh-jauh.” ledek Albert.
“Mengapa kau tidak pergi ke kantor?” protes Syahquita.
Albert tersenyum jahil ke istrinya, “Aku anak pemilik perusahaan itu jadi aku bebas mau bekerja atau tidak.”
Syahquita mengkerutkan dahinya mendengarkan kesombongan suaminya, ia mencubit kedua pipi pipi Albert, “Kau ini masih anak pemilik perusahaan bukan pemilik perusahaan sebenarnya. Lihatlah para saudaramu, mereka bekerja tak kenal waktu.”
“Itukan mereka, berbeda denganku. Sudahlah intinya aku akan menemanimu seharian ini.” ucap Albert mengalihkan pembicaraan.
“Terserah kau saja, Al.” Syahquita mencubit bahkan menarik sangat kencang kedua pipi itu selayaknya squishy.
“Di mana Ollie? Aku belum melihatnya hari ini.” tanya Syahquita menatap manik Albert.