Sebuah mobil memasuki basement apartemen dan berhenti di sana. Pintunya terbuka, menampakkan sosok pria yang menjadi pengemudinya. Dia berjalan memutari mobil, lalu membuka pintu satunya. Sedikit membungkukkan badannya, kedua tangannya masuk ke dalam. Setelah melepaskan safety belt-nya, dia memapah seorang wanita untuk keluar.
Wanita itu dalam keadaan mabuk, dengan tidak sadarkan diri, dia bersandar di tubuh kokoh prianya. Menunggu sang pria menutup pintu mobil untuknya. Selesai menutup pintu mobil, Ansell menatap Gwen yang bersandar di tubuhnya. Dengan aroma alkohol yang sangat tajam tercium dari bibirnya yang terkatup rapat.
Tanpa menunggu lagi, Ansell memeluk tubuh Gwen yang bisa tergeletak kapan saja jika dia lepaskan. Satu langkah, hingga dua langkah, Ansell masih berhasil memapah langkah wanita itu. Sampai pada langkah keempatnya, tubuh lemah Gwen hilang keseimbangan. Dengan cekatan, Ansell menguatkan pelukannya pada pinggang Gwen.
Ansell kembali menatap wajah Gwen ketika pelukannya membuat kepala wanita itu sedikit terdongak ke atas. Hening, hanya terdengar deru napas masing-masing. Pandangan Ansell terkunci pada sepasang kelopak mata yang tertutup rapat. Matanya nampak sembab seolah wanita itu baru saja menangis.
Apa yang terjadi padanya? batin Ansell, tiba-tiba rasa penasaran menyelimuti hatinya.
Helaan napas terdengar dari arah Ansell sampai akhirnya dia memutuskan untuk menggendong tubuh Gwen. Sekilas keduanya nampak seperti sepasang kekasih yang romatis. Dengan posisi kepala Gwen bersandar di d**a Ansell dan kedua tangannya bergerak pelan memeluk tengkuk Ansell membuat langkah pria itu terhenti seketika.
Ansell menatap Gwen. Ternyata wanita itu bukan pingsan, melainkan tidur bercambur mabuk. Tanpa sadar Ansell mendesah pelan, merasa kesal dan dibodohi. Dia pun tidak ingin berlama-lama menggendong wanita yang sedang menikmati tidur pulasnya. Dengan langkah cepat, Ansell memasuki sebuah lift yang akan membawa mereka menuju lantai apartemen miliknya.
Beberapa saat kemudian keduanya sudah berada di apartemen milik Ansell. Langkah Ansell menaiki beberapa anak tangga untuk pergi menuju kamarnya. Beruntung dia tidak memiliki banyak anak tangga untuk sampai di kamar karena Ansell mengakui satu hal, tubuh Gwen cukup berat.
Ansell membuka pintu kamar, langkahnya mengalun pelan memasuki ruangan. Setelah menyalakan lampu kamarnya, Ansell berjalan menuju ranjang. Pelan-pelan, Ansell membaringkan tubuh Gwen. Setelah memastikan tubuhnya terbaring tanpa membangunkannya, Ansell menarik lengan kiri Gwen dari tengkuknya. Beralih ke lengan kanan, dirinya justru merasa ditarik ke arah wanita itu. Sontak Ansell membulatkan matanya karena terkejut oleh tindakan Gwen. Wanita itu mengalungkan lengan kirinya kembali pada tengkuk Ansell.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Ansell dengan nada pelan, namun lebih terdengar merasa enggan. Dia sudah menetralkan keterkejutannya atas sikap tiba-tiba Gwen.
Gwen membuka matanya pelan ketika mendengar pertanyaan Ansell. Dia masih diam dengan tatapan tertuju pada sepasang bola mata pria itu. Gwen mengeratkan pelukannya pada tengkuk Ansell bahkan menautkan jari-jari pada kedua tangannya, membuat tubuh Ansell semakin membungkuk ke arahnya.
“Kenapa kau baru datang? Padahal aku menunggumu sangat lama,” Gwen menjawab pertanyaan Ansell dengan pertanyaannya.
Ansell mendesah pelan dengan sebelah tangannya menarik lengan Gwen untuk melepaskan diri. “Aku sedang sibuk,” jawabnya.
“Kenapa? Kau tidak suka kalau aku peluk?” tanya Gwen dengan nada kesal melihat Ansell yang berusaha melepaskan diri darinya. Gwen semakin menarik Ansell hingga pria itu sukses tersungkur menindih dirinya. “Semakin kau berusaha kabur, aku akan semakin memelukmu,” bisik Gwen.
“Kau sedang mabuk. Lagipula kau tidak pantas menjadi wanita agresif,” ucap Ansell dan berhasil memberi jarak antara dirinya dan Gwen dengan kedua lengan yang menopang tubuhnya.
Namun jarak itu tidak bertahan lama, Gwen kembali menepis jarak di antara mereka hingga tubuh Ansell kembali menindihnya, dan Gwen kembali melakukannya dengan tiba-tiba. Ansell mematung, tubuhnya tak bergerak sedikit pun ketika sepasang bibirnya bertaut dengan bibir lembut milik orang lain.
Waktu seolah berhenti. Namun detak jantung Ansell tak mau ikut berhenti. Justru berdetak lebih cepat, seolah menggedor-gedor tulang rusuknya untuk keluar. Ada rasa sedikit ngilu di sana hingga membuat Ansell meringis merasakan sakit. Matanya berkunang-kunang saat rasa perih itu semakin menusuk jantungnya. Seperti ada yang berusaha merobek dadanya lalu mencabut jantungnya hidup-hidup.
Ansell mendorong tubuhnya sekuat tenaga dari pelukan Gwen, bahkan kedua lengannya mencengkeram kuat-kuat lengan wanita itu. Deru napas Ansell tak beraturan saat berhasil terlepas dari Gwen. Dia berjalan mundur dengan langkah gontai. Pandangannya tak jelas meskipun penerangan di sana sangat terang. Ansell terduduk ketika punggungnya menabrak dinding. Dia meringkuk dengan keadaan tubuh yang menggigil layaknya seseorang yang terkena demam tinggi.
“Mati kau...! Mati kau! Mati! Mati!”
“Aku tidak bersalah, Mom! Aku tidak bersalah!”
“Mati kau! Mati saja! Matiiii!”
Kedua tangan Ansell bergerak menutupi telinganya, seolah tidak ingin mendengar jeritan-jeritan masa lalu yang kembali mengganggunya setelah beberapa tahun silam dilupakan. Dia mengerang layaknya orang yang menahan sakit sangat lama. Tubuhnya dipenuhi peluh seiring kenangan masa lalunya yang kejam menyerang serentak.
***
Cahaya terik matahari memasuki ruangan. Nampak seorang wanita tertidur pulas dengan selimut tebal menutupi tubuhnya. Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi namun kedua matanya masih terpejam rapat. Hingga akhirnya dia merasakan selimut yang menghangatkan tubuhnya ditarik paksa oleh seseorang.
“Bangun,” terdengar nada memerintah sangat tegas membuat Gwen membuka kelopak matanya dengan malas.
“Cepat pergi dari sini,” Gwen mendesah pelan mendengar nada perintah untuk kedua kalinya.
“Hmm,” jawab Gwen malas dan kembali menutup matanya.
Ansell mendesah kasar. Dia bergerak cepat menarik lengan Gwen hingga membuat wanita itu menjerit kesakitan.
“Lepas,” teriak Gwen seiring tubuhnya di tarik bangkit dari ranjang.
“Pergi,” ucap Ansell saat melepas lengan Gwen yang kini sudah berdiri di hadapannya.
“Sebentar lagi. Aku masih pusing. Aku ingin istirahat,” balas Gwen dan kembali berniat membaringkan tubuhnya namun langsung di tahan oleh Ansell.
“Aku ada pekerjaan hari ini dan kau harus pergi dari sini sekarang juga.”
“Pekerjaan? Pekerjaan apa? Lalu bagaimana dengan kontrak kita?” Gwen sudah berhasil mengumpulkan nyawanya setelah mendengar pria itu akan bekerja tanpa bertanggung jawab atas pekerjaan yang diberikannya untuk dirinya.
“Kontrak apa? Lagipula kontrak darimu tidak masuk akal,” jawab Ansell lalu berjalan keluar kamar.
“Tidak masuk akal bagaimana, Buy? Aku sudah membayarmu dengan sangat mahal,” Gwen mengikuti langkah Ansell.
“Aku tidak punya waktu untuk berunding denganmu. Lebih baik kau pulang sekarang,” ucap Ansell dan membuka pintu apartemennya, seolah menunjukkan jalan keluar untuk Gwen.
“Aku tidak mau pergi dari sini!” gertak Gwen dan berlari ke kamar Ansell, lalu mengunci pintu kamarnya.
“Hei! Buka pintunya! Kau pergi sekarang atau kau juga ingin menyusul mendiang ibumu, heh?!” Ansell mengancam sembari menggedor-gedor daun pintu.
“Aku tidak peduli! Pokoknya aku tidak mau pergi dari sini kecuali kau mengijinkanku ikut denganmu!”
“Apa kau parasit?! Buka pintunya, bodoh!”
“Tidak mau! Tidak mau! Tidak mau!” Teriak Gwen layaknya anak kecil. Di balik pintu dia tersenyum senang melakukan itu. Ini terlihat seperti sedang bermain bagi Gwen.
Ansell mendesah pelan. Dia tidak bisa pergi ke Itali tanpa membawa berkas-berkas mengenai bocah yang akan menjadi korbannya. Belum lagi semua barang peibadinya masih berada di dalam kamar.
“Aku hitung sampai tiga. Jika kau tidak membuka pintunya! Jangan salahkan aku jika kau juga akan kubunuh!” Ansell menggertak dan mulai menghitung. “Satu!” Dia memberi jeda waktu lima detik, “Dua!” Ansell kembali mendesah, “Aku serius, buka pintunya!” Tidak ada jawaban dari dalam kamar meskipun dirinya sudah mengatakan serius. “Tiga! Waktumu berakhir!” Tanpa menunggu lama, Ansell mendobrak pintunya.
Pandangan Ansell mengelilingi kamar hingga melihat seorang wanita yang berdiri di depan dinding kaca kamarnya menatap ke arahnya sekilas dan kembali menatap ke depan.
“Wah, pantas saja kau tahu aku menjual rumah dan kafeku. Ternyata kau melihatnya dari sini,” ucap Gwen dengan nada penuh kemenangan seolah dirinya baru saja mendapat lotre tanpa memedulikan tatapan tajam Ansell yang berjalan ke arahnya.
Gwen reflek menggandeng Ansell ketika pria itu berada tak jauh darinya. Ansell yang berniat untuk mencekik Gwen sekedar menakuti wanita itu bahwa setiap ancamannya benar-benar serius, justru dirinya yang kembali dibuat tegang oleh Gwen. Sontak Ansell menepis gandengan Gwen dan lebih memilih memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Gwen tersenyum menggoda dan mencubit lengan atas Ansell membuat pria itu kembali menampik tangannya. Sepertinya kemarin malam Gwen langsung terlelap saat Ansell mencoba melepaskan diri darinya karena tidak menatap Ansell dengan kecurigaan.
“Cepat pergi dari sini,” Ansell masih mencoba mengusir Gwen tanpa menatap wanita itu.
“Aku sangat terkejut mengetahui apartemenmu berada tepat di depan kantor properti tempat aku menjual rumah dan kafeku. Apa kau tahu? Aku sempat berpikir kalau waktu itu kau memata-mataiku,” Gwen mengalihkan ucapan Ansell.
“Aku terlalu sibuk untuk melakukan hal bodoh seperti itu.”
“Yah, aku sudah menebaknya kau tidak mungkin melakukan itu. Waktu itu aku hanya berpikir kalau kau mungkin saja menduga-duga kalau aku—“
“Cepat pergi dari sini,” potong Ansell dan bergerak ke arah lain.
Gwen menipiskan bibirnya. Langkahnya mengikuti Ansell yang masuk ke dalam walk in closet-nya. Sejenak Gwen memperhatikan seisi ruangan itu sampai akhirnya kembali tertegun melihat Ansell keluar ruangan dengan membawa koper.
“Kau akan pergi jauh?” tanyanya penasaran.
“Iya. Itu sebabnya aku menyuruhmu untuk pergi dari sini sekarang juga.”
“Aku ikut denganmu!”