Lipennya yang dihapus, hatinya malah jadi tatoan. Tatonya … nama kamu!
-Jomblo yang makin sayang sama kamu-
Beberapa detik sebelumnya, pas masuk ke lift dan melihat bayangan dirinya di dinding kaca, Yuna baru sadar kalau belum mengoles liptint di bagian dalam bibir. Biar apa? Biar warna bibirnya gradasi, makin lembut ke garis bibir. Kan seksi-seksi menggemaskan jadinya.
So, dengan kecepatan kilat, dipasanglah si produk, warnanya merah gelap yang intens gitu, membuat bibir Yuna jadi focal point sekaligus menyeimbangkan makeup-nya yang bertema warm and natural. Nah itu bibir baru selesai diurus begitu bel lift berbunyi sebagai penanda Yuna sudah tiba di lantai dasar, Bahkan liptint-nya aja masih Yuna genggam.
Maka dari itu, saat adegan jatuhlah-kau-biar-kutangkap terjadi dan bibir Yuna nempel di pipi Bumi, bibirnya Yuna belum seratus persen matte. Klaim transferproof yang diganyang-ganyang produk tersebut, belum sempat tercapai.
Bumi menarik napas dalam, masa iya mau sampai akad nikahnya Andara selesai mereka dalam posisi accidentally hugged begitu?
“Neng, jangan panik coba. Tenang dulu,” ujar Bumi. Jangan lupa, ngomongnya ngebisikin Yuna sambil nempelin pipi kiri-kiri mereka. Pengennya sih kasih kecupan balasan, menjalar dikit, terus kisseu sambil merem melek. Baru juga ngebayangin, Bumi sudah merinding. Tapi, Bumi ngga beranilah make it real, takut kena bogemnya Yuna.
Sekarang giliran Yuna yang narik napas dalam, menghembuskan perlahan. Dan beneran, pas ngga panik, Yuna bisa mengendalikan diri. Ia berdiri perlahan dengan dibantu Bumi. Oh iya, Bumi menangkap Yuna tuh dalam posisi bersimpuh, keren banget emang!
“Ada yang sakit ngga, Neng?” tanya Bumi kemudian.
Yuna menggeleng cepat, kepalanya masih menunduk. Untung saja ketutupan makeup. Kalau tidak, Bumi pasti sudah mendapati warna wajahnya yang semerah saos tomat.
Cantik banget sih, Neng ….
“Ya sudah, yuk kita ke ballroom?” ajak Bumi.
Baru saja Yuna menganggguk, pintu ballroom nampak terbuka. Adalah Rain dan Zia yang melangkah keluar. Berhubung takut ketauan dan diintrogasi dadakan, Bumi langsung meraih tangan Yuna, mengajaknya melangkah cepat setengah berlari ke balik pilar besar tepat di samping lift. Dan semakin Rain Zia mendekat, mereka bergerak perlahan ke sisi lainnya agar tak kelihatan pasangan tersebut.
A Bumi nih sadar ngga sih dia meluk begini? Masih pagi gue udah dua kali dipeluk. Mana wanginya dia enak banget coba.
Begitu kakak Yuna dan suaminya yang tengah dalam pantauan Bumi itu masuk ke dalam lift, barulah Bumi bisa menghela napas lega. “Aman, Neng,” ujar Bumi kemudian, masih belum sadar kalau satu tangannya melingkar di pinggang Yuna, sementara satu tangan lagi menahan kepala Yuna seraya membelai surainya. Bumi menunduk, dapat bonus bisa pandang-pandangan sama Yuna dari jarak nol. Masalahnya, entah kenapa otak Yuna malah mikir kalau Bumi tuh biasa bersikap semanis ini ke cewek … ke Utara maksudnya.
Dih si Aa, pro banget coba! Meluk sambil senyum mana santai banget. Dikira gue Utara kali!
“Lepasin Yuna bisa?” Pertanyaan itu rencananya ingin dilotarkan dengan nada manja, minimal ada manis-manisnya. Tapi yang terdengar di telinga keduanya justru kayak Yuna lagi ngajak perang.
Bumi spontan menarik tangannya yang dari tubuh Yuna. Kelu, ngga berani membela diri. Rasa bahagia yang tadi menyergapnya, auto switch ke ngga enak hati.
Sementara Yuna, jelaslah dia sendiri kaget kenapa bisa sejutek itu ke Bumi. Bukan berarti Bumi ngga tau kalau Yuna jutek, itu sih sudah bawaan lahir. Tapi kan mereka baru melalui beberapa adegan romantis, masa iya langsung kayak orang musuhan? Berhubung bingung gimana jelasinnya, Yuna memalingkan wajah, kemudian memulai langkah untuk menjauhi Bumi.
Namun, baru dua langkah, jemari Bumi mencengkeram lembut pergelangan tangan kanannya. “Neng marah ya? Aa minta maaf ya?”
Yuna menghela napas lebih dulu. “Nanti kita ketauan berduaan lho, A. Aa yang makin ngga enak hati.”
“Oh.” Dengan tak rela, Bumi melepas Yuna, lalu memerhatikan gadis itu melanjutkan langkah, hingga masuk ke ballroom.
Sikap urang salah ya? Harusnya tadi biarin aja ya A Rain dan Teh Zia mergokin kami? Yuna malah jadi salah paham, dikira urang ngga mau orang-orang tau urang ngejar dia kali ya?
Setelah sesi merenung selesai, Bumi menyusul kembali ke ballroom. Acaranya sekarang pas lagi tukar cincin. Karena kursi sebelumnya tak lagi available, Bumi beringsut ke samping kanan Edo, duduk di spot paling pinggir. Sang ayah nengok sejenak, hanya memastikan siapa yang mengambil tempat di sampingnya. Namun, sedetik kemudian Edo balik menoleh, memerhatikan bekas gincu di pipi sulungnya.
“Sudah ada kemajuan, A?” tanya Edo.
“Maju kamana, Yah? Medan perang?” balas Bumi.
“Bandung lautan api-lah.”
"Apaan sih si Ayah.”
“Eta cetakan bibir saha, A?” (Itu cetakan bibir siapa?)
“Cetakan?”
"Iya."
Bumi menatap wajahnya dari vitur kamera di ponselnya, lalu terkekeh saat mendapati bukti ciuman Yuna tadi. Ternyata urang teu ngimpi, beneran iyeu kajadian! Hebat pisan! (Ternyata saya ngga mimpi, ini beneran kejadian! Hebat banget!)
“Eleuh! Malah cengengesan sendiri,” ujar Edo. “Teu dihapus? Dirujak Bunda nanti lho, A!”
“Mending dirujak Bunda mah, Yah. Dirujak Papa Gi yang bahaya,” balas Bumi.
Edo tergelak, mengangguk-angguk. Sementara Bumi menutup bagian yang terkena ciuman Yuna dengan telapak tangannya seraya beranjak, meninggalkan ballroom lagi, menuju toilet terdekat.
Air mengalir dari keran di wastafel. Dan Bumi mulai berusaha menghapus jejak kasihnya Yuna.
Ngga sengaja, Bum! Kasih dari mana? Geer aja, urang!
Masalahnya, kok susah ya? Ngga hilang-hilang itu gincu.
“Eleuh! Iyeu lipen atauwa cat tembok? Awet pisan euy,” gumam Bumi, bermonolog. “Kumaha ngilanginnya?”
Masih sibuk ngusek-ngusek pipi, terdengar suara flush dari salah satu bilik. Bumi nge-freeze sejenak, menunggu siapa gerangan yang muncul.
Sedetik.
Dua detik.
Beberapa detik kemudian.
Terdengar suara kunci digeser, lalu derit pintu terbuka.
Jangan hi-hi-hi-hi, bisa tewas urang! Bisa-bisanya Bumi mikir ada kunti kebelet di toilet cowok.
Namun, saat sosok yang Bumi tunggu akhirnya nampak … jantung Bumi mencelos lagi, kali ini ngga pakai meleleh, tapi auto copot dan turun ke perut.
Beneran tewas perjaka ini urang!
“Apa, A?”
Bumi sontak mencengir lebar, memamerkan gigi putihnya. “Papa Gi ternyata,” tegur Bumi, namun suara yang terdengar bak curut yang lagi panik dikejar-kejar tuan rumah.
Perkenalkan, yang barusan menegur Bumi adalah sulung Pranata, Irgi Haidar Pranata, dinobatkan sebagai Yang Terusil dari empat bersaudara. Setelah Irgi, lahirlah yang kedua, Annisa Syahida Pranata, kalau ini Yang Terjagoan. Ketiga, Elang Dirga Pranata, si Pencari Gara-gara. Dan sang bungsu, Hannah Mahika Pranata – bundanya Bumi, si Yang Paling Ngga Tegaan.
“Hmm. Bukan kuyang!” tanggap Irgi.
Sama ngerinya kayak kuyang.
Sebagai ahli bedah syaraf, jangan ragukan penglihatan Irgi. Biarpun tak lagi muda, matanya Irgi luar biasa jeli, apalagi untuk nyari aib orang. “Alhamdulillah,” ujar Irgi lagi.
“Papa Gi ….”
“Baligh juga anak gue!”
“Papa Gi ih! Aa udah baligh dari kapan tau,” balas Bumi seraya tergelak.
“Masa?” timpal Irgi seraya mencuci tangannya.
“Iya, Papa Gi.”
“Mana ada udah baligh diam aja dikerjain cewek selama lima tahun.”
Kan, digoreng dah urang. “Bumi kan mencoba untuk setia, Pa.”
“Setia ngga gitu konsepnya, A.” Irgi mengambil lipbalm dari dalam saku celananya setelah mengeringkan tangan. Pipi Bumi dikeringkannya dengan tisu, lalu ia mengoleskan lipbalm tersebut di atas cetakan bibir Yuna sebelum Irgi gosok pelan. Baru setelahnya ia menyeka kembali pipi Bumi dengan tisu bersih. “Done!”
“Wah, hilang! Kok Papa Gi tau cara ngilanginnya? Terus itu apaan, Papa Gi?”
“Lipbalm. Papa Gi stres kayaknya menjelang nikahan Andara, kulit jadi kering banget. Kemarin-kemarin sampai berdarah mulu malah bibir, pecah-pecah. Mama April kalau bersihin makeup pakai balm dulu, soalnya kalau langsung pakai air atau sabun ngga bersih ceunah."
"Oooh. Baru tau da Aa mah."
“Balik lagi ke setia. Setia tuh kalau sudah jelas antara kita dan pasangan, A. Kayak Papa Gi dan Mama April dulu, sudah jadian, komit, tiga belas tahun LDR ya berusaha untuk setia. Itu baru benar. Lah Aa sama si UtaraTimurLaut apa ikatannya?”
“Ngga ada, Papa Gi.”
“Itu namanya setia yang salah tempat,” tanggap Irgi. “Yang ada Aa diinjak-injak. Lagian lima tahun dekat sama Aa, masa sampai sekarang Papa Gi aja ngga tau gimana mukanya si Utara itu?”
Ya, Utara memang selalu mencari alasan saat Bumi mengajaknya bertemu dengan keluarganya. Alasan yang paling sering Utara gunakan adalah nanti pada salah paham.
“Jadi, bibir siapa yang mendarat di pipi Aa? Kok bibir Aa ngga merah?” Maksud Irgi, kalau ciuman kan harusnya bibir Bumi juga belepotan.
“Ngga sengaja kecium, Pa,” aku Bumi.
“Terus, Aa diam aja?”
“Iyalah.”
“Kenapa?”
“Takut dianggap melecehkan kalau Aa sok ngebalas dengan nyium lagi.”
“Good! Beneran ini mah baligh juga si Aa Bumi.”
Bumi tertawa, sementara Irgi hanya mencengir singkat.
“Ayo ah, sudah mau sungkeman nih,” sambung Irgi seraya merangkul Bumi, melangkah bersama untuk kembali ke ballroom. “Siapa, A?”
“Papa Gi mau tau aja.”
Irgi tertawa. “Sudah tau kali, bukan mau tau.”
“Siapa emang, Papa Gi?”
“Mademoiselle.” Mademoiselle bermakna wanita muda atau perempuan yang belum menikah dalam bahasa Perancis. “Benar kan?”
“Siapa yang bilang Papa Gi?”
“Ngga usah ada yang bilang, A. Dari semalam ngelihat Yuna kabur-kaburan tiap ada Aa juga Papa Gi tau.”
“Nah iya, kenapa tuh Pa? Kenapa Yuna kabur-kaburan?”
“Kok nanya Papa Gi?”
“Kan Papa Gi berpengalaman.”
“Pengalaman apaan? Papa Gi cuma berurusan sama satu cewek dari awal sampai akhir, Mama April only!”
“Iya juga,” gumam Bumi. “Berdasarkan pengamatan dan prakiraan deh, Pa.”
“Kenapa ya? Aa bikin salah ngga?” Belum juga Bumi menjawab, Irgi sudah geleng-geleng. “Biasanya kalaupun bikin salah, cowok tuh pasti ngga sadar.”
Ngekek lagi kan Bumi.
“Ngga suka kali sama Aa?” tebak Irgi lagi.
Ngenes sih dengarnya, tapi … Bumi pun berpikir demikian. Yuna ngga nyaman sama Bumi, Yuna ngga suka cowok bucin kayak Bumi, Yuna ilfil karena Bumi ngerelain harga dirinya diinjak-injak oleh Utara bertahun-tahun. Ngga manly banget gitu!
“Iya kali ya, Pa?” lirih Bumi.
“Terus? Nyerah?”
“Nanti Aa dekatin, taunya Yuna ngga suka terus sama Aa. Terjebak familyzone atau emang Bumi bukan tipenya Yuna.”
“Makanya pakai batas waktu. Misalnya, sebelum Yuna balik ke Paris, Aa kasih tau perasaan Aa, minta jawaban. Ditolak pun ngga apa-apa, yang penting jelas. Jadi, Aa bisa atur strategi baru.”
“Strategi apa, Pa?”
“Ngelupain, atau makin ugal-ugalan.”
“Kalau Papa Gi dulu?”
“Makin ugal-ugalan dong. Jangan sampai lepas kalau April mah. Siapa pun yang berani ngerebut, Papa Gi hadang, adu gelut juga ayo!”
“Tapi kan Mama April mah sayang sama Papa Gi.”
“Ya makanya pastiin dulu, kan tadi Papa Gi bilang gitu. Masa sih Aa ngga bisa bedain mana cewek yang sayang dan yang ngga ada feeling sama Aa?”
“Yang ngga ada feeling tuh gimana, Pa?”
“Biasa aja, santai banget kalau sama Aa. Ngga ada jaimnya. Ibaratnya, kalau Aa ajak Yuna makan di warteg, Yuna cuek aja pesan makanan sampai menggunung, makannya ngecap sambil angkat satu kaki.”
Bumi kembali tertawa. Beneran coba ia membayangkan apa yang Irgi katakan, Gemesin banget pasti da!
“Cewek tuh kalau suka sama cowok, bawaannya grogi, pengen kelihatan cantik dan sempurna, ngga kuat dilihatin terus,” lanjut Irgi. “Coba tes sana,” pungkas Irgi seraya mendelik ke Yuna yang tempat duduk di sampingnya baru saja ditinggalkan Nina – istri Bisma.
Bumi menghempaskan napas sekali, lalu melangkah dengan kepercayaan diri yang tersisa, begitu saja duduk di samping Yuna, tanpa menoleh.
“A Bumi ngapain?” tanya Yuna.
“Duduk,” jawab Bumi singkat.
“Kok di sini?”
“Kosong.”
“Masih banyak tuh yang kosong.”
Bumi akhirnya menoleh, menatap Yuna lekat. Yuna sampai celingukan karena karena khawatir ada yang memerhatikan mereka berdua. Bumi lalu melebarkan telapak tangan, menutupi sisi samping bibirnya yang mendekati telinga Yuna. “Mau dekat Neng aja. Aa ngga kuat kalau jauh-jauh. Bawaannya kangen.”