Meisya keluar dari ruangan kerja sang branch Manager, Randy Kuncoro Abdi, dengan hati yang berbunga-bunga. Dengan hati-hati, Meisya menutup kembali pintu kaca uangan Richard dari arah luar. Senyum Meisya merekah, bersama langkah ringannya menuju ke kubikelnya. Dia merasa ada sebuah ‘kabar hebat’ yang harus segera ia kabarkan kepada Valentina. Dan dia sudah dapat membayangkan betapa sahabatnya itu bakal tercengang kala mendengarnya nanti.
‘Kalau perlu panggilan video aja deh. Biar sekali-kali bisa ngelihat tampang begonya si Lele,’ batin Meisya geli.
Namun setibanya ia di kubikelnya, entah mengapa sejumlah perasaan lain seolah berebut pengaruh, meminta perhatian darinya juga. Sembari membuka laptopnya, gadis itu bertopang dagu, merenung.
‘Sebetulnya ini bagus. Bussiness trip ke Tokyo ini kan bakalan banyak manfaatnya buat gue. Pertama, bisa pergi barengan si Randy itu, widih, sesuatu banget itu. Kayaknya lumayan asyik deh, ya biarpun dia bakal balik duluan ke Jakarta. Kedua, ini kan bagus buat peningkatan karir gue, minimal supaya management makin yakin, keputusan mereka menempatkan gue di sini super tepat. Tapi di sisi lain, sejumlah prioritas gue juga jadi bergeser deh nih. Gue bakalan agak susah untuk mencari tahu dan menelusuri, di mana sebenarnya si Robin sekarang, karena nomor teleponnya juga kelihatannya sudah ganti. Sudah begitu, gue juga terhambat tahu, sudah sampai mana perkembangan proses pedekate si Vale sama Marvin? Sibuk melulu gue belakangan ini. Si Randy ini 11-12 deh, sama Richard, kalau soal ngasih kerjaan. Banyak banget ih. Gue sampai merasa takut bakalan kedodoran, ke depannya,’ kata Meisya dalam hati.
Meisya memang baru saja diberitahu oleh Randy bahwa mereka akan berangkat ke Tokyo untuk beberapa agenda sekaligus. Pertama, menghadiri rapat dengan sang pemilik merk ‘Valencia’, serta ‘Y & T’ yang merupakan singkatan Young & Trendy, dua buah merk busana kekinian dengan pangsa pasar para remaja serta mereka yang berada di awal usia dua puluhan. Tujuannya adalah untuk menego ulang biaya royalti-nya yang mengalami kenaikan cukup signifikan. Selepas dari sana, mereka juga sekaligus akan menemui beberapa vendor aksesoris. Randy akan kembali ke Jakarta setelah itu, sementara Meisya dengan satu orang staf senior dari bagian bussiness development di kantor pusat masih harus memenuhi agenda lainnya, termasuk, mengunjungi pabrik dan outlet aksesoris tersebut selama beberapa hari.
Di kala Meisya tengah membaca jadwal yang dikirimkan melalui emailnya, dia terdistraksi dengan bunyi ‘bip’ pada telepon selulernya.
“Siapa sih? Nggak tahu lagi sibuk, apa?” dumalnya.
Belum sempat dia mencari tahu siapa gerangan yang mengirimkan pesan teks kepadanya, pesawat telepon di mejanya telah berbunyi. Ia memilih mendahulukan yang ini.
“Ya. Meisya,” kata Meisya kala mengangkat gagang telepon tersebut. Dia memang terbiasa menyebutkan namanya setiap kali menjawab panggilan internal.
“Hallo? Mbak Meisya, ada telepon dari Mbak Juwita, Mbak, kantor pusat. Di line dua,” ucap Gladys sang operator telepon.
“Oh, oke. Tolong sambungkan Gladys,” sahut Meisya.
“Baik, Mbak. Saya transfer sekarang. Silakan, Mbak Meisya. Mbak Juwita, ini Mbak Meisya,” kata Gladys pula, menghubungkan mereka
“Hallo, siang Mbak Meisya,” sapa Juwita.
Bersamaan dengan itu, suara Gladys tidak terdengar lagi.
“Ya siang Juwi, ada apa?” tanya Meisya kepada staf bagian general affair itu.
“Mbak Meisya sudah mendapatkan informasi tentang bussiness trip ke Tokyo, kan?” tanya Juwita, hendak mengonfirmasi.
“Ya, saya juga sudah mendapatkan jadwalnya, Juwi,” sahut Meisya.
“Baik kalau begitu. Ini Mbak, saya mau minta tolong Mbak untuk meng-emailkan passport Mbak Meisya. Saya mau pesan tiket pesawat untuk Mbak Meisya, Mbak Eleonara dan pak Richard,” kata Juwita kemudian.
“Oh. Oke. Segera saya emailkan. Kebetulan ada di inbox kok. Ada lagi?” balas Meisya.
“Enggak Mbak, cuma butuh data passport saja. Terima kasih Mbak Meisya,” ucap Juwita.
“Sama-sama, Juwi,” pungkas Meisya lalu menutup komunikasi via telepon tersebut.
Tanpa menunda barang satu menit, Meisya segera mengirimkan email kepada Juwita. Usai dengan yang satu itu, baru dia teringat pada pesan teks masuk yang belum sempat ia baca. Dia tersenyum mendapati siapa pengirimnya.
“Hm. Pas banget. Si Vale ternyata. Ikatan batin banget. Baru juga mau gue kasih tahu berita besar ini,” gumam Meisya sambil mesem kecil.
Meisya berpikir bahwa Valentina juga akan bercerita tentang Marvin dan ‘situasi terkini di kantor pusat’. Ya, semenjak Marvin resmi menggantikan Bu Indira sampai masa serah terima yang berlangsung hingga hampir tiga minggu usai, Meisya belum juga mempunyai kesempatan untuk bertandang ke kantor pusat. Nyaris tiga mingu ini pula, Randy memberinya tugas-tugas yang tidak memungkinkan dirinya untuk bersantai. Dan lantaran dirinya bukanlah seorang Valentina yang dapat bekerja secara cepat serta tekun, tambahan pula dia perlu waktu tidak sedikit untuk beradaptasi sepenuhnya dengan suasana lingkungan kerja yang baru, jadilah dia mulai dilanda stress.
From : Charming – Lele
Ehm, ada yang mau ketemu Doraemon sama Nobita nih.
Setelah mengingat, menimbang bahwa elo lumayan lemot dan sudah terpapar virus pelit kantor baru, maka gue memutuskan untuk sedikit mengingatkan minimal buah tangan yang harus dibawa sepulangnya chit chat sama Doraemon nanti.
Tokyo Banana, kitkat rasa wasabi, grape, lemon, sakura, strawberry cheesecake, choco banana, purple sweet potato, apple vinegar, sweet corn, butter, green tea (ini yang harus, varian rasa lain boleh banget kalau ditambahin lagi), a must, ya. Cemilan lain terserah kalau mau dibeliin juga. Jangan lupa beliin satu dua tenugui ya, soal corak gue percayakan ke elo. Kalau mau beliin t-shirt ‘I Love Tokyo’ sama ‘Hard Rock Cafe Tokyo’, gue mau yang asli lho. Nggak terima barang yang elo beli di kaki lima, Lo. Terakhir tapi nggak kalah penting, beliin Omamori, ya. Thanks dan selamat jalan-jalan, ya.
“Sial! Kenapa dia sudah tahu duluan? Baru juga mau dikasih tahu. Pasti si Juwita nih, atau si Eleonara. Dasar tuh mulut mereka musti diplester,” gerutu Meisya.
Tanpa ba bi bu, Meisya pun menghubungi nomor telepon genggam Valentina.
“Hallo..., kenapa pesan gue baru dibaca sekarang?” tanya Valentina begitu merespons panggilan telepon dari Meisya.
“Le, kok elo tahu duluan sih. Baru juga mau gue kabarin,” sahut Meisya.
“Signal di kantor pusat kan selalu dan harus lebih kuat dari pada di kantor cabang. Sudah hukumnya begitu,” balas Valentina ringan.
“Ciyeee..., nyebut-nyebut hukum. Kode keras nih. Mau cerita soal si Sarjana Hukum kita yang ganteng itu, ya? Gimana, sudah sampai mana perkembangannya?” tanya Meisya iseng.
“Perkembangan apaan? Jangan pengalihan issue deh Melo. Doo..., yang mau pergi sama idola,” olok Valentina.
“Dih. Apa sih! Gue tanya serius. Soalnya kerjaan gue lagi banyak banget belakangan ini Le, sampai ribet sendiri. Nggak sempat dengar juicy gossip dari kantor pusat pula, deh,” kata Meisya, setengah ‘curhat’, setengah mengeluh.
Valentina tertawa kecil.
“Naik jabatan mau. Dapat penyesuaian gaji dan fasilitas, mau. Ya peningkatan pusing dan beban pekerjaannya juga harus mau, dong,” sahut Valentina.
Meisya tersenyum kecut. Dalam hati, dia membenarkan ucapan Valentina. Tapiuntuk mengucapkannya secara verbal?
‘Oh, nanti dulu,’ pikir Meisya.
“Ih. Dia ceria lho, sekarang. Wah, asli deh. Pasti sudah jadian sama si Marvin. Gue ketinggalan berita banget nih Le. Mana gue belum sempat nginap di unit elo lagi buat memantau dari dekat hubungan elo sama si Marvin,” kata Meisya.
Valentina mendecakkan lidahnya dengan gemas.
“Ngomong apa sih? Nggak penting banget. Elo banyak kerjaan, gue juga sama. Nah, ada yang belum dimengerti, dari pesan teks gue?” tanya Valentina berlagak tak acuh.
“Reseh. Sejak kapan elo nggak sabaran begini? Yeee., ketularan bos-nya tuh,” ejek Meisya.
Tidak ada sahutan dari Valentina. Meisya jadi penasaran.
“Le! Lele, elo tidur atau gimana? Masih di sana, kan?” tanya Meisya.
“Sebentar, Lo,” ucap Valentina.
Meisya tidak punya pilihan selain menunggu.
Tiga menit kemudian...
“Eh, sorry, tadi gue harus balas emailnya si Bos. Dia itu, lagi di luar kantor aja masih rajin ngasih tugas. Gimana, gimana, Lo?” tanya Valentina kemudian. 'Pak Bos' nya Valentina memang tengah berada di pabrik bersama dengan Marvin, saat ini.
Meisya mengembuskan napas.
“Berasa ada yang aneh nggak sih, Le? Kita kayak susaaaaah... banget buat ngobrol, sekarang, ya. Tampaknya kita sama-sama mendapatkan bos baru yang suka menindas dan menguras waktu luangnya kita,” Meisya setengah berbisik pada kalimat terakhirnya.
Terdengar tawa kecil dari ujung telepon.
“Kita sama-sama lagi adaptasi kali, Lo, sama cara kerja yang baru. Gue rasa, sebentar lagi, begitu kita semakin terbiasa, kita juga bisa mengikuti ritmenya,” ucap Valentina.
“Bijak deh, omongan elo sekarang,” cetus Meisya.
“Masa baru nyadar sih? Terlalu. Dari dulu kok, gue bijak. Elo aja, yang kurang tanggap. Telmi sih, telat mikir melulu. Ya sudah, katanya banyak kerjaan, konsentrasi dulu, balik kerja lagi. Kan pasti banyak materi yang harus elo siapkan buat perjalanan dinas elo. Entar gampang, kita bisa sambung lagi ngobrolnya,” kata Valentina.
“Pengertian banget sohib gue yang satu ini,” kata Meisya.
“Memang. Dan gue maklum kalau elo baru ngeh sekarang, kan selain telmi, elo juga nggak peka,” ejek Valentina.
“Sial,” umpat Meisya.
“Sambung nanti ya,” kata Valentina, bersiap menutup telepon.
“Eeeeh..., tunggu!” cegah Meisya.
“Apa? Masih kangen samas gue? Ya udahm tuntasin dulu deh,” goda Valentina.
Meisya mencibir. Ya meski di dalam hatinya memang mengiakan. Sejujurnya dia kangen Valentina kok, kangen ngobrol-ngobrol dan menghabiskan waktu seusai jam kantor berdua sebagaimana dahulu. Kangen ngopi-ngopi di kafe sebelah kantor, kangen kalap belanja di mal berdua, kangen makan siang sama-sama. Banyak yang ia kangeni. Sayangnya, semenjak mereka tidak lagi bekerja di kantor yang sama, tambahan pula kepadatan kerja meningkat, mereka cukup kesulitan untuk mengatur waktu bertemu. Dan sekarang dia jadi rindu juga dengan suasana di kantor pusat.
“Pret! Gede rasa banget,” cela Meisya.
“Ya sudah. Kalau nggak kangen nggak usah lama-lama juga, teleponnya,” ejek Valentina lagi.
Tanpa dimauinya, Meisya merasakan hatinya mencelos. Perkataan Valentina seolah tanpa beban.
‘Bukannya biasanya gue yang begitu? Ih. Kenapa gue merasa kehilangan, ya? Dan bahkan gue merasa ketinggalan? Vale kelihatan mulai enjoy sama kerjaan barunya, sementara gue? Eh. Bukan mulai enjoy, dari awal juga dia meskipun enggak enjoy, tetap dijalani kok, dengan penuh tanggung jawab,’ kata Meisya dalam hati.
Tiba-tiba saja, hati Meisya terusik oleh sebuah perasaan usang, perasaan yang dia pikir telah dia timbun dalam-dalam dan tak mungkin muncul lagi.
“Ah! Enggak!” sangkal Meisya. Tanpa sadar, suaranya terdengar cukup keras.
“Apanya yang enggak? Kalau enggak kangen sungguhan, nggak perlu ngotot juga, Lo. Sampai segitunya,” goda Valentina. Rupanya dia berpikir, Meisya tengah berbicara kepadanya.
Meisya tergeragap, dan buru-buru mencari ide lain.
‘Selama ini gue bisa menyimpannya dengan baik. Maka seterusnya juga bakalan begitu,’ pikir Meisya yakin.
“Le, gue takut salah beli nih yang elo pesenin gara-gar gue enggak tahu itu apa. Tenugui sama Omamori apaan sih?” tanya Meisya yang mendapatkan ide cemerlang.
“Dasar pemalas. Ada internet tuh dipakai buat tanya ke Mbah Google. Tapi ya sudah, karena elo lemot, gue kasih tahu aja. Tenugui itu handuk khas Jepang. Cariin motif yang paling oke ya. Terus Omamori itu..., eng..., semacam souvenir aja sih sifatnya. Tapi populer banget. Dipercaya sebagai jimat gitu, sama penduduk Jepang. Nanti elo tnya Eleonara deh, dia pasti tahu tempat belinya di mana. Dia kan pernah ke Jepang dua kali,” jelas Valentina.
“Astaga! Jimat? Ih! Gila! Ini..., buat nangkal pengaruh buruk di unit elo ya Le?” tanya Meisya.
Valentina buru-buru menegur, "Hush!"
“Mulai sembarangan lagi ngomongnya. Tadi kan gue sudah bilang, itu souvenir sifatnya kalau buat kita mah. Kalau mereka sih memang mempercayai sebagai benda pembawa keberuntungan,” kata Valentina.
“Oke deh. Sip. Lanjut kerja dulu ya,” kata Meisya.
“Thanks in advance, ya Lo. Elo jaga kesehatan dan siapin semua materi dengan baik. Good luck buat perjalanan dinas pertama elo di pos yang baru,” ucap Valentina.
“Thanks juga ya Le, ucapannya,” ucap Meisya.
Setelah itu, Meisya tertegun.
“Vale itu tulus. Iya, gue bisa ngerasain itu. Dia baik dari dulu, dan bukan karena gue yang mereferensikan dia untuk bekerja di sini. Sementara gue..,” desah Meisya pelan. Ia menepis rasa bersalah yang menggodanya.
- Lucy Liestiyo -