Alara terjaga semalaman dengan rasa sakit yang sudah tak terelakkan lagi.
Cukup lama ia terbaring dalam keadaan yang penuh luka, baik luka batin maupun fisik, Alara mencoba untuk bangkit, dan menepi di pojok tembok. Pergerakan kecil itu membuat sekujur tubuh Alara terasa nyeri, bahkan mungkin remuk, membuat Alara meringis kesakitan. Alara menarik selimut biru yang tergeletak di atas lantai, untuk ia balutkan pada tubuhnya yang telanjang penuh.
"Ini nyata...." Bahkan kalimat itu hanya bisa didengar olehnya. Rasa pilu yang menyerang Alara membuat tenggorokannya seakan tersumbat.
Alara menelisik seisi ruangan itu, dan gelap yang melingkupi ruangan tersebut tidak membuat pandangan Alara jadi terhalangi untuk melihat sosok Rigel yang tertidur di atas kasurnya. Pria itu tertidur dengan tenang, setelah melakukan kejahatan terkeji pada Alara semalam.
Mengingat itu, Alara air matanya kembali mengalir deras, ia tidak mampu untuk menahan isak tangisnya lagi yang sudah menderu-deru dengan kerongkongan yang nyaris menghilangkan suaranya.
"Alara." Suara itu, panggilan itu … yang kemarin menjadi awal tragedi semalam dan yang masih Alara ingat benar bagaimana nada tajam itu menusuk ulu hatinya.
Alara masih mengingat dengan jelas bagaimana tangan kekar Rigel mencekal pergelangan tangannya semalam, membuat Alara meronta tiada tara. Dan sepenggal ingatan itu membuat ingatan Alara kembali terlempar jauh ke kejadian beberapa jam sebelumnya.
"Lepas, Kak!" Alara berseru, saat Rigel mencekal tangannya dengan begitu kuat.
Rigel tidak peduli, dia sudah menunggu Alara lama sekali, bahkan sampai membuat Rigel menghabiskan dua botol minuman beralkohol yang dibawanya dari kediaman utama, dan begitu sosok Alara muncul dalam pandangannya dengan keadaan yang cukup kacau, Rigel tidak menunggu dan langsung saja menghampiri Alara.
"Lama sekali, aku sudah menunggumu sejak tadi...." Nada suara Rigel memang rendah, tapi entah mengapa mampu menghadirkan rasa takut pada diri Alara.
"Kak Rigel kenapa?" Alara bertanya dengan nada takut saat Rigel terlihat berantakan. Tiga kancing atas kemejanya dibiarkan terbuka. Jasnya diikatkan ke pinggan pria yang selama ini ia kagumi, Alara mundur beberapa langkah.
Aura dalam diri Rigel saat itu membuat Alara merasakan firasat buruk. Ada yang berubah dalam diri Rigel. Perubahan yang begitu ketara dan kian memburuk, sehingga membuat Alara jadi melihat pribadi baru Rigel, yang tidak hanya membuat Alara kebingungan, tapi juga ketakutan. Terlebih sebotol minuman beralkohol yang sejak tadi Rigel genggam membuat Alara ingin cepat-cepat pergi.
"Kenapa katamu?" Rigel justru be rtanya.
"Aku hancur!" Rigel menambahi kalimatnya tadi dengan berseru. "Aku hancur dan itu karenamu serta ibumu!"
Alara tersentak. Sekejap saja dia merasakan sesuatu yang tidak aman akan terjadi. Untuk itu, Alara mencoba melepaskan diri dari cekalan tangan Rigel.
"Diam!" Rigel menyentak Alara kala perempuan itu memberontak.
"Akan aku tunjukkan padamu, betapa kekacauan ini menyiksaku dan kamu harus merasakannya juga," kata Rigel, dengan nada yang sungguh membuat Alara ketakutan.
"Apa pun kesalahanku, tolong maafkan aku, Kak."
Namun, Rigel menanggapinya dengan senyum miring. Senyum yang biasanya bertanda bahaya, membuat Alara lagi-lagi memberontak meminta dilepaskan.
"Buka mulutmu!" titah Rigel menginterupsi.
Alara yang langsung tahu apa yang hendak Rigel lakukan dengan segera menutup mulutnya rapat-rapat.
"Aku bilang buka mulutmu!" seru Rigel, yang ditanggapi dengan gelengan kepala oleh Alara.
"Kenapa kamu nggak mau nurut, hah?!" Rigel berteriak marah tanpa ampun, lalu tanpa segan ia menarik dagu Alara dan meremasnya dengan kasar.
Alara tentu saja meronta kesakitan kedua pipinya luar biasa terasa sakit namun, Rigel tidak peduli, dia terus memaksa Alara untuk membuka mulut secara kasar, dan ia pun mengarahkan botol alkohol miliknya ke arah mulut Alara yang sudah terbuka karenanya.
Alara memberontak saat cairan Alkohol telah terangkat tepat di hadapannya, sepanjang hidupnya selama enam belas tahun ini Alara tidak pernah setetes pun mencoba minuman memabukkan itu tapi kekuatan Rigel mengunci pergerakan Alara membuatnya tidak berkutik. Air dengan bau khas itu ditumpahkan ke mulut Alara, gadis itu menggeleng kuat membuat wajahnya juga tersiram minuman mahal itu.
Gelengan Alara, juga wajahnya yang basah membuat tangan Rigel yang mencengkeram pipinya terlepas. Alara muntah, dan berusaha memuntahkan apa yang baru saja melewati kerongkongannya.
Rigel berang, ia menjambak rambut Alara yang terjepit jedai pemberiannya. "Beraninya kamu memuntahkan itu!"
Rigel menyiramkan sisa minuman itu ke tubuh Alara, lalu membanting botolnya hingga pecah. Alara terkejut dan semakin terkejut saat Rigel menarik dan menyeretnya dengan paksa untuk masuk ke dalam kamar tidur Alara.
"Ampun, Kak. Maafakn aku!" Alara sudah menangis deras, meminta ampun kepada Rigel dengan harap lebih dari apa pun supaya Rigel mau mengampuninya. Ia sudah memberatkan tubuhnya membiarkan kulitnya beradu dengan lantai yang membuat kulitnya terasa panas dan perih tapi Rigel tetap mampu menyeret tubuhnya.
"Tidak ada maaf untukmu!" seru Rigel sambil mencekik leher Alara ke atas membuat gadis itu mau tidak mau mengikuti arah gerakan tangan Rigel.
Tanpa belas kasih, Rigel menarik Alara mendekat padanya, lalu menyentak tubuh Alara hingga perempuan itu terjatuh di atas kasur kayu di sana, Alara terbatuk-batuk sambil mengusapi lehernya yang terasa sakit.
Rigel mempertipis jarak mereka, Alara mundur sambil masih mengusapi lehernya. Ketakutan yang luar biasa melingkupinya. Tepat sebelum Alara sampai ke ujung kasur lainnya, Rigel menarik kaki kanan Alara yang sudah tidak terbalut sepatu. Mungkin terlepas, entahlah. Rigel tidak peduli lagi, yang ada di otaknya hanyalah melampiaskan amarah yang selama ini ia pendam sampai membuat dadanya sesak.
Rigel menindih tubuh Alara dengan tubuh besarnya."Lepasin aku, Kak. Aku mohon!" Sekuat tenaga Alara memberontak di bawah tubuh Rigel.
"Sakit...." Alara mengeluh, saat Rigel kembali mencekik lehernya.
"Sekarang kamu baru merasakan sakit?" tanya Rigel, dengan sorot mata yang berapi-api. "Aku jauh lebih sakit selama ini, dan ibuku sudah mendapatkan banyak luka yang tidak pernah seorang pun bisa merasakannya. Dia kesakitan, sendirian dan pergi begitu saja bersama rasa sakitnya!"
Rigel tidak memberi Alara kesempatan untuk menanggapi, sebab cekalan tangannya yang berada pada leher Alara membuat Alara kesulitan berbicara.
"Yang kamu rasakan saat ini bukanlah apa-apa!"
"Yang kamu alami saat ini memang layak untuk kamu dapat. Bahkan seharusnya bukan cuman kamu yang merasakan ini, tapi ibumu yang mati itu juga pantas mendapatkannya!"
"Kalian lebih mirip iblis dari pada manusia."
"Kenapa hanya dia yang mati? Kenapa kamu tidak ikut mati bersamanya?" Rigel terus bertanya, Alara tidak bisa focus mendengarkan dan menelaah semua perkataan itu. Napasnya terasa semakin sesak.
"Ibumu itu manusia yang tidak ada gunanya hidup di dunia ini. Untuk itu, dia memang pantas mati!" Rigel tak henti-hentinya mengucap kalimat buruk, kepada seseorang yang bahkan baru saja dimakamkan. Ia melepaskan cekikannya, membuat Alara terbatuk-batuk lagi dengan cukup parah.
Sedangkan Alara yang terus mendengar hinaan dari mulut Rigel hanya bisa menahan sakit untuk dirinya juga ibunya.
Sejak kepergian ibunya dua hari lalu, tubuh Alara seolah tidak lagi memiliki kekuatan. Hari ini adalah hari pemakaman ibunya yang membuat semua energinya yang tersisa terkuras habis. Kelemahan dan ketidakberdayaan Alara pasca kehilangan ibunya dimanfaatkan oleh Rigel untuk menyiksa Alara seperti ini, sehingga Alara tidak bisa memberontak dengan penuh. Karena itu, sejak tadi Alara tidak bisa melepaskan diri dari Rigel, terlebih kekuatan Rigel jauh lebih besar dari pada Alara yang lemah. Untuk berkutik saja Alara tidak bisa.
"Aku minta maaf, atas nama ibu dan aku, aku minta maaf," ucap Alara dengan nada tergugu, meski ia belum tahu dengan pasti ada apa sebenarnya. Kesalahan apa yang sebenarnya ia lakukan sehingga merubah Rigel menjadi sebenci itu padanya.
"Maafmu tidak akan pernah bisa mengubah keadaan, maafmu tidak lantas menyembuhkan rasa sakit yang ibumu ciptakan dan maafmu tidak akan pernah bisa mengembalikan ibuku!" seru Rigel, sama sekali tidak menerima permintaan maaf Alara.
"Lantas apakah kamu berhak menghakimiku seperti ini? Berlaku kejam padaku dengan alasan yang tidak aku ketahui?" Alara yang sudah tidak tahan menguntaikan kalimat sarkas kepada Rigel.
Sedangkan Rigel yang tidak terima mendengar itu jadi berang, lalu menarik rambut Alara dengan keras, sehingga setengah tubuh Alara terangkat. Hal itu sudah bisa dibayangkan betapa sakitnya kepala Alara kala itu. Masih belum puas menjambak rambut Alara, Rigel pun menampar pipi Alara, menggunakan telapak tangannya yang kini sudah penuh oleh rambut Alara yang rontok karenanya.
"Kamu memang perlu diberi pelajaran!" ucap Rigel bengis.
Tanpa ampun lagi dan tanpa berpikir panjang, Rigel menarik baju hitam Alara hingga robek Alara menjerit keras dan mencari apa pun untuk menutupi tubuhnya.
"Jangan. Tolong jangan, Kak. Aku mohon jangan lakukan itu." Alara kepayahan bukan kepalang saat ingin menghindari perlakuan Rigel. “Ampun, Kak, ampuuun. Aku yang salah, aku yang salah,” ucap Alara berulang penuh ketakutan.
"Jangan, Kak. Ampuuun!" Teriakan itu keluar bersamaan isak tangis yang kian pilu, kala Rigel meneruskan merobek baju terusan yang Alara pakai, hingga membuat tubuhnya kini terekspos sepenuhnya.
Alara malu, memperlihatkan tubuhnya yang kini hanya berbalut pakaian dalam di hadapan Rigel yang saat itu sudah tersenyum buas, siap mengambil alih tubuh Alara, yang sama sekali tidak Alara beri hak untuk menyentuhnya barang seinci pun. Namun, Alara hanyalah seorang perempuan lemah, yang jika bisa, ia sudah keluar dari kungkunan Rigel, tapi nyatanya Alara tidak bisa, dan pada akhirnya Alara harus menerima kenyataan bahwa ‘mahkota’nya direngut secara paksa oleh Rigel malam itu, dengan brutal dan tampa ampun. Membuat tubuh Alara seakan remuk.
"Berisik!" seruan itu berhasil menghentikan ingatan Alara atas kejadian malam itu, malam terburuk yang tidak akan Alara lupakan. Pria tersampah yang pernah Alara kenal, tangan Alara mengepal tapi ia tidak mampu melakukan apa pun. Alara bahkan tidak mampu menghentikan air matanya yang terus saja mengalir .