"Hahaha... Apa kau cemburu, Kurcaci?"
"Berhenti memanggilku Kurcaci!" Viona berlalu, menghilang di balik pintu perpustakaan.
"Kalau begitu, panggil aku Pangeran Hans!" teriak Hansel, yang tak lagi mendapat balasan dari Viona.
Hansel menghela napas, kembali rebahan di keramik putih perpustakaan istana, dengan beberapa buku sebagai penyangga kepala. "Saat bulan besar tampak dari jendela ... bukankah bulan tampak besar dari bumi saat mendapat cahaya penuh dari matahari? Kalau begitu, bulan besar artinya saat bulan penuh atau bulan purnama." Hansel menjentikkan jemarinya. "Benar! Bulan purnama."
Hansel segera mencari buku pada abjad B dan mengambil satu yang berjudul fase bulan. Dibacanya cepat daftar isi setelah sampul, lalu membalik halaman. "Bulan purnama terjadi pada..." Hansel mengambil kertas dari meja terdekat, lalu membuat perhitungan sesuai petunjuk di buku. "Besok malam!" teriaknya. "Yuhuuu! Aku berhasil memecahkan sebagian teka-teki gadis itu."
Setelah mengembalikan buku, Hansel bergerak ke rak abjad L. "Selanjutnya laut merah." Dia mengambil salah satu buku dan membaca cepat isinya, kemudian bergumam. "Kusimpulkan, laut tampak merah karena adanya ganggang. Sejarah di baliknya hanya Musa yang membelah laut dengan tongkat. Laut merah juga memisahkan dua benua. Jadi, apa yang akan terjadi besok malam? Laut terbelah? Lautan merah?"
Hansel kembali rebahan menatap plafon di atasnya dengan fokus ke satu titik. "Aku punya firasat buruk tentang besok malam." Dia segera bangkit, menuju ruang kerja ayahnya di bagian kiri istana utama.
◊ ◊ ◊
"Percayalah, Kak. Gadis itu terdengar serius saat mengatakannya. Aku tidak berbohong."
Aidan melepas kacamata, meletakkan buku kecil sampul hitam di atas meja. "Kemarilah." Dia menepuk pahanya agar Hansel yang berdiri di depannya berlabuh ke pangkuan.
Hansel tersenyum, kemudian duduk di paha Aidan. Kakaknya itu seketika melingkarkan satu tangan di perut Hansel, sementara bahu Hansel dijadikan topangan dagu oleh Aidan.
"Kau sudah menemukan jawaban teka-teki minggu lalu?" Aidan memainkan rambut Hansel yang sedikit panjang, sesekali menghirup bedak bayi dari leher sang adik.
"Belum." Hansel tersipu diperlakukan tak seperti biasa. "Kakak?"
"Hemm?"
"Kakak tidak pernah memelukku sebelumnya. Aku juga lebih sering melihat punggung Kakak. Bahkan saat memberi teka-teki, Kakak pun hanya bicara sambil menatap kertas-kertas itu." Hansel mengubah posisi duduk di pangkuan itu menjadi menghadap Aidan. "Kenapa sekarang Kakak memeluk bahkan memangkuku? Apa Kakak akan pergi jauh lagi?"
Aidan tersenyum, merapikan poni menyamping Hansel yang perlu dipotong. "Kau sudah mendapat jawaban teka-teki itu?"
Hansel merengut, dia bersedekap. "Aku tidak tahu satu hal yang tanpanya aku akan mati. Kalau kujawab udara, itu benar. Kita akan mati kalau tidak ada udara. Tapi kita tidak hanya membutuhkan udara. Air, api, dan tanah juga elemen yang penting dalam membangun kehidupan. Tapi semua itu juga belum cukup. Kita membutuhkan orang lain. Seperti aku yang butuh ibu saat melahirkanku, merawat dan membesarkanku. Aku bahkan membutuhkan para sepupu yang menyebalkan dan nenek cerewet itu untuk menciptakan keseimbangan dalam hidup. Jadi, aku tidak bisa hidup hanya dengan satu hal."
"Hahaha... Astaga, kau ini sangat menggemaskan. Kau benar, Hans. Kita bahkan harus bersyukur karena jauh di luar wilayah kita masih ada kerajaan yang berperang. Kau tahu kenapa?"
"Agar prajurit memiliki pekerjaan," jawab Hansel mantap. "Kalau tidak ada perang, nantinya prajurit-prajurit itu malah seperti Ghasan. Hanya malas-malasan di istana."
"Hahahaha... Astaga. Kau ini. Ghasan tidak malas-malasan." Aidan mengacak rambut Hansel. "Sekarang, katakan kepadaku, siapa satu orang di dunia ini yang paling penting bagimu?"
Tanpa pikir panjang, Hansel menjawab, "Kakak. Aku tidak pernah berpikir bisa hidup tanpa Kakak. Setiap hari, yang kutunggu hanya Kakak dan semua cerita saat Kakak di luar kerajaan kita. Kalau tidak ada Kakak, aku tidak tahu akan sebosan apa hidupku. Viona dan Ghasan terkadang membosankan. Mereka tidak suka bermain teka-teki."
Aidan terkejut, kemudian bibirnya sedikit melengkung. "Kau juga alasanku melakukan─"
Hansel menunggu kalimat Aidan, tapi tampaknya si sulung tak melanjutkan lagi. "Ada apa, Kak?"
Aidan menggeleng. "Dengarkan aku baik-baik, Hans. Kau harus hidup untuk dirimu sendiri. Pikirkan apa yang kau inginkan, dan jangan melakukan segala hal karenaku. Kau tidak boleh meniruku. Kau harus mencintai dirimu, bangga karena kau adalah kau. Jangan sampai mengorbankan dirimu demi orang lain, apalagi berubah karena orang lain. Setiap orang berjuang untuk dirinya sendiri, maka kau tidak perlu berkorban demi orang lain."
Hansel memgangguk. "Aku mengerti. Aku tidak akan berkorban untuk orang lain. Tapi Kak, kalau untukmu, aku tidak masalah mengorbankan segalanya, karena Kakak bukan orang lain. Kakak adalah saudaraku yang terhebat sedunia."
Aidan tersenyum, kembali memeluk Hansel. "Sudah kuduga kau akan mengatakan itu."
◊ ◊ ◊
[Tiga jam kemudian]
Prang!
Prang!
Bunyi pedang yang saling beradu membangunkan Hansel di tengah malam. Dia mengucek mata, lalu melihat bulan besar dari jendela kamar. Seketika dia terkejut karena dugaannya salah. Bulan purnama terjadi malam ini, bukan besok malam. Dia semakin takut karena tembakan terus bersahutan.
Tiba-tiba terdengar langkah berat memasuki kamar. Hansel sigap bersembunyi di bawah ranjang. Jantungnya berdebar cepat, keringat mengalir membasahi piyama, dan dia berasa ingin buang air.
"Hans, kau di mana?"
Hansel keluar kolong setelah mendengar suara kakaknya. "Kakak, ada apa di luar?" rengeknya saat dalam gendongan.
Aidan mengambil liontin dan pin dari meja sebelah ranjang, kemudian memasukkan ke kantong celana piyama Hansel. "Tidak apa-apa. Tutup saja matamu, jangan pernah lepaskan pegangan dari leherku."
Hansel mengangguk walau tak mengerti dengan situasi saat ini. Dia menurut dengan menutup mata, tapi ketika berbelok menuju ruang makan istana, amis menyeruak bercampur bau aneh yang tercium, membuat Hansel memelotot. Sejauh mata memandang, Hansel melihat lautan darah dengan mayat para pengawal beserta pelayan berserakan memenuhi koridor. Seketika Hansel melepas pegangan, namun Aidan masih menahan badannya agar Hansel tidak jatuh.
"Ini yang dia maksud laut merah...?" gumam Hansel yang badannya telah gemetar itu, dan mulai menangis. "Di mana Ibu, Kak? Kita harus menolong Ibu." Suaranya serak, menahan sesenggukan. "Bagaimana dengan Ayah?"
"Sst! Diamlah, kita hanya perlu─"
Prang!
Seseorang dari arah depan mengunuskan pedang, untungnya Aidan sigap mengambil pedang di pinggang dan menahan serangan orang besar ini. Tapi karena menahan pedang, pegangannya terhadap Hansel jadi terlepas. Hansel pun terjatuh.
Aidan mendorong Hansel menjauh, menyembunyikannya di balik meja ruang makan. Dia siaga dengan kuda-kuda, siap menyerang kapan saja.
Lawan Aidan adalah Lincoln Langford. Mereka mulai bersitegang dengan pedang, saling menyerang, lalu bertahan, berkelit dan bahkan coba menendang ketika lawan lengah. Harus diakui kalau Lincoln adalah musuh yang sangat tangguh, dan Aidan bukan tandingannya. Aidan pun terjatuh setelah bahu kirinya tersayat pedang Lincoln, sementara pedangnya terlempar cukup jauh.
Walau tak lagi mampu melawan, Aidan terus melindungi Hansel yang ketakutan di belakang punggungnya.
Hansel terbelalak melihat Lincoln perlahan mendekat. Saat todongan pedang pria itu mengarah ke kening Aidan yang pasrah, Hansel berdiri dengan kaki gemetar di depan kakaknya.
"Ja... Jangan..." Hansel sangat ketakutan, tapi tetap merentangkan tangan seolah melindungi Aidan. Mulutnya yang menganga tak mampu lagi berkata-kata.