“Apa! Itu tidak mungkin, saya tidak akan menikahkan kalian berdua!” tegas sang ayah dengan penuh amarah.
“Tapi, Ayah, Vona hanya ingin menikah saja agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan dari hubungan kami,” ujar Davona mencoba menjelaskan secara pelan-pelan kepada sang ayah.
“Tidak Davona! Sekali tidak, ya, tetap tidak! Saya tidak setuju kamu menikah dengan pria ini! Dia bukan pria yang baik untuk kamu, Davona.”
“Derek anak yang baik Ayah. Dia juga tumbuh di keluarga yang baik-baik. Prestasinya juga bagus di kampus, dia juga dikenal sebagai mahasiswa dengan perilaku terbaik.”
“Davona, terkadang orang itu pintar berkamuflase. Dia bisa menyembunyikan kebusukannya. Davona kamu saja yang terlalu polos dan mau dibodoh-bodohi oleh pria seperti ini.”
Derek hanya terdiam dengan wajah tertunduk di hadapan ayah Davona yang tengah berkacak pinggang. Derek tampak gentar menghadapi ayah Davona yang terlihat sangat dominan. Tentu saja, karena ayah Davona sendiri memang dikenal orang yang bisa mengintimidasi tanpa harus berbuat kekerasan. Ucapan yang dikeluarkan dari mulutnya sudah bisa mengimitasi mental seseorang.
Terlebih Derek yang hanya seorang mahasiswa dan belum memiliki pengalaman sedikit pun dalam berurusan dengan orang tua seperti ayah dari Davona. Malam itu Derek pulang ke rumahnya dengan perasaan campur aduk. Ia terlihat murung tidak seperti biasanya sehingga kedua orang tuanya merasa ada yang tidak beres dengan anak kesayangan mereka. Sementara Davona masih saja berusaha membujuk sang ayah.
“Ayah, dia itu anak yang baik. Dia yang sudah menjadi teman Vona selama ini Ayah. Dia juga yang sudah menghibur dan juga selalu berada di samping Vona setiap kali—” kalimat Davona terhenti.
“Apa! Setiap kali apa, Vona!” bentak sang ayah yang sudah benar-benar tidak dapat menahan amarahnya lagi.
“Setiap kali, Ayah mematahkan semangat hidupku.”
“Apa kamu bilang? Aku mematahkan semangat hidupmu! Hei! Sadar diri ‘dong kamu. Dari kamu di dalam kandungan sampai sekarang ini, siapa yang membiayai kamu!”
“Mentang-mentang kamu sudah merasa dewasa karena sudah punya pacar. Jadi kamu bisa seenaknya sama saya, iya!”
“Hebat kamu, ya. Saya kira selama ini kamu anak baik, yang diam dan patuh. Ternyata hatimu busuk! Sama kayak ibumu!”
“Ayah cukup! Cukup, dari dulu Ayah selalu merasa semuanya adalah atas jerih payah Ayah sendiri. Ayah enggak sadar, Ibu punya andil sangat besar dalam keluarga ini!”
Plak!
“Berani kamu membentak saya, ya. Kamu lihat apa yang bisa saya lakukan sama kamu!”
Setelah mengatakan hal tersebut sang ayah masuk ke dalam dengan tergesa-gesa. Ia masuk ke kamar mereka dan keluar membawa gesper. Seketika wajah Davona pucat. Begitu juga ibunya yang langsung memeluk Davona.
“Minggir kamu Wanita J-a-l-a-n-g! Aku tidak berurusan denganmu!” ujar sang ayah berusaha melepaskan pelukan ibu Davona terhadap anaknya.
“Tolong, Yah, jangan pukuli Vona. Biar aku saja yang menanggung semuanya. Jangan dia, Yah,” mohon sang ibu dengan memelas.
“Aku tidak ada urusannya denganmu! Aku hanya ingin memberikan pelajaran pada anak ini.”
“Pelajaran itu tidak harus diajarkan dengan cara kekerasan, Yah. Aku mohon maafkan Vona jangan sakiti dia.”
“Oke kalau itu mau kamu.”
Brash!
Swish!
Brash!
Suara ikat pinggang yang bertemu udara ketika ia melayang dan akan menghantam punggung ibu dari Davona. Perbuatan yang dilakukan oleh ayah dan Davona tidak patut untuk dicontoh. Hanya karena sang putri tidak melakukan kan seperti apa yang beliau inginkan maka dengan beringasnya beliau mencoba memaksakan hal itu sesuai dengan keinginan beliau.
Davona memohon ampun agar ayahnya menghentikan apa yang dilakukan beliau kepada ibunya. Davona menangis tersedu-sedu tidak tahu apa yang harus dilakukan. Di sisi lain hatinya sangat ingin hidup bersama Derek bahkan dengan kejadian ini membuat ia semakin yakin untuk melanjutkan hubungannya bersama Derek. Karena hanya bersama Derek ia merasa aman dan dihargai.
“Kalian benar-benar wanita tidak tahu diuntung. Sudah kuberi makan, sudah kuberi semuanya, tapi kalian malah seenaknya terhadap saya. Wanita kampung seperti kalian ini memang tidak ada gunanya!” hardikan itu sudah kerap kali didengar oleh Davona juga ibunya.
“Apa kalian lupa, 10 jariku inilah yang menghasilkan semua uang dan semua harta benda yang ada di dalam rumah ini. Dan kalian sama sekali tidak memiliki rasa terima kasih sedikit pun terhadap saya.”
“Kalau bukan karena 10 jari tangan saya ini, kalian tidak akan bisa hidup enak seperti sekarang ini. Mungkin kalian sudah jadi gelandangan di jalanan sana, atau bisa jadi sudah lama mati! Lenyap dari dunia ini!”
“Dan untuk kamu Vona. Jika memang kamu merasa mampu, silakan kamu keluar dari rumahku. Cari kehidupanmu sendiri di luar sana. Aku jamin 3 hari saja, itu sudah terlalu lama kau mampu bertahan di luar sana.”
“Saya pastikan kamu akan bersujud di kaki saya ini, untuk memohon agar tetap tinggal di rumah ini karena orang-orang sepertimu tidak akan bisa berhasil di luaran sana!”
“Vona mampu Ayah, Vona bisa hidup sendiri. Meskipun Ayah sudah tidak mau membiayai hidup Vona lagi,” sahut Davona dengan suara bergetar dan air mata yang berjatuhan tanpa henti.
“Kalau begitu, silakan kau angkat kaki dari rumahku! Dan jangan pernah injakan kakimu di sini lagi.”
“Tidak Ayah, tolong jangan usir anak kita dari rumah ini. Dia akan tinggal di mana, Yah? Dia tidak punya siapa-siapa kecuali kita,” mohon sang ibu mencoba menengahi pertikaian antara anak dan suaminya.
“Sebaiknya kau diam saja, Timi. Kamu itu tidak ada kontribusinya sama sekali di dalam hidupku, kecuali mempersulit dan memberikan aku anak yang tidak bisa diatur seperti ini!”
“Aku mengakui memang aku yang salah. Aku juga tidak bisa memberikanmu anak laki-laki seperti apa yang kamu impikan selama ini. Tapi itu semua di luar kuasa aku, Yah aku tidak memiliki daya untuk memilih, melainkan aku hanya bisa menerima apa yang sudah Tuhan titipkan.”
“Stop! Jangan pernah kau sebut-sebut, nama Tuhan di depanku.”
“Ayah memang keterlaluan. Ayah tidak ada ubahnya seperti seekor monster jahat! Ayah bukan hanya membenci aku dan ibu, bahkan Ayah juga membenci Allah.”
Plak!
Plak!
Tamparan itu melayang pada kedua belah pipi Davona. Seketika itu juga Davona melotot seakan ia ingin menantang sang ayah. Davona yang selama ini tampil sebagai anak yang patuh, serta tidak pernah berani sedikit pun membantah Ayah atau pun juga ibunya. Namun kali ini, ia seperti orang lain. Dia dengan berani berdiri menentang kezaliman sang ayah.
“Tampar, tampar aku lagi Ayah! Jika itu bisa menenangkan hatimu!” tantang Davona dengan kedua tangan berkacak pinggang dan mata melotot.
“Wah, sudah berani natang kamu ya. Hebat, hebat! Aku jadi salut sekali kepada perubahanmu sekarang Davona,” sahut sang ayah ketus.
“Semut saja bisa marah jika ia terus diganggu dan disakiti. Aku ini manusia, Ayah. Tentu saja aku punya hati nurani, pikiran, dan akal sehat. Aku juga punya rasa sakit hati, aku juga punya rasa kecewa, bahkan dendam.”
“Jadi, kamu ingin menyatakan bahwa kamu dendam kepada saya, begitu?”
“Baiklah kalau begitu mulai hari ini kita perang!”