"Pernikahan adalah peperangan yang tidak akan pernah berakhir. Saat kamu kalah dan nyaris hancur, berpura-pura mati adalah jurus terbaik untuk menghindar."
- Jamal -
Usia tiga puluh lima tahun, idealnya adalah usia produktif bagi kaum lelaki, di mana kemapanan dalam mental dan keuangan sudah cukup baik untuk menjadi alasan perempuan untuk mengiyakan saat diajak untuk menjalin hubungan serius menuju pernikahan. Sayangnya, itu sama sekali tidak berlaku bagi seorang Jamaluddin atau biasa dipanggil Jamal.
Menghabiskan masa muda dengan hidup penuh perjuangan, kuliah sembari bekerja dan aktif di organisasi, nyatanya, tidak membuat semua keinginan yang disusunnya sejak lama bisa terwujud. Perempuan cantik yang diharapkan menjadi istri, menikah dengan lelaki lain sebulan setelah hubungan mereka kandas. Sedangkan perempuan kedua yang diharapkan bisa lebih baik dari yang pertama, meninggalkannya demi menempuh pendidikan S2, enggan menikah muda.
Jamal, nyaris putus asa. Selain usia yang sudah tidak lagi muda, tuntutan orang tua dan para tetangga, yang jauh di desa, sebab dia di kota, merantau untuk bekerja, tidak berhenti bertanya tentang pujaan hati yang tidak ada, sedangkan rencana pernikahan dituntut segera terlaksana. Beruntung, Firman, teman lama Jamal di tempat kerja, memberikan rekomendasi. Dari tiga perempuan yang dikatakan siap menikah, Jamal menentukan pilihan pada gadis muda dengan wajah tidak kelihatan karena bercadar. Benar kata orang, yang tertutup, jauh membuat penasaran untuk dimiliki.
Jamal bukan buaya, kupu-kupu atau ular kadut, masih manusia. Dia bukan playboy yang ingin mencicipi tanpa menikahi. Dulu mungkin sempat bermain-main, sekarang sudah bukan waktunya lagi. Jadi, Firman menjadi kakek comblang. Gayung bersambut, meski bukan nenek gayung. Perempuan yang ditunjuk Jamal setuju untuk menikah. Meskipun berbeda tempat, Jakarta-Madura, dua insan itu dipersatukan dalam asa yang sama ; pernikahan.
Ria, perempuan berusia dua puluh lima tahun, pilihan hati Jamal, bukan perawan ting-ting, melainkan seorang Janda, tanpa anak. Dia pernah menikah, tetapi bercerai setelah dua tahun menjalani pernikahan toxic. Mantan suaminya playboy, masih muda membuat hasrat seksualnya tidak puas dengan satu perempuan. Seperti kata tetangga, yang haram jauh lebih menggairahkan daripada yang halal.
Ria cukup cantik. Dengan tubuh mungil dan badannya yang sintal, dia cukup menggoda sebagai perempuan. Kepribadiannya riang, menyenangkan dan humoris. Begitu yang Firman katakan pada Jamal. Lelaki itu mengenal Ria sebelum perempuan itu memutuskan untuk hijrah dan bercadar. Hal itu membuat Jamal semakin tidak sabar untuk bertemu.
Tiga bulan berkenalan, Jamal memutuskan cuti bekerja selama tiga hari, terbang ke Madura menemui sang pujaan hati. Perjalanan panjang dilakoni, demi menikah tahun ini, memenuhi harapan orang tua yang sudah tidak sabar anaknya berstatus suami.
Ria dan Jamal bertemu, mengobrol dengan santai sembari bertatap muka, setelah berbulan-bulan hanya mengobrol lewat w******p. Orang tua dan keluarga Ria menerima lamaran Jamal. Keduanya tidak memakai lamaran atau tradisi menjelang pernikahan pada umumnya. Mereka akan bertemu lagi di hari -1 sebelum pernikahan. Jamal bekerja, tidak bisa sering cuti. Semua setuju dan tanggal pernikahan ditetapkan kemudian.
Pernikahan itu diselenggarakan dengan sederhana, akad nikah dan walimah saja. Mahar berupa seperangkat alat sholat dan cincin emas 5 gram. Walau begitu, biaya pernikahan yang dikeluarkan lebih dari dua puluh juta, mengingat semua biaya akomodasi dan biaya pernikahan seluruhnya ditanggung oleh Jamal. Tabungan yang dikumpulkannya untuk mencicil rumah, kandas dalam sehari. Namun, dia tidak menyesal. Sebab, sekarang, dia mendapatkan seorang istri.
Pagi akad nikah dan walimah, siang mencicipi malam pertama, sore hari kedua insan itu memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Jamal harus bekerja, di perusahaan elektronik milik Cina, tidak bisa cuti lama. Sedangkan tiket pesawat ludes semua, terpaksa kembali dengan kereta. Beruntung, keluarga Ria tidak mempermasalahkan. Apalagi Jamal, menantu idaman yang terlihat tidak perhitungan dalam keuangan.
Menjalani pernikahan dengan Jamal membuat Ria berhati-hati. Dia tidak ingin pernikahannya kandas lagi. Perceraian bukan impian setiap perempuan. Namun, mengalaminya bukan berarti kesialan. Itu hanya ujian yang harus berhasil dilewati agar mendapat rahmat Tuhan. Setidaknya, Ria beranggapan demikian.
Jamal bekerja sebagai leader di perusahaan handphone milik Cina. Bekerja dari Senin sampai Sabtu dengan sistem shift. Selama dua Minggu, dia akan bekerja shift pagi dari pukul 7 pagi sampai 6 malam. Untuk dua Minggu berikutnya, shift malam, dari pukul 7 malam sampai jam 6 pagi.
Pada awalnya, Jamal khawatir, mengingat Ria ditinggal di kontrakan sendirian, tanpa sanak keluarga, karena dia berasal dari Madura dan baru di Jakarta. Namun, kekhawatirannya percuma. Ria bukan perempuan penakut yang cepat merasa kesepian atau bosan. Perempuan itu memiliki banyak hal untuk dikerjakan sendiri, tipe anak rumahan yang tidak akan menangis meski mengurung di kamar seharian selama bertahun-tahun.
Ria, istri Jamal, juga memiliki kebiasaan unik. Setiap kali keluar kontrakan dan bertemu dengan kucing jalanan, perempuan itu akan secara otomatis menyapa dan berbicara dengan mereka, membuatnya seakan-akan sudah menjalin pertemanan dengan para kucing di lingkungan itu. Padahal, saat bertemu dengan manusia, perempuan itu hanya tersenyum. Meskipun Jamal tidak yakin para tetangganya sadar istrinya tersenyum mengingat wajah istrinya tertutup cadar.
Sebulan pernikahan, tidak ada konflik yang berarti. Kehidupan Jamal terasa seperti di surga. Segala hal disiapkan oleh istri tercinta. Mulai dari makanan, pakaian sampai perhatian. Biasanya, dia akan malas makan karena terlalu sibuk bekerja. Dengan hadirnya Ria, urusan perut dan tubuhnya--seperti hasrat seksual atau lainnya--terpenuhi. Jamal bahagia.
"Kenapa, sih, kalau sudah sampai di kantor, nggak pernah w******p? Pesanku juga nggak dibaca, udah nggak cinta?" Nasi yang nyaris ditelan Jamal mendadak tersangkut di tenggorokan.
Jamal dan Ria sedang duduk berdua, menyantap makan malam dan mengobrol sebentar, sekadar berbasi-basi. Sayangnya, bagi Ria, itu adalah kesempatan untuk meluapkan uneg-uneg yang selama ini mungkin hanya dipendam di dalam hati.
"Kamu cuma ngirim pesan hati-hati, have nice day dan i love you kan, Yang?" Jamal memastikan arah pembicaraan istrinya agar tidak melantur ke mana-mana, mengingat perempuan sangat pintar dan cepat dalam urusan mengingat sejarah kehidupan dan list kesalahan.
Ria mengangguk, "Itu kamu tahu. Kok, nggak dibaca?"
"Dibaca, cuma nggak dibuka, Yang. Kan bisa dilihat tanpa dibuka," jelas Jamal sembari meraih air minum, tenggorokannya sedikit sakit.
Ria cemberut, "Sengaja bikin emosi? Kenapa, sih, begitu? Padahal kamu online," dengusnya masih sebal.
"Online untuk melihat percakapan di grup, Yang." Jamal masih berusaha sabar.
"Beneran?" Ria menatap Jamal penuh selidik. Wajah perempuan itu menunjukkan rasa tidak percaya yang tinggi.
"Sumpah, Yang. Lagian gue nggak biasa baca w******p, nggak penting juga kan buat dibahas? Alay," ujar Jamal mengutarakan pendapatnya.
Pupil mata Ria membulat sempurna, nyaris melotot, "Apa? Gue? Alay? Kamu kira aku siapa huh pake gue-lu?" Nada perempuan itu sedikit meninggi.
"Eh, maksudnya aku. Kebiasaan di sini pakai gue-elu, Yang." Jamal berusaha menjelaskan. Namun, Ria sudah tersulut emosi. Istri Jamal itu diam seribu bahasa, makanannya tidak dimakan. Ngambek.
Jamal menghela napas menatap istrinya yang hanya duduk sembari memasang wajah cemberut. Dia tidak biasa merayu perempuan, menurutnya, perempuan banyak maunya jika dirayu. Jamal melanjutkan makannya, membereskan piring kotor dan lainnya, lantas berbaring menghadap tembok, tidur.
Selama menikah, ini pertama kalinya Jamal melihat istrinya marah besar. Padahal, menurutnya, apa yang baru saja terjadi bukan masalah besar yang membutuhkan solusi atau emosi. Namun, dia tidak ingin menyiram bensin di api yang sedang menyala.
Dalam keadaan ini, di mana istrinya menjadi Harimau, yang siap memangsa dirinya yang kurus kering ini, Jamal memilih menggunakan jurus Tonic immobility, jurus pura-pura mati yang digunakan bebek untuk melindungi diri.
Tidak semua peperangan harus dimenangkan, terkadang, saat dia hanya sendirian, meninggalkan medan perang untuk bertahan hidup, bukan hal yang memalukan. Bagi Jamal demikian. Bagaimanapun, dia hanya manusia biasa.